Kentut Dari Vagina, Apakah Membatalkan Wudhu?

Assalamualaikum. Ustadz, apa hukum kentut dari kemaluan depan (Vagina), apakah termasuk yang membatalkan wudhu? Mohon berkenan menjelaskan. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Kentut atau buang angin adalah salah satu hal yang membatalkan wudhu. Hal ini berdasarkan Ijma’ (konsensus) para ulama. Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan dalam Al-Majmu’,

 

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعُوا أَنَّهُ يَنْتَقِضُ بِخُرُوجِ الْغَائِطِ مِنْ الدُّبُرِ وَالْبَوْلِ من القبل والريح من الدبر

“Ibnu al-Mundzir berkata: Para Ahli Fiqih telah sepakat bahwa wudhu batal karena keluarnya kotoran dari dubur (anus) dan air seni dari Qubul (kemaluan) serta keluarnya angin (kentut) dari dubur.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 2/451).

 

Segala sesuatu yang keluar dari Qubul dan Dubur membatalkan Wudhu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala dalam Al-Quran,

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

“Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air.” [QS. Al-Maidah: 6].

 

Tentang kentut yang membatalkan wadhu, secara jelas juga dapat dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ، فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Bila kallian mendapatkan sesuatu (angin) dalam perut dan ragu apakah keluar atau tidak, maka janganlah keluar dari masjid kecuali bila mendengar suara atau mencium bau.” [HR. Muslim].

 

Kentut membatalkan wudhu baik yang bersuara atau pun tidak. Hal ini sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhramaut bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,

 

فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.” [HR. Al-Bukhari].

 

Kentut pada umumnya keluar dari dubur, namun ada juga yang bisa keluar dari vagina (Queef). Kondisi ini terjadi ketika ada udara yang terperangkap di dalam rongga vagina. Pada saat tertentu, udara ini bisa keluar dari vagina dan membuat suara seperti kentut. Bedanya Queef tidak menimbulkan bau, sering terjadi setelah buang air kecil, serta tidak bisanya ditahan seperti halnya kentut pada umumnya.

 

Pertanyaannya adalah apakah queef termasuk membatalkan wudhu seperti halnya kentut?

 

Karena Queef keluar melalui vagina, yakni bukan melalui saluran yang umumnya terjadi, maka ada perbedaan di kalangan ulama terkait status hukumnya apakah termasuk yang membatalkan Wudhu atau tidak.

 

Perbedaan ini seperti yang diuraikan di dalam Ensiklopedia Fiqih Kuwait,

 

وَاخْتَلَفُوا فِي الرِّيحِ الْخَارِجَةِ مِنَ الذَّكَرِ أَوْ قُبُل الْمَرْأَةِ:فَقَال الْحَنَفِيَّةُ فِي الأْصَحِّ وَالْمَالِكِيَّةُ وَهُوَ رِوَايَةٌ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ: لاَ تُعْتَبَرُ حَدَثًا، وَلاَ يُنْتَقَضُ بِهَا الْوُضُوءُ، لأِنَّهَا اخْتِلاَجٌ وَلَيْسَ فِي الْحَقِيقَةِ رِيحًا مُنْبَعِثَةً عَنْ مَحَل النَّجَاسَةِ، وَهَذَا فِي غَيْرِ الْمُفْضَاةِ، فَإِنْ كَانَتْ مِنَ الْمُفْضَاةِ فَصَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ أَنَّهُ يُنْدَبُ لَهَا الْوُضُوءُ، وَقِيل: يَجِبُ، وَقِيل: لَوْ مُنْتِنَةً، لأِنَّ نَتَنَهَا دَلِيل خُرُوجِهَا مِنَ الدُّبُرِ.وَقَال الشَّافِعِيَّةُ وَهُوَ رِوَايَةٌ أُخْرَى عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ: إِنَّ الْخَارِجَةَ مِنَ الذَّكَرِ أَوْ قُبُل الْمَرْأَةِحَدَثٌ يُوجِبُ الْوُضُوءَ ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وُضُوءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيحٍ 

“Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam masalah angin yang keluar dari zakar atau kemaluan perempuan. Menurut Madzhab Hanafi dalam pendapat mereka yang paling Shahih, Madzhab Maliki, dan salah satu satu riwayat Madzhab Hanbali mengatakan, Queef tidak dianggap sebagai hadats dan tidak membatalkan wudhu karena queef adalah sebuah pergerakan/getaran yang pada hakikatnya bukan angin yang timbul dari tempat keluarnya najis. Pendapat ini umumnya berlaku pada selain Al-Mufdhat (wanita yang saluran kencing dan saluran tinjanya menyatu atau bercampur menjadi satu). Adapun terkait Queef dari Al-Mufdhat, Ulama Hanafi menyatakan sunnah hukumnya berwudhu bagi yang bersangkutan.

 

Sebagian ulama mengatakan wajib berwudhu. Dan ada pula ulama yang mewajibkan wudhu apabila anginnya berbau busuk karena bau busuk menunjukkan bahwa angin tersebut keluar dari dubur. Adapun ulama Madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat Madzhab Hanbali mengatakan, ‘Sungguh segala yang keluar dari zakar atau kemaluan perempuan adalah hadats yang mewajibkan wudhu, hal ini bersandarkan pada Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak wajib berwudhu kecuali jika mendengar suara atau mencium bau.’’” (Wizaratul Auqaf was Syu’unul Islamiyah Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Mesir, Darus Shafwah: tanpa catatan tahun], XVII/112).

 

Dari penjelasan di atas terkait hukum Queef, dapat disimpulkan bahwa ada dua pendapat di kalangan ulama sebagaimana berikut:

  1. Madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat Mazhab Hanbali, Queef membatalkan Wudhu. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak wajib berwudhu kecuali jika mendengar suara atau mencium bau.” [HR. Muslim].

 

  1. Madzhab Hanafi, Maliki, dan salah satu riwayat Madzhab Hanbali, Queef tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini menganggap bahwa Queef bukan berasal dari tempat najis seperti halnya kentut yang bersumber dari dubur. Queef adalah sebuah pergerakan/getaran vagina yang menimbulkan suara.

 

Kaitannya dengan hukum Queef, secara spesifik para ulama Madzhab Maliki; dalam perkara yang membatalkan wudhu mengecualikan hal-hal yang tidak biasa (ghairul mu’tad) yang keluar dari dubur atau qubul sehingga Queef dianggap tidak membatalkan wudhu karena dianggap bukan perkara yang biasa terjadi.

 

واستثنى المالكية الخارج غير المعتاد من المخرج في حالة الصحة، كالدم والقيح والحصى والدود، والريح أو الغائط من القبل، والبول من الدبر

“Ulama Madzhab Maliki mengecualilan perkara yang tidak biasa keluar dalam keadaan sehat seperti darah, nanah, kerikil, belatung, angin, tinja dari qubul dan kencing dari dubur.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/419).

 

Ulama Madzhab Hanafi juga memiliki pandangan yang sama tentang hal ini. Imam Fakhruddin Az-Zaila’i (wafat 743 H) menuliskan dalam kitabnya, Tabyinul Haqaiq,

 

وَالرِّيحُ الْخَارِجُ مِنْ قُبُلِ الْمَرْأَةِ وَذَكَرِ الرَّجُلِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لِأَنَّهُ اخْتِلَاجٌ وَلَيْسَ بِرِيحٍ

“Angin yang keluar dari vagina wanita dan juga kemaluan laki-laki tidak membatalkan wudhu, karena itu hanyalah ikhtilaj (getaran atau denyutan) dan bukan angin.” [Tabyinul Haqaiq, Imam Fakhruddin az-Zaila’i, DKI, 1 hal. 8]

 

Ibnu Abdin (wafat 1252 H) juga menyatakan hal serupa dalam kitabnya, Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar,

 

لا ينقض خروجُ ريح مِن قُبُل وَذَكر ؛ لأنه اختلاج ؛ أي ليس بريح حقيقة ، ولو كان ريحا فليست بمنبعثة عن محل النجاسة فلا تنقض

“Keluarnya angin dari kemaluan wanita dan laki-laki tidak membatalkan wudhu karena itu bukan angin yang hakiki. Kalau seandainya itu berupa angin, namun angin itu tidak keluar dari tempat najis (dubur), maka tidak membatalkan wudhu.” [Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar, DKI, 1/263-264]

 

Kesimpulannya karena hal ini merupakan masalah khilafiyah, ada kelonggaran untuk kita memilih di antara dua pendapat yang ada. Pendapat Mayoritas ulama Queef tidak membatalkan wudhu, hal ini tentu memberikan kemudahan bagi para muslimah dalam menjalankan ibadah, tidak ragu dan merasa was-was apabila mengalami Queef saat sudah berwudhu atau sedang melakukan ibadah shalat. Pendapat kedua, Queef membatalkan Wudhu karena termasuk kategori kentut. Pendapat ini lebih memilih kehati-hatian dalam bersuci dan tentu mengandung kebaikan karena mendorong muslimah senantiasa dalam keadaan bersih dan suci.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password