Haram Menamakan Masjid dengan Al-Jabbar?

Assalamualaikum. Ustadz, tentang penamaan masjid dengan nama-nama Allah (Asmaul Husna), misalnya Al-Jabbar, apakah dibolehkan? Saya mendapatkan ada sebagian pihak mempertanyakan tentang kebolehan penyematan nama Allah kepada makhluk, khususnya Al-Jabbar. Bahkan sebagian kalangan ada yang mengharamkan karena dianggap bermasalah dari segi akidah. Mohon berkenan menjelaskan. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Setiap masjid yang dibangun oleh manusia hakikatnya adalah milik Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran,

 

 وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu    menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18).

 

Penamaan masjid dengan nama-nama tertentu, seperti nama seseorang, nama kota, nama kabilah dibenarkan sebatas untuk identitas saja, bukan bermakna kepemilikan. Karena masjid adalah tempat beribadah kepada Allah ta’ala, maka kepemilikannya mutlak milik Allah. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurthubi (567 – 671 H) rahimahullahu ketika menjelaskan tentang masjid,

 

أنها «كل موضعٍ يمكن أن يعبد الله فيه ويسجد له». الجامع لأحكام القرآن، القرطبي ٢/٧٨.

“Setiap tempat yang bisa dijadikan tempat sujud dan menyembah Allah.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Qurthubi, 2/78).

 

أجمعت الأمة على أن البقعة إذا عينت للصلاة بالقول خرجت عن جملة الأملاك المختصة بربها وصارت عامة لجميع المسلمين، فلو بنى رجل في داره مسجدًا وحجزه على الناس، واختص به لنفسه لبقي على ملكه ولم يخرج إلى حد المسجدية، ولو أباحه للناس كلهم كان حكمه حكم سائر المساجد العامة، وخرج عن اختصاص الأملاك»

“Kaum muslimin sudah bersepakat bahwa apabila suatu tempat ditetapkan sebagai tempat shalat (masjid), maka tempat tersebut sudah bukan menjadi milik pribadi lagi, namun telah menjadi milik umat Islam. Adapun apabila seseorang membangun sebuah tempat shalat (mushalla) di rumahnya dan tempat tersebut dikhususkan hanya untuk dirinya saja, maka tempat tersebut tetap dalam kepemilikannya tidak menjadi masjid (tempat shalat umum). Namun apabila tempat tersebut dibuka untuk umum maka hukum pemakaiannya sebagaimana masjid pada umumnya tidak lagi menjadi milik pribadi.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Qurthubi, 2/78).

 

Penamaan masjid dengan nama seseorang, kota atau kabilah, termasuk nama-nama sahabat nabi, ulama, tokoh dan donatur yang membangunnya dibenarkan dalam Islam. Antara dalil yang mendasari kebolehan ini adalah hadits dari Abi Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِي، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Dan jangan mengencangkan pelana (melakukan perjalanan jauh) kecuali untuk mengunjungi tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam menyebut masjid yang beliau bangun di Madinah dengan “Masjidku” dan sejak saat itu para sahabat dan kaum muslimin menyebutnya dengan nama “Masjid Nabawi” (Masjid Nabi).

 

Dalil di atas juga diperkuat dengan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- سَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي أُضْمِرَتْ مِنْ الْحَفْيَاءِ وَأَمَدُهَا ثَنِيَّةُ الْوَدَاعِ وَسَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي لَمْ تُضْمَرْ مِنْ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikuti lomba kuda yang dikempiskan dari Hafaya’ dan berakhir di Tsaniyyatul Wada’, dan mengikuti lomba kuda yang tidak dikempiskan perutnya dari Tsaniyah hingga Masjid Bani Zuraiq.” [HR. Al-Bukhari].

 

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah, dan Zir bin Hubaisy dan Rabi’ bin Khaitsam, mereka mengatakan,

 

مسجد بني فلان, وأن جابراً قال: “فأتى مسجد معاذ

“Masjid Bani Fulan. Bahwa Jabir mengatakan, beliau mendatangi masjid Muadz.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/327].

 

Penamaan ‘Masjid Bani Zuraiq’, ‘Masjid  bani Fulan’ atau ‘Masjid Mu’adz’ menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa menamai masjid mereka dengan nama individu atau kabilah tertentu.

 

Imam Al-Bukhari rahimahullahu juga memuat hadits Abdullah bin Umar di atas dan membuat judul khusus terkait hal ini dalam kitab shahihnya,

باب هَلْ يُقَالُ مَسْجِدُ بَنِى فُلاَنٍ

Bab, bolehkah menyebut masjid Bani Fulan? (Shahih Al-Bukhari Bab. 41).

 

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773 – 852 H) rahimahullahu dalam penjelasannya menyatakan,

 

وَالْجُمْهُورُ عَلَى الْجَوَازِ ، وَالْمُخَالِفُ فِي ذَلِكَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ فِيمَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَقُولَ مَسْجِدُ بَنِي فُلَانٍ وَيَقُولُ مُصَلَّى بَنِي فُلَانٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ

“Mayoritas ulama membolehkan memberi nama masjid dengan nama pribadi. Yang berbeda dalam hal ini adalah Ibrahim an-Nakha’i. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, dari an-Nakha’i, bahwa beliau membenci seseorang menyebut Masjid Bani Fulan atau Mushalla Bani Fulan. Karena Allah berfirman (yang artinya) “bahwa semua masjid itu milik Allah.” (QS. al-Jin: 18).” (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/128-129).

 

Selanjutnya al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani menguatkan pendapat Jumhur, beliau mengatakan,

وَجَوَابُهُ أَنَّ الْإِضَافَةَ فِي مِثْلِ هَذَا إِضَافَةُ تَمْيِيزٍ لَا مِلْكٍ

“Jawaban untuk klaim di atas bahwa penisbatan dalam kasus ini adalah penisbatan untuk identitas, bukan penisbatan untuk kepemilikan.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/129).

 

Bolehkah Menamakan Masjid dengan Asmaul Husna?

 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap masjid yang dibangun oleh manusia hakikatnya adalah milik Allah ta’ala, maka menamai masjid dengan nama-nama Allah yang mulia (Asmaul Husna) adalah menisbatkan sesuatu yang memang sejatinya milik Allah ta’ala. Hal ini seperti dinyatakan dalam Al-Quran,

 

 وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu    menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18).

 

Imam Al-Qurthubi (567 – 671 H) rahimahullahu menjelaskan tentang masjid,

 

أنها «كل موضعٍ يمكن أن يعبد الله فيه ويسجد له». الجامع لأحكام القرآن، القرطبي ٢/٧٨

“Setiap tempat yang bisa dijadikan tempat sujud dan menyembah Allah.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Qurthubi, 2/78).

 

أجمعت الأمة على أن البقعة إذا عينت للصلاة بالقول خرجت عن جملة الأملاك المختصة بربها وصارت عامة لجميع المسلمين، فلو بنى رجل في داره مسجدًا وحجزه على الناس، واختص به لنفسه لبقي على ملكه ولم يخرج إلى حد المسجدية، ولو أباحه للناس كلهم كان حكمه حكم سائر المساجد العامة، وخرج عن اختصاص الأملاك»

“Kaum muslimin sudah bersepakat bahwa apabila suatu tempat ditetapkan sebagai tempat shalat (masjid), maka tempat tersebut sudah bukan menjadi milik pribadi lagi, namun telah menjadi milik umat Islam. Adapun apabila seseorang membangun sebuah tempat shalat (mushalla) di rumahnya dan tempat tersebut dikhususkan hanya untuk dirinya saja, maka tempat tersebut tetap dalam kepemilikannya tidak menjadi masjid (tempat shalat umum). Namun apabila tempat tersebut dibuka untuk umum maka hukum pemakaiannya sebagaimana masjid pada umumnya tidak lagi menjadi milik pribadi.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Qurthubi, 2/78).

 

Di dalam kitab Asna al-Mathalib Syarh Raudh at-Thalib, Syaikhul Islam al-Qadhi Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari (823 – 926 H) rahimahullahu, menjelaskan tentang kebolehan menamakan sesuatu dengan nama-nama Allah yang umum yang tidak khusus bagi diriNya,

 

جواز التسمية بأسماء الله تعالى التي لا تختص به ، أما المختص به فيحرم ، وبذلك صرح النووي في شرح مسلم

“Diperbolehkan memberikan nama dengan nama-nama Allah Ta’ala yang tidak khusus untuk diri-Nya. Sementara nama yang khusus untuk-Nya, hukumnya haram. Seperti ini yang ditegaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.” (Asna al-Mathalib Syarh Raudh at-Thalib, Syaikhul Islam, al-Qadhi Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari, 4/243).

 

Nama-nama Allah ta’ala yang khusus artinya nama-nama yang menunjukkan kekuasaan, keperkasaan dan kemutlakanNya di atas makhluk-makhlukNya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

أَخْنَى الأَسْمَاءِ يَوْمَ القِيَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ

“Nama yang paling keji di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang bernama dengan nama “Malikal Amlaak” (raja diraja).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam Shahih Muslim, secara lengkap redaksi lengkap hadits di atas sebagai berikut,

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إن أَخْنَعَ اسم عند الله رجل تسمى ملك الأملاك، لا مالك إلا الله». وفي رواية: «أَغْيَظُ رجل على الله يوم القيامة، وأخبثه وأَغْيَظُه عليه، رجل كان يسمى ملك الأملاك، لا مَلِكَ إلا الله». قال سفيان: «مثل شَاهَانْ شَاهْ»، وقال أحمد بن حنبل: سألت أبا عمرو عن أَخْنَع؟ فقال: «أَوْضَع». 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nama yang paling keji (hina) di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang bernama dengan nama “Malikal Amlaak” (raja diraja). Tidak ada raja selain Allah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Orang yang paling dimurkai Allah pada hari kiamat, paling buruk, dan paling dimurkai-Nya adalah seseorang yang diberi nama Raja Diraja. Tidak ada raja selain Allah.” Sufyan berkata, “Seperti Syāhān Syāh.” Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Amru mengenai arti Akhna’?” Ia menjawab, “Paling keji (hina).”

 

Haramnya menggunakan nama-nama Allah yang khusus bagiNya, juga diuraikan Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Minhaj, beliau mengatakan,

 

وَاَعْلَمُ أَنَّ التَّسَمِّيَ بِهَذَا الاسم – يعني ملك الأملاك – حرام، وَكَذَلِكَ التَّسَمِّي بِأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالرَّحْمَنِ وَالْقُدُّوسِ وَالْمُهَيْمِنِ وَخَالِقِ الْخَلْقِ وَنَحْوِهَا. انتهى

“Ketahuilah bahwa penamaan dengan nama ini yaitu Malikul Amlak (Maha Raja) adalah haram. Demikian pula pemberian nama dengan nama-nama Allah Ta’ala yang khusus untuk-Nya seperti Ar-Rahman, Al-Quddus, Al-Muhaimin, Khaliqul Khalqi dan yang semacam itu.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 7/113).

 

Mencermati penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penggunaan nama-nama Allah (Asmaul Husna) untuk menamai sesuatu adalah boleh selama tidak menggunakan nama-nama yang khusus bagi Allah ta’ala, termasuk penamaan masjid.

 

Al-Jabbar, antara Asmaul Husna yang khusus bagi Allah ta’ala

Apakah Haram secara mutlak digunakan?

 

Umumnya para ulama mengkategorikan Al-Jabbar (Maha Perkasa dan Maha Memaksa) adalah antara Asmaul Husna yang khusus bagi Allah ta’ala sehingga penggunaan bukan pada tempatnya adalah haramSyaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi (1926 – 2022 M) rahimahullahu antara ulama yang menyatakan bahwa Al-Jabbar adalah salah satu nama-nama Allah ta’ala yang khusus bagiNya sehingga haram digunakan untuk menamai seseorang. Beliau menjelaskan,

 

ومثل ذلك التسمي بأسماء الله الحسني المختصة به سبحانه، مثل الرحمن، والمهيمن، والجبار، والمتكبر، والخالق والبارئ، ونحو ذلك، وكذلك الأسماء المختصة به سبحانه، إذا كانت معرفة مثل: العزيز، الحكيم، العلي، الحليم، ونحوها،

“Antara penamaan yang haram digunakan adalah dengan Asmaul Husna yang khusus bagiNya, seperti Ar-Rahman, Al-Muhaimin, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Khaliq, Al-Bari, dan yang sejenisnya. Begitupula haram menggunakan nama-nama Allah yang disertai Alif dan Lam (Ta’rif) seperti Al-Aziz, Al-Hakim, Al’Aliyy, Al-Halim, dan yang serupa itu.” (al-qaradawi.net).

 

Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi rahimahullahu menyatakan penggunaan nama Al-Jabbar adalah haram dalam konteks menamai anak dengan nama tersebut, karena tidak boleh menyifati makhluk dengan nama dan sifat-sifat khusus bagi Allah sebagaimana kesepakatan para ulama.

 

Adapun terkait penggunaan nama Al-Jabbar sebagai nama masjid, setidaknya kita mendapatkan tiga pandangan di kalangan ulama;

Pertama, hukumnya Boleh.

Pandangan pertama bersandar pada keyakinan bahwa setiap masjid yang dibangun oleh manusia hakikatnya adalah milik Allah ta’ala, maka menamai masjid dengan nama-nama Allah yang mulia (Asmaul Husna) adalah menisbatkan sesuatu yang memang sejatinya milik Allah ta’ala. Hal ini seperti dinyatakan dalam Al-Quran,

 

 وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu    menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18).

 

Pandangan ini sebagaimana dikeluarkan oleh Darul Ifta Libya (Komisi Fatwa Libya), no. 4554, berikut uraiannya,

 

فتسمية المسجد باسم من أسماء الله تعالى، مثل: مسجد الله، مسجد الرحمن، مسجد السلام، لا بأس به؛ لقوله تعالى: ﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾ [الجن: 18]، وقد نص القرطبي رحمه الله على أن المساجدَ: “… وَإِنْ كَانَتْ لِلَّهِ مِلْكًا وَتَشْرِيفًا فَإِنَّهَا قَدْ تُنْسَبُ إِلَى غَيْرِهِ تَعْرِيفًا، فَيُقَالُ: مَسْجِدُ فُلَانٍ ” [تفسير القرطبي: 21/19]، وبذلك فمَن سمى المسجد باسم من أسماء الله فقد استصحبَ الأصل .عليه؛ فإضافة المساجد لله هي الأصل، وتسمية المسجد باسم (الله جل جلاله)؛ ليكتسب العلمية بذلك، لا يوجد ما يمنعه شرعًا، والله أعلم.

 

“Penamaan masjid dengan nama-nama Allah ta’ala, seperti Masjidullah, Masjid Ar-Rahman, Masjid As-Salam, dan lain-lain, tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin: 18).

 

Penisbatan masjid kepada Allah adalah ungkapan kemuliaan dan kepemilikan, sementara penisbatan masjid kepada selain kepada Allah adalah sebagai indentitas saja, seperti dikatakan, ‘Masjid Fulan’. Maka penamaan masjid dengan Asmaul Husna pada dasarnya penisbatan masjid kepada asal kepemilikannya yaitu milik Allah. Oleh karena itu penamaan masjid dengan nama Allah adalah sesuatu yang tidak terlarang dalam syariat. Wallahu a’lam.”

 

Kedua, hukumnya Haram.

Pandangan kedua bersandar pada pandangan bahwa nama Al-Jabbar adalah salah satu Asmaul Husna yang khusus bagi Allah ta’ala yang tidak boleh digunakan dan disandarkan pada semua makhluk termasuk masjid, sebagaimana hadits Imam Muslim di atas yang telah dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rahimahullahu.

 

Ketiga, lebih utama ditinggalkan

Pandangan ketiga ini merupakan sikap menghindari khilaf di kalangan kaum muslimin, sebagai implementasi dari kaidah fiqih, al-Khuruj minal khilaf Mustahab (keluar dari perbedaan ulama adalah lebih utama), sebagaimana metode Izzuddin bin Abdissalam (577 – 660 H), jika ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan, maka yang utama adalah meninggalkannya.

 

Pandangan ini seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Islamic Affair & Charitable Activities Departement (IACAD) menerbitkan fatwa no. 56169,

 

حكم تسمية المساجد بأسماء الله الحسنى

من المعلوم أن المساجد كلها لله تعالى وحده كما قال سبحانه: {وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ} واختصت بإضافتها إليه سبحانه لمزيد فضلها ولأنها أحب البقاع إليه سبحانه، وإلا فإن الكون كله لله تعالى خَلْقاً ومُلكاً وتصرفاً، قال جل شأنه ﴿ لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ المائدة: ١٢٠.

Hukum Penamaan Masjid dengan Asmaul Husna

Sebagaimana yang jamak diketahui bahwa semua masjid adalah milik Allah sebagaimana firmanNya,

 وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu    menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” [QS. Al-Jin: 18].

 

Penyebutan nama Allah dalam ayat di atas merupakan kemuliaan karena masjid merupakan belahan bumi yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, bagaimana tidak bahkan seluruh semesta dan segenap isinya adalah milik Allah ta’ala dan Dia berkuasa mutlak ke atasnya. Allah ta’ala berfirman,

لِلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌۢ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. Al-Maidah: 120].

 

والأسماء الحسنى – وهي الواردة في حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه (إن لله تسعا وتسعين اسماً مائة إلا واحداً، من أحصاها دخل الجنة) كما أخرجه البخاري ومسلم، وجاء تفصيلها في رواية الترمذي: (هو الله الذي لا إله إلا هو الرحمن الرحيم الملك القدوس…) ولله من الأسماء الحسنى غير ما ورد في الحديث المذكور، مما استأثر بها نفسه أو أطلعها من أحب من خلقه. ومعلوم أنَّ من هذه الأسماء ما لا يصح إطلاقه على غيره سبحانه مفرداً كلفظ الجلالة (الله) و(الرحمن) ويصح مضافاً. ومنها ما لا تذكر إلا مع مقابلها كالمانع المعطي، الضار النافع، المعز المذل..الخ؛ لأن الكمال والجلال لله سبحانه وتعالى لا يظهر إلا بالمقابل لها.

Asmaul Husna (nama-nama Allah yang mulia) disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiayallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Selanjutnya rincian Asmaul Husna tersebut diriwayatkan dalam At-Tirmidzi, “Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, dan seterusnya.

 

Selain nama-nama itu, Allah ta’ala juga memiliki nama-nama yang tidak termaktub di dalam hadits yang dikhususkan untuk diriNya yang tidak diketahui oleh siapapun selain Allah semata atau yang Allah singkap tabirnya kepada hamba-hamba yang Dia kehendaki di antara maklukNya. Jamak pula diketahui bahwa tidak boleh menggunakan nama-nama Allah tersebut untuk menamai sesuatu dengan lafal mufrad (tunggal) seperti nama Allah, Ar-Rahman, dll. Penggunaan nama-nama tersebut boleh dengan cara diidhafatkan (bersatu atau disandarkan dengan kalimat lain, misalnya Abdullah, Abdurrahman, dll).

 

Selain itu ada nama-nama Allah yang tidak boleh disebutkan kecuali dengan pasangan nama tersebut, seperti Al-Maa’ni’ (Yang Maha Menahan) dengan Al-Mu’thi’ (Yang Maha Memberi), Adh-Dhaar (Yang Maha Memudaratkan) dengan An-Naafi’ (Yang Maha Memberi Manfaat), Al-Mu’izz (Yang Maha Memuliakan) dengan Al-Muzil (Yang Maha Menghinakan), dan seterusnya. Sebab kesempurnaan dan keagungan nama-nama tersebut tidak tampak melainkan dengan pasangan nama tersebut.

 

فمثل هذه الأسماء -وإن كانت من أسمائه الحسنى- فإنه يخبر بها عن الله تعالى كما ورد في سرد أسمائه الحسنى. ولكن لا تجعل أسماء مضافة لمخلوقاته، فلا يصح عندئذ أن تقول: مسجد الضار، ولا المنتقم، ولا مسجد الجبار لأنه ليس في ذلك إشعار بالكمال. وبناء عليه: فإنه لا مانع من تسمية بعض المساجد ببعض أسماء الله الحسنى التي تشعر بالكمال والجمال، كالرحمن الرحيم، والملك، والقدوس، والسلام، والمؤمن، والعزيز، والعفو، والرؤوف…، دون المشعرة بالجلال كالجبار والمنتقم والضار. والأولى من ذلك كله اختيار أسماء مناسبة بحسب المكان أو الحال مما لا يعطي كثيراً من الاستغراب أو التساؤل. والله سبحانه وتعالى أعلم

Nama-nama ini meskipun termasuk Asmaul Husna namun hanya selayaknya disematkan kepada Allah ta’ala dan tidak disandarkan kepada makhlukNya. Jadi tidak boleh kita menamakan masjid dengan nama Masjid Adh-Dhaar, Masjid Al-Muntaqim, begitupula Masjid Al-Jabbar. Sebab penamaan tersebut tidak menampakkan sifat kamal (kemahasempurnaan) Allah. Oleh karena itu boleh hukumnya menamakan masjid dengan Asmaul Husna yang menunjukkan keluhuran, kelembutan, dan kemahasempurnaan Allah seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, As-Salam, Al-Mu’min, Al-Aziz, Al-‘Afwu, Ar-Rauf, dll, serta tidak menggunakan Asmaul Husna yang lebih menonjolkan makna keperkasaan dan ketegasan seperti Al-Jalal, Al-Jabbar, Al-Muntaqim, Adh-Dhaar.

 

Yang paling utama dalam hal penamaan masjid hendaknya menyesuaikan dengan tempat dan keadaan, jangan menggunakan nama yang menimbulkan tanda tanya dan kontroversi. Wallahu a’lam.”

 

Dari ketiga pandangan di atas dapat kita simpulkan bahwa penamaan masjid dengan nama Al-Jabbar dalam pandangan kebanyakan ulama adalah boleh bukanlah sesuatu yang haram dan terlarang, karena tidak ada dalil yang secara khusus dan spesifik menyebutkan keharamannya. Ulama yang menyarankan tidak menggunakan nama Al-Jabbar juga bukan pada konteks mengharamkan namun semata-mata dianggap Tark al-Aula (meninggalkan sesuatu yang lebih utama).

 

Pengharaman sesuatu dalam syariat harus berdasarkan nash yang sahih dan jelas, tidak bisa menggunakan dalil yang lemah dan tidak kuat dilalah (petunjuk) keharamannya. Sebagaimana uraian Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullahu,

 

أن الأصل فيما خلق الله من أشياء ومنافع، هو الحل والإباحة، ولا حرام إلا ما ورد نص صحيح صريح من الشارع بتحريمه، فإذا لم يكن النص صحيحا -كبعض الأحاديث الضعيفة- أو لم يكن صريحا في الدلالة على الحرمة، بقي الأمر على أصل الإباحة.

“Hukum asal pada semua yang Allah ta’ala ciptakan untuk manusia berupa benda dan manfaat adalah halal dan mubah, tidak ada keharaman melainkan berdasarkan nash yang (shahih) sahih dan sharih (jelas). Jika tidak ada nash yang shahih—misalnya hadits-hadits yang dhaif (lemah)—atau yang tidak secara sharih (jelas dan tegas) pengharamannya, maka hukum asalnya adalah boleh.” (Al-Halal wal Haram fil Islam, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Maktabah Wahbah, 20-21).

 

Prinsip kebolehah ini sebagaimana dituangkan dalam kaidah fikih yang disepakati para ulama,

الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم

“Hukum asal segala sesuatu itu diperbolehkan, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkan.”

 

Dalil yang menjadi sandaran para ulama tentang dasar segala sesuatu adalah boleh di antaranya firman Allah ta’ala,

 

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. Al-Baqarah: 29].

 

Juga firman Allah ta’ala,

 

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” [QS. Al-Jatsiyah: 13].

 

أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” [QS. Luqman: 20].

 

Kaidah ini juga sesuai dengan penegasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa yang halal dan haram telah dijelaskan di dalam Al-Quran, adapun yang tidak dijelaskan secara spesifik umumnya diperbolehkan. Beliau bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

عن سَلْمانَ قالَ: “سُئِلَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عن السّمْنِ والْجُبن والفِرَاءِ، فقالَ: الْحَلاَلُ ما أحَلّ الله في كِتَابِهِ. والْحَرَامُ ما حَرّمَ الله في كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمّا عفى عنهُ

Diriwayatkan dari Salman radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang minyak samin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Halal itu apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan Haram itu apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan.” [HR. Ibnu Majah dan At-Tirmdzi].

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan jawaban langsung kepada si penanya dengan menerangkan hukumnya satu persatu, tetapi beliau memberikan pedoman umum tentang halal dan haram yang dijelaskan di dalam Al-Quran. Bahwa yang halal dan haram telah dijelaskan di dalam Al-Quran, sementara yang tidak dijelaskan secara spesifik, prinsip dasarnya adalah mubah (boleh).

 

Dengan demikian ruang lingkup haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit, sedangkan ruang lingkup halal justru sangat luas. Sebab nash-nash yang sahih dan tegas mengharamkan jumlahnya sangat minim sekali. Berbeda dengan nash-nash yang membolehkan justru jumlahnya sangat banyak. Kaidah hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda atau objek tertentu, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk ibadah.

 

Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullahu menjelaskan,

 

أن أصل الإباحة لا يقتصر على الأشياء والأعيان، بل يشمل الأفعال والتصرفات التي ليست من أمور العبادة، وهي التي نسميها “العادات أو المعاملات” فالأصل فيها عدم التحريم وعدم التقيد إلا ما حرمه الشارع وألزم به. وقوله تعالى: {وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ} (الأنعام:119) ، عام في الأشياء والأفعال

“Kaidah hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda atau objek tertentu, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan adat atau mu’amalat. Prinsip pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh Syari’ telah diharamkan dan ditetapkan sesuai dengan firman Allah ta’ala: “Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS. Al-An’am: 119). Ayat ini umum meliputi soal makanan, perbuatan dan lain-lain.” (Al-Halal wal Haram fil Islam, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Maktabah Wahbah, 22).

 

Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password