Fikih Kurban Sesuai Sunnah

  1. Definisi

Ibadah Kurban (Qurban), berasal dari bahasa Arab, Qaruba-Yaqrubu-Qurbanan yang berarti  hampir, dekat, atau mendekati. Kurban juga disebut dengan Udhhiyyah (hewan kurban) atau Nahr (ibadah kurban). Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan,

 

الأضحية والضحية اسم لما يذبح من الإبل والبقر والغنم يوم النهر وأيام التشريق تقربا إلى الله تعالى

“Udhhiyyah adalah  nama  bagi  hewan yang  disembelih  baik berupa unta,  sapi  dan kambing  pada  hari  Nahar  (10  Dzulhijjah)  dan  hari-hari  Tasyriq  (11, 12, 13 Dzulhijjah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala”. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fath Lil-I’lam al-Arabi, 4/176).

 

  1. Dasar Syariat Kurban

Ibadah  Kurban  merupakan  ibadah  yang  disyariatkan  dalam agama Islam berdasarkan  Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ (konsensus) ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2702-2703).

 

Allah ta’ala berfirman,

 

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ  .إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. [QS. Al-Kautsar: 1-3].

 

Allah ta’ala juga berfirman,

 

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur”. [QS. Al-Hajj: 36].

 

Diriwayatkan dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amalan manusia yang lebih dicintai oleh Allah untuk dilakukan pada hari Nahr (Idul Adha), melebihi amalan mengalirkan darah (hewan qurban). Karena qurbannya akan datang pada hari kiamat dengan tanduknya, bulunya, dan kukunya. Dan darahnya akan menetes di tempat yang Allah tentukan, sebelum darah itu menetes di tanah. Untuk itu hendaknya kalian merasa senang karenanya.” [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim].

 

Dalam riwayat Anas bin Malik, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

ﺿَﺤَّﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺑِﻜَﺒْﺸَﻴْﻦِ ﺃَﻣْﻠَﺤَﻴْﻦِ ﺃَﻗْﺮَﻧَﻴْﻦِ ﺫَﺑَﺤَﻬُﻤَﺎ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻭَﺳَﻤَّﻰ ﻭَﻛَﺒَّﺮَ ﻭَﻭَﺿَﻊَ ﺭِﺟْﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﻔَﺎﺣِﻬِﻤَﺎ

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing yang putih kehitaman (bercampur hitam pada sebagian anggota tubuhnya), bertanduk, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, beliau mengucapkan bismillah serta bertakbir dan meletakkan kaki beliau di badan kedua hewan tersebut.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Hukum Ibadah Kurban

Secara umum ulama berbeda pendapat apakah ibadah kurban hukumnya wajib atau sunnah, seperti rincian berikut:

 

  1. Pendapat Pertama: Wajib

Imam Abu Hanifah dan ulama Mazhab Hanafi menyatakan hukumnya wajib dilaksanakan setiap tahun bagi siapa saja yang mampu melakukannya. (Takmilah Fath al-Qadir: 8/67, Al-Lubab Syarh Al-Kitab: 3/232, Tabyin al-Haqa-‘iq: 6/2, Al-Bada-I’: 5/63). Ini juga merupakan pendapat Rabi’ah, Al-Laits bin Sa’ad dan Al-Auza’i. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 9/290).

 

Antara dalil yang dijadikan sandaran adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, maka jangan sekali-kali mendekat ke tempat shalat kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

 

Selain itu pendapat ini juga bersandar pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkurban setiap tahunnya,

 

عن ابن عمر قال: أقام رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمدينة عشر سنين يضحي كل سنة

Dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah bermukim di Madinah selama sepuluh tahun, dan beliau menyembelih kurban tiap tahunnya.” [HR. At-Tirmidzi dan Ahmad].

 

    2. Pendapat Kedua: Sunnah Muakkadah

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas ulama) termasuk Imam Asy-Syafi’i serta pengikutnya, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya. (Bidayatul Mujtahid: 1/415, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah: 186, Asy-Syarh al-Kabir: 2/118, Mughni al-Muhtaj: 4/282, Al-Muhadzzab: 1/237, Al-Mughni: 8/617, Syarh ar-Risalah Li Ibni Abi Zaid al-Qairawany: 1/366).

 

Antara dalil rujukan Jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun sampai ia menyembelih kurbannya.” [HR. Al-Jamaah selain Al-Bukhari].

 

Di dalam hadits ini terdapat Ta’liq (penjelasan sesuatu tentang sebab, dasar, alasan, dan lain-lain) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibadah kurban yang didasari oleh iradah (keinginan) seseorang. Kaidah yang digunakan Jumhur dalam hal ini, At-Ta’liq bil Iraa-dah yunaafil al-Wujuub (pengantungan ibadah tertentu kepada semata-mata keinginan seseorang maka ibadah tersebut bukan suatu kewajiban). (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2704).

 

  1. Hikmah dan Keutamaan Ibadah Kurban

Antara hikmah dan keutamaan ibadah kurban adalah;

  • Menjalankan perintah Allah ta’ala dan sebagai bentuk kesyukuran kepadaNya atas segala nikmat yang ditelah diberikan. [QS. Al-kautsar 1-3].
  • Mengamalkan sunnah para Nabi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah meninggalkan ibadah kurban. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
  • Amalan yang paling utama di hari Nahar (Idul Adha). [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim].
  • Setiap tetes darah dan helai bulu hewan kurban akan menjadi saksi kebaikan dan mendatangkan pahala di akhirat. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
  • Meningkatkan empati dan solidaritas umat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

  1. Waktu Pelaksanaan Kurban

 

  1. Waktu Terbaik

Para ulama sepakat bahwa waktu terbaik untuk penyembelihan hewan kurban adalah di hari pertama Idul Adha yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, waktunya bermula setelah selesai shalat ‘Id sampai sebelum Zawal (tergelincir matahari). Ulama juga sepakat bahwa penyembelihan hewan kurban tidak boleh dilakukan sebelum shalat ‘id, atau pada malam Idul Adha. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2714).

 

Kesepatan ini berdasarkan hadits dari Al-Barra bin ‘Azib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إنَّ أوَّلَ ما نَبْدَأُ به في يَومِنا هذا أنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ، فَنَنْحَرَ، فمَن فَعَلَ ذلكَ فقَدْ أصابَ سُنَّتَنَا، ومَن ذَبَحَ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فإنَّما هو لَحْمٌ عَجَّلَهُ لأهْلِه، ليسَ مِنَ النُّسُكِ في شيءٍ

“Sesungguhnya yang pertama kami lakukan pada hari ini (10 Dzulhijjah) adalah shalat, lalu kami pulang ke rumah untuk menyembelih hewan kurban. Barangsiapa melakukan hal itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka sembelihan itu tidak lain hanyalah daging yang ia persembahkan kepada keluarganya yang tidak termasuk ibadah kurban sama sekali.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

    2. Penyembelihan Kurban 10-13 Dzulhijjah

Penyembelihan kurban bisa dilakukan sejak tanggal 10 Dzulhijjah sehingga terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah, baik siang atau malam hari. Hanya saja penyembelihan di malam hari hukumnya makruh menurut Jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini disandarkan pada hadits mursal riwayat Al-Baihaqi dari Ali bin Al-Husein radhiyallahu ‘anhuma saat ada yang memotong pohon kurmanya,

 

ألم تعلم أن الرسول – صلى الله عليه وسلم – نهى عن جذاذ الليل وصرام الليل أو قال حصاد الليل

“Tidak tahukah kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memotong pada malam hari dan menyembelih pada malam hari atau memanen pada malam hari.” [HR. Al-Baihaqi].

 

Terkait kemakruhan menyembelih kurban pada malam hari, Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ juga menyatakan bahwa Imam Al-Baihaqi juga mengutip riwayat dari Hasan Al-Bashri bahwasanya,

 

نَهَى عَنْ جُذَاذِ اللَّيْلِ وَحَصَادِ اللَّيْلِ وَالْأَضْحَى بِاللَّيْلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memotong di malam hari, memanen di malam hari dan menyembelih di malam hari.” [HR. Al-Baihaqi].

 

Imam An-Nawawi menjelaskan,

 

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ ذَبْحُهَا فِي هَذَا الزَّمَانِ لَيْلًا وَنَهَارًا لَكِنْ يُكْرَهُ عِنْدَنَا الذَّبْحُ لَيْلًا فِي غَيْرِ الْأُضْحِيَّةِ وَفِي الْأُضْحِيَّةِ أَشَدُّ كَرَاهَةً

“Para pengikut Imam as-Syafi’i bersepakat bahwa boleh menyembelih kurban pada masa seperti saat tersebut (10-13 Dzulhijjah) baik siang maupun malam hari. Tetapi menurut kami (Madzhab Syafi’i) menyembelih di malam hari hukumnya makruh jika hewan yang disembelih adalah bukan hewan kurban. Namun jika yang disembelih adalah hewan kurban maka hukumnya sangat makruh.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 9/295).

 

Bagaimana jika Kurban belum disembelih, sehingga terbenam Matahari 13 Dzulhijjah?

Apabila matahari tanggal 13 Dzulhijjah telah terbenam sementara hewan kurban yang disiapkan belum disembelih, maka penyembelihan tetap dilakukan sebagai qadha (pengganti) atas ibadah yang terlewat, apabila kurban tersebut sudah dinazarkan pemiliknya. Namun apabila kurban tersebut tidak dinazarkan, maka pemilik diberi pilihan untuk menyembelihnya atau tidak sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’,

 

إذا فاتت أيام التضحية ولم تضح التضحية المنذورة لزمه ذبحها قضاء هذا مذهبنا وبه قال مالك وأحمد . وقال أبو حنيفة: لا تقضى بل تفوت وتسقط.

“Apabila waktu pelaksanaan kurban telah lewat sementara hewan kurban yang telah dinazarkan belum disembelih, maka penyembelihan tetap dilakukan sebagai qadha (pengganti) atas ibadah yang terlewat. Ini adalah pendapat kami Mazhab Syafi’i, serta pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Berbeda dengan Jumhur, Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak diqadha, karena kurban tersebut dianggap terlewat dan gugur.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 9/300).

 

Bersambung ..

Fikih Kurban Sesuai Sunnah [2]

Fikih Kurban Sesuai Sunnah [3]

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password