Wanita Keguguran, Nifasnya Bagaimana?

Assalamualaikum. Ustadz, jika wanita keguguran apakah berlaku nifas seperti wanita yang melahirkan? Berapa lamakah masa nifasnya? Mohon penjelasannya. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Ulama berbeda pendapat tentang definisi Nifas. Mazhab Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa Nifas adalah darah yang keluar setelah wanita melahirkan. Sedangkan darah yang keluar bersamaan atau sebelum melahirkan merupakan darah Istihadhah. Adapun Mazhab Hanbali berpendapat bahwa Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, termasuk darah yang keluar beberapa hari sebelum dan sesudah melahirkan. [Syaikh Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/621-622].

 

Meski ada perbedaan tentang definisi, secara umum ulama sepakat bahwa Nifas adalah darah yang keluar saat seorang wanita mengalami proses persalinan. Namun bagaimana apabila terjadi keguguran, apakah berlaku nifas seperti halnya wanita melahirkan?

 

Berikut rincian penjelasannya:

Pertama, perkembangan janin di dalam rahim wanita terbentuk dalam 3 fase, yaitu;

  1. Fase Nuthfah (Pre-Embrionik), janin di fase pemula berbentuk air mani yang membuahi ovum yang kemudian akan menjadi zigot, zigot ini membelah dan terus membelah sehingga ia menjadi segumpalan sel yang akhirnya ia berusaha membenamkan diri dalam rahim. Usia 0-40 hari pertama.
  2. Fase ‘Alaqah (Embrionik), Zigot yang terus membelah dan membesar itu akhirnya akan menjadi embrio (‘Alaqah) yang bergantungan di dinding rahim, mirip seperti lintah, yang isinya adalah darah. Diyakini pada tahap ini organ dan sistem tubuh bayi baru mulai terbentuk. Usia 41-80 hari pertama.
  3. Fase Mudhgah (Fetus), janin berbentuk segumpal daging dan mulai terbentuk organ tubuh usia 81-120 hari pertama sehingga ditiupkan ruh pada janin usia 120 hari.

 

Kedua, perbedaan bentuk janin sepanjang tiga fase di atas membuat para ulama berbeda pendapat pada beberapa aspek terkait dengan status nifasnya, sebagaimana berikut:

  1. Apabila keguguran terjadi pada fase pertama, yaitu fase Nuthfah, maka tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa tidak adanya nifas bagi wanita tersebut. Darah yang keluar dianggap darah Istihadhah (darah penyakit) atau darah rusak yang wajib dibersihkan, dan wanita itu tetap wajib menunaikan ibadah shalat dan berpuasa sebagaimana wanita suci lainnya. Dan setiap kali masuk waktu shalat, wanita ini disyariatkan untuk membersihkan darah pada kemaluannya dan berwudhu. Jika ada darah yang keluar di tengah shalat, tetap dilanjutkan dan status shalatnya sah, serta tidak perlu diulang. (Bada’iu ash-Shana’i, Al-Kasani, 1/43; Al-Hawi Al-kabir; Syaikh Imam Al-Mawardi, DKI 1/436-438).

 

Antara alasannya adalah bahwa pada fase ini status calon bayi di dalam rahim ibunya masih belum jelas, dan struktur anatomi janin juga belum jelas, karena masih berupa ‘Alaqah (gumpalan darah) yang masih banyak kemungkinan lainnya.

 

  1. Jika keguguran terjadi pada fase kedua, ada dua pendapat di kalangan ulama. Ulama Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat keguguran pada fase ini juga tidak berlaku hukum nifas, melainkan hukum Istihadhah. Sementara ulama Madzhab Maliki dan Sebagian Syafi’i berpandangan berlaku hukum Nifas, baik janin belum berbentuk manusia atau baru berbentuk sebagian organ. (Kasyaful Qana’, 1/226; Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/621).

 

 

Antara dalil yang menjadi sandaran adalah keumuman ayat dalam surah Ath-Thalaq: 4, Allah ta’ala berfirman,

وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [QS. Ath-Thalaq: 4].

 

Ayat di atas mengandung makna bahwa keguguran pada fase ‘Alaqah dan Mudghah sudah bisa disebut “Melahirkan kandungan”, karena walau bagaimanapun keberadaan ‘Alaqah adalah Mudghah yang belum berbentuk manusia sempurna juga sudah disebut dengan kandungan. (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Imam Al-Qurthubi, Maktabah Taufiqiyyah 17-18/131-132).

 

Selain itu, pendapat ini juga disandarkan pada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

 

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،

 

“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rezekinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

 

  1. Adapun apabila keguguran terjadi pada fase ketiga, yaitu fase Mudhghah, maka Jumhur (Mayoritas) ulama berpendapat berlakunya hukum Nifas. Karena umumnya pada fase ini janin sudah berbentuk organ manusia.

 

Ketiga, Terkait jangka waktu Nifas, Jumhur ulama termasuk empat Imam Mazhab berpendapat tidak ada jangka waktu minimal. Karena boleh jadi ada wanita yang melahirkan hanya mendapatkan darah nifasnya mengalir beberapa hari saja lalu berhenti atau tidak mengeluarkan darah nifas sama sekali, dalam istilah fikih disebut Dzaatul Jufuf. Dalam kondisi ini maka wanita tersebut segera membersihkan diri dengan mandi dan melakukan kewajiban seperti shalat dan puasa. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/622).

 

Adapun batas waktu maksimal Nifas, umumnya ada dua pendapat di kalangan ulama. Antara pendapat yang menetapkan batas maksimal Nifas 40 hari dan 60 hari;

  • Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama berpendapat bahwa batas maksimal Nifas adalah 40 hari. Hal ini sebagaimana uraian Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya bahwa para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin serta ulama setelah mereka bersepakat bahwa perempuan yang sedang nifas hendaklah meninggalkan shalat selama 40 hari kecuali kalau dia telah suci sebelum itu maka dia wajib mandi dan mendirikan shalat.

 

Adapun jika seorang wanita masih melihat darah nifas keluar setelah 40 hari, mayoritas ulama mengatakan dia tidak boleh meninggalkan shalat setelah 40 hari. Imam At-Tirmidzi merujuk pada atsar yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa, “Adalah wanita yang nifas pada masa Rasulullah berdiam diri selama 40 hari.” [HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud]. (Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 1/104).

 

  • Imam Syafi’i berpendapat bahwa jangka waktu maksimal darah nifas adalah 60 hari. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan Asy-Sya’bi. (Al-Hawi Al-kabir; Syaikh Imam Al-Mawardi, DKI 1/436).

 

Pendapat kedua ini disandarkan pada riwayat dari Al-Auza’i yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni,

 

 روي عن الأوزاعي أنه قال : عندنا امرأه ترى النفاس شهرين وروي مثل ذلك عن عطاء أنه وجده

Diriwayatkan dari Al-Auza’i beliau berkata, “Di antara kami ada wanita yang mengalami nifas selama dua bulan. Riwayat seperti itu juga kami dapatkan dari Atha, “Sesungguhnya ia mendapatkan (kasus seperti ini).” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, DKI 1/283).

 

Kesimpulannya adalah jika keguguran terjadi di fase pertama kehamilan maka tidak berlaku nifas berdasarkan kesepakatan para ulama. Adapun jika keguguran terjadi di fase kedua dan ketiga, maka mayoritas ulama berpandangan berlakunya Nifas. Tidak ada batas minimal Nifas, namun terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang batas maksimalnya. Untuk itu kaum wanita bisa berpedoman pada kebiasaan nifas yang dialami antara 40 hingga 60 hari, baik kehamilan biasa atau keguguran.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password