Fikih Lebaran & Idul Fitri

  1. Definisi Idul Fitri

 

Secara bahasa, ‘Id berasal dari kata bahasa Arab, ‘Aada – Ya’uudu – Al-’Awdah, artinya kembali. ‘Id dari aspek bahasa setidak memiliki empat makna;

  • Awdah as-Surur, berulangnya kegembiraan setiap tahun.
  • ‘Awa-idul Ihsan, kembalinya kesempatan untuk berbuat baik.
  • Anwa’ al-Ihsan al-’Aa-idah alal ‘Ibaad, beragam kebaikan yang Kembali kepada hamba di setiap tahun.
  • Al-Fithr, berbuka setelah berpuasa.

 

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahu juga menjelaskan tentang makna “id,

 

فَإِنَّ الْعِيدَ مُشْتَقٌّ مِنَ الْعَوْدِ وَقِيلَ لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ يَعُودُ فِي كُلِّ عَامٍ وَقَدْ نَقَلَ الْكَرْمَانِيُّ عَنِ الزَّمَخْشَرِيِّ أَنَّ الْعِيدَ هُوَ السُّرُورُ الْعَائِدُ وَأَقَرَّ ذَلِكَ فَالْمَعْنَى أَنَّ كُلَّ يَوْمٍ شُرِعَ تَعْظِيمُهُ يُسَمَّى عِيدًا

“‘Id diambil dari kata al-‘Aud (sesuatu yang kembali), dikatakan demikian karena terulang setiap tahun. Al-Kirmani menukil dari az-Zaakhsyari bahwa ‘Id adalah kebahagiaan yang berulang, dan ia membenarkan makna tersebut. Maka ‘Id maknanya adalah semua hari yang disyariatkan untuk diagungkan.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 10/70).

 

Intinya kata ‘Id pada umumnya digunakan untuk menunjukkan hari-hari besar, istimewa dan sangat dimuliakan dalam Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha.

 

  1. Syariat Shalat ‘Id

Sejarah hari raya Idul Fitri tidak lepas dari dua peristiwa, yaitu peristiwa perang Badar dan hari raya masyarakat jahiliyah.

 

Pertama, awal mula dilaksanakannya hari raya Idul Fitri pada tahun ke-2 Hijriah. Saat itu bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar. Kemenangan itu menjadi sejarah bahwa di balik perayaan Idul Fitri ada suasana histeria dan perjuangan para sahabat untuk meraih kemenangan dan menjayakan dakwah Islam. Oleh karenanya, Idul Fitri itu secara tidak langsung adalah selebrasi umat Islam merayakan dua kemenangan, yaitu kemenangan atas dirinya yang telah berhasil berpuasa Ramadan, dan kemenangan kaum muslimin di perang Badar.

 

Kedua, sebelum Islam datang, kaum Arab jahiliyah mempunyai dua hari raya yang dirayakan dengan sangat meriah. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa asal-usul disyariatkannya hari raya ini tidak lepas dari tradisi orang jahiliyah yang mempunyai kebiasaan khusus untuk bermain dalam dua hari, yang kemudian dua hari itu oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diganti dengan hari yang lebih baik, dan perayaan yang lebih baik pula, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” [HR. Abu Daud dan an-Nasa’i].

 

  1. Dasar Normatif Shalat Idul Fitri

Shalat ‘Id adalah salah satu ibadah penting dilaksanakan kaum muslimin pada 1 Syawwal (Idul Fitri), antara dalilnya adalah beberapa hadits berikut ini,

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” [HR. Abu Daud dan an-Nasa’i].

 

Adapula hadits shahih yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan,

 

أَمَرَنَا – تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Id (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat.” [HR. Muslim].

 

  1. Hukum Shalat Idul Fitri

Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, dalam kitabnya Dalam Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1387-1388), bahwa ada 3 pandangan di kalangan fuqaha;

Madzhab Hanafi: Wajib kepada siapa saja yang wajib melaksanakan shalat Jumat.

Madzhab Maliki dan Syafi’i: Sunnah Muakkadah.

Madzhab Hanbali: Fardhu Kifayah.

 

  1. Hikmah dan Esensi Hari Raya

Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi dalam kitabnya Hasiyah al-Bujairami alal Khatib memaknai esensi hari raya bukan sekadar tentang pakaian baru dan sesuatu yang serba baru, meski kita disunnahkan menggunakan pakaian baru, pada hakikatnya bukan itu tujuan utama hari raya. Syaikh Sulaiman rahimahullahu menjelaskan,

 

 فائدة: جعل اللّه للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب.

“Faidah: Allah ta’ala menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu hari raya Jum’at, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semua itu, dianggap hari raya setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakaian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.” (Syaikh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami alal Khatib, 5/412).

 

Idul Fitri adalah hari perayaan dan selebrasi kebahagiaan, namun tidak lepas dari nilai-nilai ibadah seperti takbir dan shalat. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

 

كان ابن عباس يقول: حقٌّ على المسلمين إذا نظروا إلى هلال شوال أن يكبرِّوا الله حتى يفرغوا من عيدهم، لأن الله تعالى ذكره يقول: “ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم

“Wajib bagi kaum muslimin apabila mereka melihat hilal Bulan Syawal untuk bertakbir hingga selesai dari hari raya mereka, karena Allah berfirman {Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian}.” (Tafsir Ath-Thabari Jaami’ul Bayan Fii Takwil al-Quraan, Imam Ath-Thabari, 3/479).

 

  1. Waktu Shalat Idul Fitri

Para ulama mengatakan bahwa waktunya dimulai dari terbitnya matahari sampai matahari tergelincir. Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan,

 

ووقتها ما بين طلوع الشمس إلى ان تزول والافضل ان يؤخرها حتى ترتفع الشمس قيد رمح

“Waktu shalat ‘Id adalah antara terbitnya matahari sampai tergelincir, dan yang lebih utama adalah mengakhirkannya hingga matahari meninggi setinggi tombak.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 6/40).

 

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu juga menjelaskan,

 

اتفق الفقهاء على أن وقت العيد وهبة الزهيلي  : هو مابعد طلوع الشمس قدر رمح أو رمحين, أي بعد حوالي نصف ساعة من الطلوع إلى قبيل الزوال أي قبيل دخول وقت الظهر وهو وقت صلاة الضحى.

“Ulama sepakat bahwa waktu shalat ‘Id dimulai setelah terbitnya matahari setinggi tombak atau dua tombak, yaitu sekitar 30 menit setelah matahari terbit sampai sebelum Zawal (matahari tergelincir), yakni sebelum masuk waktu Zhuhur. Waktunya juga sama dengan waktu shalat Dhuha.” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1391).

 

Mempercepat dan Memperlambat Pelaksaan Shalat Id

Meski shalat ‘Id bisa dilakukan antara waktu dhuha sehingga sebelum zawal, namun kita disunnahkan mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul adha. Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan,

 

وَيُسَنُّ تَقْدِيمُ الْأَضْحَى؛ لِيَتَّسِعَ وَقْتُ التَّضْحِيَةِ، وَتَأْخِيرُ الْفِطْرِ؛ لِيَتَّسِعَ وَقْتُ إخْرَاجِ صَدَقَةِ الْفِطْرِ. وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

“Disunnahkan untuk menyegerakan shalat ‘Idul adha agar waktu menyembelih lebih luas, dan disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Idul fithri untuk meluangkan waktu pengeluaran zakat fitrah. Dan ini adalah madzhab syafi’i dan aku tidak mengetahui ada khilaf di dalamnya.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/338)

 

Dalil Imam Asy-Syafi’i dikemukan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana juga diuraikan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullah,

 

وَلِلشَّافِعِيِّ فِي حَدِيثٍ مُرْسَلٍ: «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَتَبَ إلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَهُوَ بِنَجْرَانَ: أَنْ عَجِّلْ الْأَضْحَى وَأَخِّرْ الْفِطْرَ وَذَكِّرْ النَّاسَ» .

Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini bersandar pada sebuah hadits Mursal bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada ‘Amru bin Hazm saat ia sedang di Najran, “Segerakan Shalat Idul Adha “dan perlambatlah Shalat Idul Fitri, dan beritahukanlah kepada orang-orang.” (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, Jami’ al-Kutub al-Islamiyah, 3/348; Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1391).

 

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, menjelaskan perihal penundaan shalat Idul Fitri dan penyegeraan shalat Idul Adha ini dengan mengatakan,

 

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَتَبَ إلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أن أَخِّرْ صَلاَةَ الْفِطْرِ و عَجِّلْ صَلاَةَ الْأَضْحَى. وَلِأَنَّ لِكُلِّ عِيْدٍ وَظِيْفَةً , فَوَظِيْفَةُ اْلفِطْرِ إِخْرَاجُ اْلفِطْرَةِ وَوَقْتُهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ وَوَظِيْفَةُ اْلأَضْحَى التَّضْحِيَّةُ وَوَقْتُهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ, وَفِي تَأْخِيْرِ اْلفِطْرِ وَتَقْدِيْمِ اْلأَضْحَى تَوْسِيْعٌ لِوَظِيْفَةِ كُلٍّ مِنْهُمَا.  

“Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada ‘Amru bin Hazm, ‘Perlambatlah shalat Idul Fitri dan segerakan shalat Idul Adha’. Ada tugas (agenda khusus) dari kedua hari raya tersebut. Agenda khusus di hara Idul Fitri adalah mengeluarkan Zakat Fitrah dan waktunya sebelum shalat ‘id dilaksanakan. Adapun agenda khusus Idul Adha adalah berkurban dan waktunya setelah shalat. Penundaan shalat Idul Fitri dan penyegeraan shalat Idul Adha adalah untuk meluaskan waktu pelaksaan kedua ibadah tersebut.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/338)

 

Tertinggal Shalat ‘Id, apakah harus diqadha?

Ulama berbeda pandangan dalam hal ini. Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa siapa yang tertinggal shalat ‘Id bersama Imam, maka ia tidak mengqadhanya karena waktunya telah berlalu, dan shalat Sunnah tidak diqadha. (Fathul Qadir, 1/429; Al-Lubab, 1/118; Asy-Syarh ash- Shaghir, 1/524; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 85).

 

Adapun ulama Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat siapa yang tertinggal shalat ‘Id bersama Imam, maka sunnah mengqadhanya sesuai dengan sifatnya sebagaimana yang lakukan oleh imam seperti yang pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Qadha shalat ‘Id boleh dilakukan di hari ‘Id boleh pula setelahnya, namun afdhal diqadha di sisa hari yang sama. (Mughni al-Muhtaj, 1/315; Al-Muhadzzab, 1/120; Kassyaful Qana’, 2/58; Al-Mughni, 2/390-392; Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1391-1392).

 

  1. Tempat Shalat Idul Fitri

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1394, menjelaskan bahwa ulama punya 2 pandangan terkait tempat shalat ‘Id,

Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa selain di kota Makkah, tempat shalat ‘Id adalah di tanah lapang dan makruh dilakukan di masjid. Pandangan ini mengacu pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى     

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Namun boleh dikerjakan di masjid jika ada udzur seperti hujan dll. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah suatu Ketika hujan di Madinah saat ‘Id, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Bersama kami di masjid. [HR. Abu Daud dan Al-Hakim].

 

Adapun dalam Mazhab Syafi’I, shalat ‘Id lebih afdhal dilaksanakan di masjid, dengan alasan masjid lebih suci, lebih mulia dan lebih bersih dari tempat-tempat yang lain. Kecuali jika masjid tidak bisa menampung seluruh jamaah shalat, maka shalat ‘Id bisa dilakukan di tanah lapang sebagaimana hadits Al-Bukhari dan Muslim.

 

Keutamaan shalat ‘Id di masjid dalam pandangan ulama Madzhab Syafi’i juga diuraikan Imam An-Nawawi dalam al-Majmu’ dan beliau menegaskan shalat ‘Id di masjid merupakan tradisi para ulama,

 

وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من المصلى: لأن الأئمة لم يزالوا يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد, ولأن المسجد أشرف و أنظف.

Apabila masjid luas dan lapang, maka shalat ‘Id lebih afdhal di masjid daripada di lapangan. Karena para ulama sejak dulu shalat ‘Id di masjid di kota Makkah karena masjid itu lebih mulia dan lebih suci.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 6/41).

 

Untuk kaum muslimin yang berada dan tinggal di Kota Mekkah, maka ulama sepakat bahwa shalat ‘Id lebih afdhal dilaksanakan di Masjidil Haram, sebagaimana uraian Syaikh Wahbah Az-Zuhaily rahimahullahu,

 

أما في مكة: فالأفضل فعلها في المسجد الحرام, لشرف المكان ومشاهدة الكعبة, وذلك من أكبر شعائر الدين

Kaum musllimin yang berada di Kota Makkah maka lebih afdhal shalat ‘Id dilaksanakan di Masjidil Haram karena merupakan tempat yang paling mulia dan jamaah shalat dapat menyaksikan Ka’bah yang menjadi syiar terbesar dalam agama Islam.  (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1394).

 

  1. Tata Cara Shalat Id

Ulama sepakat Shalat ‘Id dilaksanakan dua rakaat sebagaimana shalat sunnah pada umumnya. Hal ini berdasarkan perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu,

 

صلاة الفطر ركعتان وصلاة الأضحى ركعتان تمام غيرُ قصر على لسان نبيكم وقد خاب من افترى . رواه النسائي وابن خزيمة

“Shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat, shalat yang sempurna tidak diqashar sebagaimana ucapan Nabi kalian. Celakalah yang membuat hal baru yang tidak diajarkan dalam agama.” [HR. An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah].

 

Imam an-Nawawi rahimahullahu juga menegaskan,

أَمَّا الْأَحْكَامُ فَصَلَاةُ الْعِيدِ رَكْعَتَانِ بِالْإِجْمَاعِ وَصِفَتُهَا المجزئة كصفة سائر الصلوات وسننها وهيآتها

“Adapun hukum-hukumnya, maka shalat ‘Id dua rakaat berdasarkan kesepakatan para ulama. Tata cara yang mencukupi adalah seperti tata cara shalat-shalat yang lain, sunnah-sunnahnya dan gerakan-gerakannya.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 6/56).

 

  • Takbir Shalat Idul Fitri

Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa shalat ‘Id, tata caranya sama seperti tata cara shalat-shalat sunnah yang lain, sunnah-sunnahnya dan gerakan-gerakannya. Hanya saja ada beberapa perbedaan seperti takbir tambahan di rakaat pertama dan kedua, serta bacaan surah-surah tertentu yang sunnah di baca saat shalat ‘Id. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 6/56).

Adapun jumlah takbir tambahan di shalat ‘Id, ulama punya tiga pandangan sebagaimana uraian Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1395,

Pertama, Madzhab Hanafi: 3x Takbir rakaat pertama dan kedua selain takbiratul Ihram. Total 6x takbir selain Takbiratul Ihram.

Kedua, Madzhab Maliki dan Hanbali: 7x Takbir Rakaat pertama + 5x Takbir rakaat kedua. Total 12x takbir termasuk Takbiratul Ihram.

Ketiga, Madzhab Syafi’i: 7x Takbir Rakaat pertama + 5x Takbir rakaat kedua. Total 12x takbir selain Takbiratul Ihram.

 

  • Surah yang dibaca saat Shalat Idul Fitri

Menurut Jumhur Ulama, setelah membaca surah Al-Fatihah sunnah membaca surah Al-A’la di rakaat pertama dan surah Al-Ghasyiah di rakaat kedua.

Madzhab Maliki: setelah membaca surah Al-Fatihah sunnah membaca surah Al-A’la di rakaat pertama dan surah Asy-Syams di rakaat kedua.

Madzhab Syafi’i: setelah membaca surah Al-Fatihah sunnah membaca surah Qaf di rakaat pertama dan surah Al-Qamar di rakaat kedua.

(Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 6/56-57; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/339-341; Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1395-1396).

 

  • Shalat ‘Id Tanpa Adzan dan Tanpa Iqamah

Shalat ‘Id tanpa diawali tanpa adzan dan Iqamah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

صَلَيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْر مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ اَذَانٍ وَلاَ اِقَامَةٍ

“Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah.” [HR. Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi].

 

  1. Khutbah Shalat ‘Id

Disyariatkan untuk berkhutbah hari raya, dilakukan setelah mengerjakan shalat ‘Id. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, radhiyallahu ‘anhu,

 

شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Aku menghadiri shalat Idul Fitri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum, dan mereka semua melakukan shalat sebelum khutbah.” [HR. Al-Bukhari, dan Muslim].

 

Sunnahnya khutbah Idul Fitri juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin As-Saib radhiyallahu ‘anhu,

 

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: ” إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ

“Aku menyaksikan hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah selesai shalat beliau berkata: Kami akan berkhutbah, barangsiapa yang suka untuk duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan barangsiapa yang suka untuk kembali maka silahkan kembali.” [HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dll].

 

  • 2 Kali atau 1 Kali Khutbah

Terkait bilangan khutbah Idul Fitri, mayoritas ulama mengatakan bahwa khutbah hari raya dua kali, bahkan Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan khutbah Idul Fitri dua kali adalah Ijma’ (konsensus) ulama yang tidak ada perselisihannya di dalamnya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/346).

 

Pendapat ini disandarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

 

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحًى فَخَطَبَ قَائِمًا ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ثُمَّ قَامَ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, beliau berkhutbah sambil berdiri kemudian duduk dan berdiri kembali menyampaikan khutbah.” [HR. Ibnu Majah].

 

Sebagian ulama kontemporer berpandangan khutbah ‘Id hanya 1 kali.

Pendapat ini bersandar pada zahir hadits tentang khutbah Nabi yang hanya 1 kali pada hadits Al-Bukhari dan Muslim. Karena kata yang digunakan dalam hadits adalah Al-Khutbah dalam bentuk isim mufrad (kata benda yang tunggal) tidak dalam bentuk isim mutsanna (kata benda yang menunjukkan dua). Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

 

شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Aku menghadiri shalat Idul Fitri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum, dan mereka semua melakukan shalat sebelum khutbah.” [HR. Al-Bukhari, dan Muslim].

 

Pandangan ini berbeda dengan pandangan mayoritas ulama yang memahami bahwa hadits Abdullah bin Abbas tersebut justru tidak secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa khutbah ‘Id hanya satu kali, namun hanya mengabarkan kegiatan khutbah ‘Id secara umum yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi ada hadits Jabir bin Abdillah yang secara khusus menjelaskan bahwa khutbah ‘Id adalah dua kali dan hadits inilah yang diamalkan oleh hampir seluruh ulama salaf dan khalaf.

 

 

  • Khutbah ‘Id sebelum atau sesudah Shalat Idul Fitri

 

Jumhur Ulama: Khutbah Idul Fitri dilaksanakan setelah shalat. Sebagaimana hadits Al-Bukhari dan Muslim di atas yang menjelaskan bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman berkhutbah Idul Fitri setelah shalat.

Madzhab Hanafi: Jika khutbah sebelum shalat, hukumnya sah namun makruh karena meninggalkan sunnah mengakhirkan khutbah setelah shalat.

(Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1404).

 

  1. Sunnah-Sunnah Utama Hari Raya Idul Fitri

 

Setidaknya ada 15 sunnah utama hari raya Idul Fitri menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1412-1416). Hal yang sama juga diuraikan Imam An-Nawawi dalam al-Majmu’, DKI, 6/39-82; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/327-355).

 

  1. Menghidupkan malam takbiran 1 Syawwal dengan ibadah seperti Tasbih, Takbir, Istighfar, dan lain-lain [HR. Ath-Thabrani dan Ad-Daruquthni].

 

  1. Mandi sunnah Idul Fitri [HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi].

 

  1. Makan lebih dulu di rumah sebelum berangkat shalat ‘Id [HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dll].

 

  1. Berpakaian yang bagus dan terbaik [HR. Asy-Syafi’i, Malik, Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Memakai minyak wangi [HR. Muslim, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah].

 

  1. Membawa keluarga ke lapangan shalat ‘Id (Termasuk wanita-wanita haidh, namun mereka tidak ikut melaksanakan shalat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Datang lebih awal ke lapangan atau masjid tempat shalat ‘Id [HR. Asy-Syafi’I dan Al-Baihaqi].

 

  1. Sunnah berjalan kaki menuju tempat shalat ‘Id [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah].

 

  1. Sunnah bertakbir saat berangkat ke tempat shalat ‘Id sampai shalat dilaksanakan [HR. Ibnu Syaibah].

 

  1. Berangkat dan kembali dari tempat shalat melalui jalur yang berbeda [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Memperlambat pelaksanaan shalat Idul Fitri [HR. Asy-Syafi’i].

 

  1. Membayar Zakat Fitrah selambat-lambatnya sebelum pelaksanaan shalat ‘Id [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Melaksanakan shalat Idul Fitri dan mendengarkan khutbah ‘Id [HR. Muslim, Abu Daud dan An-Nasa’i].

 

  1. Bergembira di hari raya [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Saling mengucapkan selamat (at-tahniah) di hari Raya [HR. Ahmad].

 

Wallahu a’la wa a’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password