Ortu Atau Calon Mertua Jadi Saksi Nikah, Bolehkah?

Assalamualaikum. Ustadz, apakah orangtua/ayah kandung atau calon mertua boleh menjadi saksi pernikahan kita? Mohon penjelasannya. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Ulama empat madzhab sepakat bahwa saksi adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Sebagaimana penjelasan Syaikh Wahbah Az-Zuhaily bahwa pernikahan tidak sah jika tanpa adanya dua orang saksi selain wali nikah. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6559; Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 2/339-340; Raddul Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Syaikh Ibnu Abidin, DKI, 4/87-88; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 19/210-213; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 6/337-338).

 

Antara dalil terkait syarat saksi dalam pernikahan ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [HR. Ad-Daruquthni dan Ibnu Hibban].

 

لَا بُدَّ فِي النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: الوَلِي، وَالزَّوُجِ، وَالشَاهِدَيْنِ

“Ada empat hal yang harus ada dalam pernikahan; Wali, calon mempelai laki-laki dan dua orang saksi.” [HR. Ad-Daruquthni].

 

Juga hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَغَايَا اللاَّتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ ‏

“Perempuan-perempuan pelacur yaitu mereka yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa saksi”. [HR. At-Tirmidzi].

 

Selain pendapat ulama empat Madzhab di atas, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa saksi tidak menjadi syarat sahnya pernikahan berdasarkan keumuman ayat Al-Quran dalam Surah An-Nisa: 3,

 

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. An-Nisa: 3]

 

Ayat di atas dipahami sebagai perintah untuk menikah secara mutlak tanpa menetapkan saksi sebagai persyaratan. Saksi dalam pernikahan menurut pendapat ini hukumnya sunnah, bukan syarat yang diwajibkan. Pendapat ini dipandang menyimpang menurut ulama ahlus sunnah wal jamaah, dan merupakan pendapat kelompok Syi’ah Imamiyyah. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/6560).

 

Syarat Saksi Pernikahan

Syaikh Sayyid Sabiq (1915-2000) dalam kitabnya Fiqh Sunnah dan Syaikh Wahbah Az-Zuhaily (1932-2015) dalam al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu rahimahumallahu menyebutkan ada beberapa syarat dan kriteria saksi:

  1. Baligh.
  2. Berakal.
  3. Islam.
  4. Bisa mendengar akad Ijab & Qabul dalam pernikahan dan memahaminya.
  5. Dua orang saksi laki-laki (menurut Jumhur ulama). Atau boleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (menurut Madzhab Hanafi).
  6. Mampu melihat, tidak buta (dalam Madzhab Syafi’i), namun tidak dipersyaratkan menurut Jumhur ulama.
  7. Merdeka (menurut Jumhur), dan boleh budak dalam Madzhab Hanbali.
  8. Saksi adil yang diterima kesaksiannya, bukan orang fasik (Menurut Jumhur), namun tidak menjadi syarat dalam Madzhab Hanafi.

 

 

Lantas, Apakah Boleh Ortu atau Calon Mertua menjadi Saksi?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana uraian Imam Asy-Syaukani rahimahullahu,

 

اخْتُلِفَ فِي شَهَادَةِ الْوَلَدِ لِوَالِدِهِ وَالْعَكْسُ فَمَنَعَ مِنْ ذَلِكَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالشَّعْبِيُّ وَزَيْدُ بْنُ عَلِيٍّ وَالثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ وَعَلَّلُوا بِالتُّهْمَةِ فَكَانَ كَالْقَانِعِ ، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَشُرَيْحٌ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْعِتْرَةُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالشَّافِعِيُّ فِي قَوْلٍ لَهُ: إنَّهَا تُقْبَلُ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: ( ذَوَيْ عَدْلٍ) ، وَهَكَذَا وَقَعَ الْخِلَافُ فِي شَهَادَةِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ لَلْآخَرِ لِتِلْكَ الْعِلَّةِ ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْقَرَابَةَ وَالزَّوْجِيَّةَ مَظِنَّةٌ لَلتُّهْمَةِ ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ فِيهِمَا الْمُحَابَاةُ

 

“Ada perbedaan di kalangan ulama terkait kesaksian anak atas bapaknya atau sebaliknya. Al-Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, Zaid bin Ali, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ulama madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi melarangnya. Karena kesaksian tersebut berada dalam posisi kecenderungan tidak objektif. Sementara Umar bin Khatthab, Syuraih, Umar bin Abdil Aziz, Al-‘Itrah, Abu Tsaur, Ibnu al-Mundzir, Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, mengatakan bahwa kesaksian ini bisa diterima. Hal ini berdasarkan keumuman ayat (Surat Ath-Thalaq: 2), “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil.”

“Perbedaan yang sama juga terjadi pada kasus kesaksian seorang suami atau isteri terhadap pasangannya. Tentu tidak diragukan bahwa hubungan keluarga dan kekerabatan sangat memungkinkan terjadinya fitnah tidak objektif. Karena umumnya akan didominasi keberpihakan.” (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, Maktabah Musthafa al-Baby Al-Halaby, 8/330).

 

Kesimpulannya, ada khilaf di kalangan ulama terkait boleh tidaknya ortu dan calon mertua menjadi saksi pernikahan.

 

Pendapat Pertama, Jumhur (mayoritas ulama) Madzhab Hanafi, Maliki, salah satu pendapat Syafi’i, Hanbali, dan lain-lain mengatakan tidak Sah. Karena khawatir tidak objektif dan bisa menjadi sumber fitnah.

 

Pendapat kedua, Pendapat Muktamad dalam Mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, Umar bin Khatthab, dan lain-lain bahwa orangtua Sah menjadi saksi pernikahan selama tidak menjadi wali nikah sekaligus.

 

Karena hal ini adalah masalah khilafiyah yang muktabar (diakui) di kalangan ulama. Maka tentu ada kelapangan bagi kita untuk melaksanakan salah satu dari pendapat yang ada sesuai dengan kemaslahatan dan kemudahan yang dapat dilakukan.

 

Wallahu A’la wa A’lam

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password