Konversi Piutang Menjadi Zakat, Bolehkah?

Assalamualaikum. Ustadz, ada seseorang berutang kepada saya dan belum memiliki kemampuan membayarnya meski sudah jatuh tempo. Apakah boleh saya merelakan saja piutang tersebut dengan menghitungnya sebagai zakat saya. Mohon pencerahannya Ustadz. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Dalam istilah fikih, konversi piutang menjadi zakat ini dikenal dengan istilah, Ihtisab ‘Ibra ad-Dain min az-Zakah atau Isqath ad-Dain bin-Niyyat az-Zakat. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya mengkoversi piutang menjadi zakat. Perbedaan ini terjadi karena proses Tamlik (penyerahan) zakatnya tidak dilakukan sejak awal, tetapi dilakukan dalam kondisi seseorang tidak mampu membayar utang.

 

✅ Pendapat Pertama, Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa pembayaran zakat dalam bentuk pembebasan utang tidak sah dan berakibat pada tidak sahnya zakat tersebut. Karena praktik tersebut sejatinya bukanlah membayar zakat dalam arti yang sebenarnya, tapi lebih mengarah pada praktik Ibra’ (pembebasan utang) yang mengandung konsekuensi hukum yang berbeda dengan zakat. Padahal dalam zakat harus terdapat tamlik (pemberian kuasa kepemilikan) yang bermula dari serah-terima harta zakat.  Hal ini sebagaimana uraian Syaikh Zakaria al-Anshari, dalam kitab Asna al-Mathalib, 5/209. Berikut penjelasannya,

 ولو قال لفقير له عنده حنطة وديعة (اكتل) لنفسك (مما أودعتك) إياه (صاعا) مثلا (وخذه لك ونوى به الزكاة) ففعل (أو قال جعلت ديني) الذي (عليك زكاة لم يجزه) . أما في الأولى فلانتفاء كيله له وكيله لنفسه غير معتبر والترجيح فيها من زيادته . وأما في الثانية فلأن ما ذكر فيها إبراء لا تمليك وإقامته مقامه إبدال وهو ممتنع في الزكاة ذكره الرافعي في باب الهبة عن صاحب التقريب وطريق الأجزاء فيها أن يقبض الدين ثم يرده إليه إن شاء ذكره في الروضة 

 

“Jika seseorang berkata pada seorang fakir ‘Takarlah gandum yang aku titipkan padamu sebanyak satu sha’ lalu ambillah gandum itu’ sebagai zakatku. Atau ia berkata pada orang fakir tadi ‘Aku menjadikan utang yang kau tanggung sebagai harta zakat’, maka kedua praktik di atas tidak memenuhi syarat sebagai zakat.

 

Kasus 1:

Dianggap tidak memenuhi syarat sebagai zakat karena pemilik piutang tidak menakar sendiri gandum itu untuk diberikan pada orang fakir, sedangkan penakaran yang dilakukan oleh orang fakir untuk dirinya sendiri tidak dapat dijadikan acuan dalam syariat zakat.

 

Kasus 2:

Dianggap tidak bisa dikatakan zakat karena praktik di atas adalah Ibra’ (pembebasan utang) bukan pemberian harta zakat dari muzakki kepada mustahiq zakat. Padahal menempatkan posisi pembebasan utang sebagai pemberian kepemilikan adalah bentuk transaksi pertukaran dan hal ini tidak boleh dilakukan dalam zakat. Solusinya adalah dengan cara menerima terlebih dahulu pembayaran utangnya, lalu menyerahkan harta tersebut kepadanya sebagai zakat.

 

Antara dalil yang menjadi sandaran pendapat Jumhur adalah firman Allah ta’ala,

 

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. At-Taubah: 103].

 

Ayat ini menjelaskan bahwa zakat adalah proses penarikan dan penyerahan harta zakat. Sementara dalam praktik konversi piutang menjadi zakat tidak ada penarikan dan tidak ada penyerahan harta zakat, sehingga tidak sah dikatakan zakat.

 

✅ Pendapat Kedua, sebagian ulama menyatakan piutang boleh dikonversi menjadi zakat. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ bahwa terkait konversi piutang menjadi zakat, para ulama berbeda pendapat. Beliau menjelaskan,

 

إذا كان لرجل على معسر دين، فأراد أن يجعله عن زكاته وقال له: جعلته عن زكاتي، فوجهان (في مذهب الشافعي). أصحهما لا يجزئه، وهو مذهب أبي حنيفة وأحمد؛ لأن الزكاة في ذمته، فلا تبرأ إلا بإقباضها. والثاني: يجزئه، وهو مذهب الحسن البصري وعطاء؛ لأنه لو دفعه إليه، ثم أخذه منه جاز، فكذا إذا لم يقبضه، كما لو كانت عنده دراهم وديعة ودفعها عن الزكاة، فإنه يجزئهسواء قبضها أم لا. أما إذا دفع الزكاة إليه بشرط أن يردها إليه عن دينه، فلا يصح الدفع إليه، ولا نويا ذلك ولم يشرطاه جاز بالاتفاق، وأجزأه عن الزكاة، وإذا رده إليه عن الدين برئ منه، ولو قال المدين: ادفع إلى زكاتك حتى أقضيك دينك، ففعل، أجزأه عن الزكاة، وملكه القبض، ولا يلزمه دفعه إليه عن دينه، فإن دفعه أجزأه .

 

“Apabila ada seseorang yang berutang mengalami kesulitan melunasi utang-utangnya, lalu pemilik piutang ingin membebaskan utang tersebut dengan niat sebagai zakat, maka ada dua pendapat di kalangan ulama Mazhab Asy-Syafi’i. Pendapat pertama yang kami pandang paling shahih adalah tidak boleh. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Dengan dasar bahwa zakat adalah kewajiban yang wajib dipenuhi oleh seorang muzakki, sehingga tidak bisa dibebaskan kecuali dengan menggenggam (memiliki) harta tersebut.”

 

“Pendapat kedua mengatakan bahwa pembayaran zakat dengan cara pembebasan utang diperbolehkan. Pendapat ini merupakan pendapat Hasan al-Bashri dan Imam ‘Atha’, dengan dasar bahwa jika harta zakat diberikan pada orang yang tidak mampu di atas, lalu diambil kembali (untuk membayar utang), maka hal tersebut tetap diperbolehkan. Begitu pula ketika ia tidak menggenggam harta zakat itu sama sekali, seperti halnya ketika seseorang menitipkan dirham pada orang lain, lalu ia menjadikan dirham tersebut sebagai harta zakat, maka dirham tersebut mencukupi sebagai zakat, baik ia menggenggamnya (setelah dititipkan) ataupun tidak.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi 6/210-211).

 

Imam Ibnu Hazm juga membenarkan pendapat kedua ini dengan bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu ketika ada seorang lelaki pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena musibah pada buah-buahan yang dibelinya, sehingga utangnya menumpuk. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para sahabat untuk membebaskan piutang mereka terhadap lelaki itu,

 

فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «تصدقوا عليه”. فلم يف بما عليه، فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: خذوا ماله، ليس لكم إلا ذلك» ولم يرد بقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «خذوا ماله ” أي: انتهبوا ماله، وإنما أراد – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: خذوه بالحصص. قال: وهو قول عطاء بن أبي رباح وغيره.

“Bersedekahlah untuknya.” Orang-orang pun bersedekah untuknya, hanya saja sedekah yang terkumpul belum cukup untuk menutupi utangnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada orang-orang yang diutanginya, “Ambillah apa yang kalian dapati, tidak ada yang lain bagi kalian kecuali itu (saja).” [HR. Muslim].

 

Ibnu Hazm berkata, penyataan ini merupakan pendapat ‘Atha bin Abi Rabbah dan yang lainnya. (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 6/105-106).

 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam menyikapi praktik pembayaran zakat dengan cara pembebasan utang, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang cukup kuat adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama yang tidak membenarkan praktik tersebut sebagaimana yang diuraikan oleh Imam An-Nawawi rahimahullahu di atas. Namun pendapat kedua yang membolehkan juga memiliki sandaran. Kedua pendapat di atas bisa dipertimbangkan dan boleh diamalkan sesuai dengan kondisi masing-masing.

 

Wallahu A’la wa A’lam

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password