Nikah Tanpa Wali, bolehkah?

Nikah Tanpa Wali, bolehkah?

 

Assalamualaikum. Ustadz, apakah boleh menikah tanpa Wali? Saya mendengar ada ulama yang memperbolehkan menikah tanpa wali. Benarkah demikian? Mohon penjelasan. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Sebelum menjelaskan lebih detail tentang hukum wali dalam pernikahan, berikut kita akan jelaskan terlebih dahulu tentang definisi wali atau perwalian, dasar normatif dan pembagian wali dalam Islam.

 

  1. Definisi Wali (Perwalian)

 

Wali adalah sebutan untuk pihak lelaki dalam keluarga atau lainnya yang bertugas mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya dalam bab pernikahan.

 

Syaikh Wahbah Az-Zuhaily (1932-2015) rahimahumallahu menjelaskan definisi wali secara aspek bahasa bermakna,

 

الولاية لغة إما بمعنى المحبة والنصرة، كما في قوله تعالى: {ومن يتول الله ورسوله، والذين آمنوا، فإن حزب الله هم الغالبون} [المائدة:5/56] وقول سبحانه: {والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض} [التوبة:71/9]. وإما بمعنى السلطة والقدرة، يقال: (الولي) أي صاحب السلطة.

“Wali secara bahasa artinya Mahabbah (cinta) dan Nushrah (pertolongan), sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah ta’ala, (Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang). [QS. Al-Maidah: 71]. Begitu pula firman Allah ta’ala, (Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain). [QS. At-Taubah: 71].

 

Selain itu, wali juga bermakna Sulthah (otoritas) dan Qudrah (kemampuan). Jika dikatakan Wali, maka maknanya orang yang memiliki otoritas (kekuasaan).” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Zuhaily: Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6690).

 

Adapun dalam istilah fikih, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa Wali atau perwalian adalah, “Kemampuan untuk melakukan (mengelola) sesuatu secara langsung tanpa keharusan meminta izin orang lain. Wali juga dinamakan pelaksana akad.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Zuhaily: Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6690-6691).

 

  1. Pembagian Jenis Perwalian

 

Umumnya pembagian jenis perwalian yang banyak digunakan adalah pembagian perwalian dalam Madzhab Hanafi yang terdiri dari 3 kategori;

  1. Al-Walayah ‘Ala an-Nafs (Perwalian terhadap jiwa).
  2. Al-Walayah ‘Ala al-Mal (Perwalian terhadap harta).
  3. Al-Walayah ‘Ala an-Naf wal-Mal (Perwalian terhadap jiwa dan harta).

 

Wali dalam pernikahan masuk dalam kategori perwalian terhadap jiwa. Ulama Madzhab Syafi’i dan Jumhur (mayoritas) ulama membagi perwalian dalam pernikahan dalam 2 kategori, yaitu:

  1. Walayah Ijbar, yaitu perwalian yang dapat menikahkan anak perempuan yang masih gadis dengan paksa atau tanpa melalui persetujuannya. Yang memiliki hak perwalian ini adalah ayah atau kakek saat tidak ada ayah.
  2. Walayah Ikhtiar, yaitu perwalian yang diberikan kepada wali ashabah untuk menikahkan seorang perempuan janda (yang sudah pernah menikah).

 

  1. Hukum Wali Nikah

 

Terkait keberadaan wali dalam pernikahan, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily rahimahullahu mengemukakan ada dua pendapat di kalangan ulama;

Jumhur (Mayoritas) ulama mewajibkan keberadaan wali, sementara ulama Madzhab Hanafi berpandangan tidak wajibnya wali dalam pernikahan. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6698-6700).

 

Adapun Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan secara lebih terperinci dalam Al-Majmu’, DKI, 19/120, bahwa ada 5 pandangan ulama terkait keberadaan wali dalam pernikahan;

 

  1. Jumhur (mayoritas) ulama yakni Fuqaha Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta banyak kalangan sahabat dan tabi’in seperti Umar bin Khatthab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Sa’id bin Al-Musayyab, Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, dan Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan bahwa pernikahan wajib disertai wali. Pernikahan wanita baik gadis atau janda, tanpa wali dianggap tidak sah. Apabila pernikahan dilakukan tanpa wali maka pernikahan tersebut batal, baik sebelum terjadi jima’ (senggama) ataupun sesudah jima’, termasuk jika pernikahan tersebut telah berlangsung lama dan telah melahirkan banyak anak, pernikahan tersebut hukumnya batal.

 

  1. Ulama Madzhab Hanafi, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Zafar bin Hudzail, berpendapat bahwa pernikahan wanita gadis atau janda hukumnya sah tanpa wali. Kecuali jika wanita tersebut menikah dengan lelaki yang tidak sekufu (tidak sepadan dan tidak setara) maka wali berhak menolak pernikahan tersebut untuk menjaga kemaslahatan, nama baik dan muruah keluarga.

 

  1. Muhammad bin Al-Hasan, pernikahan tanpa wali hukumnya sah jika walinya memperbolehkan. Namun jika wali tidak memperbolehkan maka pernikahannya batal.

 

  1. Abu Tsaur, pernikahan tanpa wali hukumnya sah jika wali mengizinkan. Apabila wali tidak mengizinkan, maka pernikahannya batal.

 

  1. Daud Az-Zahiri, pernikahan tanpa wali wanita yang masih gadis hukumnya batal. Namun jika pernikahan itu dilakukan oleh wanita janda maka pernikahannya sah.

 

 

  1. Dalil Para Ulama

 

  • Dalil Pendapat Pertama: Jumhur Ulama yang berpandangan wajibnya wali dalam pernikahan bersandar pada Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ma’qul (logika dan rasionalitas).

 

Dalil Al-Quran:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya  apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” [QS. Al-Baqarah: 232].

 

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” [QS. Al-Baqarah: 221].

 

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nur: 32].

 

Terkait dalil Jumhur ulama ini, Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan,

 

ووجه الدلالة في الآية الأولى: أن النهي موجه إلى الأولياء عن منعهن من نكاح من يخترن من الأزواج, ولا يتحقق المنع إلا ممن في يده الممنوع, فدل ذلك على أن عقد النكاح في يد الولي لا في يد المرأة, وعليه فلا يصح منها لو باشرته بنفسها.

“Pendalillan dari ayat pertama di atas adalah bahwa larangan tersebut ditujukan kepada para wali agar melarang wanita menikah dengan laki-laki pilihan mereka sendiri. Larangan tersebut tidak mungkin berlaku kecuali jika memang terdapat larangan pada sesuatu yang terlarang. Ini menegaskan bahwa sahnya sebuah akad pernikahan terletak di tangan wali bukan di tangan wanita. Oleh karena itu tidak sah pernikahan jika wanita melakukannya sendiri tanpa melibatkan wali.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 19/125).

 

Dalil Hadits di antaranya adalah,

Hadist Pertama:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا

“Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.” [HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi].

 

Hadist Kedua:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali.” [HR. Ahmad].

 

Hadist Ketiga:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad].

 

Hadist Keempat:

 لَا بُدَّ فِي النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: الوَلِي، وَالزَّوُجِ، وَالشَاهِدَيْنِ

“Ada empat hal yang harus ada dalam pernikahan; Wali, calon mempelai laki-laki dan dua orang saksi.” [HR. Ad-Daruquthni].

 

Hadits Kelima:

الْبَغَايَا اللاَّتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ ‏

“Perempuan-perempuan pelacur yaitu mereka yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa saksi”. [HR. At-Tirmidzi].

 

 

  • Dalil ulama Madzhab Hanafi terkait kebolehan Nikah tanpa wali disandarkan kepada Al-Manqul (Al-Quran dan Al-Hadits) dan Al-Ma’qul (logika dan rasionalitas).

 

Dalil Al-Quran:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain..” [QS. Al-Baqarah: 230].

 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya  apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” [QS. Al-Baqarah: 232].

 

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ

“.. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut..” [QS. Al-Baqarah: 234].

 

Ulama Madzhab Hanafi menjelaskan bahwa pendalillan dari ayat di atas baik ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa Allah ta’ala menyandarkan pernikahan kepada wanita. Hukum asal pada sesuatu yang disandarkan adalah pelaku sebenarnya. Ini tentu menunjukkan sahnya pernikahan wanita jika dilakukan sendiri meski tanpa keberadaan wali atau tanpa seizin wali.

 

Adapun ayat ketiga secara jelas menegaskan bahwa wanita bisa berbuat apa saja yang patut untuk dirinya. Dengan begitu wanita juga berhak untuk melakukan akad nikah secara langsung tanpa melibatkan walinya. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 19/121).

 

Kutipan Imam An-Nawawi ini juga senada dengan penjelasan Imam Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Ar-Razi, atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Jashash rahimahullahu (305-370 H), ulama Madzhab Hanafi di abad ke 4. Beliau menjelaskan tentang ayat ini dalam kitabnya, Ahkamul Quran,

 

وَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ وُجُوهٍ عَلَى جَوَازِ النِّكَاحِ إذَا عَقَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِغَيْرِ وَلِيِّ وَلَا إذْنِ وَلِيِّهَا أَحَدُهَا إضَافَةُ الْعَقْدِ إلَيْهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ إذْنِ الْوَلِيِّ وَالثَّانِي نَهْيُهُ عَنْ الْعَضْلِ إذَا تَرَاضَى الزَّوْجَانِ

 “Ayat ini bermakna kepada sejumlah segi atas kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali dan tanpa izin dari walinya. Yang pertama adalah penyerahan otoritas akad kepadanya tanpa syarat harus izin kepada walinya, dan yang kedua larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha.” (Ahkamul Quran, Abu Bakar Ar-Razi Al-Jashash Al-Hanafi, Maktabah Syamilah, 2/100).

 

Saksi yang tidak menjadi syarat sahnya pernikahan juga disandarkan oleh ulama Madzhab Hanafi pada keumuman ayat Al-Quran dalam Surah An-Nisa: 3,

 

 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. An-Nisa: 3].

 

Ayat di atas dipahami sebagai perintah untuk menikah secara mutlak tanpa menetapkan saksi sebagai persyaratan. Saksi dalam pernikahan menurut pendapat ini hukumnya sunnah, bukan syarat yang diwajibkan. Namun pendapat ini dipandang menyimpang menurut ulama ahlus sunnah wal jamaah, dan merupakan pendapat kelompok Syi’ah Imamiyyah. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6560).

 

 

Dalil Hadits:

Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya,

 

الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” [HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah].

 

Menurut Madzhab Hanafi, pendalilan dari hadits di atas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikut sertakan wanita dengan walinya dalam masalah pernikahan, lalu Nabi lebih mengutamakan wanita tersebut dari pada walinya seraya mengatakan, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya..”

 

Jika pernikahan dipandang sah dengan keberadaan wali, maka pernikahan dari seorang wanita tanpa wali tentu lebih utama keabsahannya. Di sisi lain, hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini menunjukkan secara jelas bahwa suatu pernikahan bergantung kepada ridha wanita. Maka tentu tidak masuk akal dan tidak sesuai syariat; jika sahnya sebuah akad bergantung kepada ridha seseorang, namun dia justru tidak dibenarkan melakukan akad itu secara langsung.

 

  • Dalil Pendapat Ketiga:

Pernikahan tanpa wali hukumnya sah jika walinya memperbolehkan. Namun jika wali tidak memperbolehkan maka pernikahannya batal.

 

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil.” [HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad].

 

Pendalilannya adalah jika wanita menikah tanpa seizin walinya, pernikahannya menjadi batal. Namun jika wanita menikahkan dirinya dengan seizin walinya maka pernikahannya sah.

 

 

  • Dalil Pendapat Keempat:

Pernikahan tanpa wali hukumnya sah jika wali mengizinkan. Apabila wali tidak mengizinkan, maka pernikahannya batal.

 

Dalil pendapat keempat sama persis dengan pendapat ketiga di atas. Di mana keabsahan pernikahan wanita bergantung kepada izin walinya.

 

  • Dalil Pendapat Kelima:

Pernikahan tanpa wali wanita yang masih gadis hukumnya batal. Namun jika pernikahan itu dilakukan oleh wanita janda maka pernikahannya sah.

الثَّيِّب أحقُّ بنفسها مِن وَلِيِّها، والبِكر تُسْتَأمَر، وإذْنُها سُكُوتها

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” [HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah].

 

Pendalilan dari hadits ini menurut Daud Az-Zahiri adalah penegasan bahwa seorang wanita janda berhak atas dirinya daripada walinya. Sehingga janda bisa langsung melakukan akad nikah tanpa menyertakan walinya. Berbeda halnya dengan gadis yang wajib menyertakan wali dalam pernikahan.

 

  1. Kesimpulan

 

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan ada khilaf di kalangan ulama terkait wali atau perwalian dalam pernikahan, antara yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan. Jumhur ulama mewajibkan keberadaan wali dalam pernikahan baik gadis atau janda, sementara Madzhab Hanafi tidak mewajibkan. Dari aspek dalil maupun kemaslahatan, pandangan Jumhur Ulama kita pandang lebih rajih dan lebih maslahat untuk kebaikan wanita dan keluarganya.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password