Apakah Ada Hari Raya Yatim?

Hari raya anak-anak yatim dalam bahasa Arab disebut ‘Idul Yatama atau ‘Idul Aitam yang umumnya dikenal masyarakat bertepatan dengan tanggal 10 Muharram (hari Asyura) sebenarnya bukan hari raya sebagaimana hari raya Idul Fitri atau Idul Adha yang merupakan syariat Islam. Istilah ‘Idul Yatama atau ‘Idul Aitam hanya sebagai ungkapan untuk menyebut momentum menggembirakan anak-anak yatim. Karena pada tanggal tersebut, kaum mulismin memberikan perhatian dan santunan kepada mereka.

 

Begitu pula hari Jumat, karena fadhilat dan kemuliaannya para ulama menamainya dengan “Idul Usbu’ Lil Muslimin” artinya hari raya pekanan bagi kaum muslimin. Ini berdasarkan hadits yang shahih dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu a’nhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

“Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari ‘Id (hari raya) bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah.” [HR. Ibnu Majah].

 

Jumat adalah hari yang agung, dengannya Allah mengagungkan dan meninggikan Islam. Allah memuliakan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hari Jumat, yang tidak diberikan kepada umat-umat nabi terdahulu.

 

Ada beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan hari Jumat. Bahkan ada beberapa ulama yang secara khusus menjadikannya dalam satu bentuk karya, seperti kitab al-Lum’ah Fi Khashaish al-Jum’ah, karangan Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi, rahimahullahu.

 

Imam Asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits yang menjelaskan tentang keutamaan hari Jumat,

 

 سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung daripada hari raya kurban dan hari raya fitri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali silaturahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat.”

 

Pertanyaan mengapa langit, bumi, batu dan benda-benda mati lainnya mengalami kekhawatiran? Padahal benda-benda tersebut merupakan makhluk yang tidak bernyawa? Syaikh Ihsan bin Dakhlan rahimahullahu menjelaskan sebagai berikut,

 

أَيْ يَخْلُقُ اللهُ تَعَالَى لَهَا إِدْرَاكًا لِمَا يَقَعُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَتَخَافُ…الى ان قال….وَالسِّرُّ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ السَّاعَةَ كَمَا تَقَدَّمَ تَقُوْمُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ فَمَا مِنْ دَابَّةٍ اِلَّا وَهِيَ مُشْفِقَةٌ مِنْ قِيَامِهَا فِيْ صَبَاحِ هَذَا الْيَوْمِ فَإِذَا أَصْبَحْنَ حَمِدْنَ اللهَ تَعَالَى وَسَلَّمْنَ عَلَى بَعْضِهِنَّ وَقُلْنَ يَوْمٌ صَالِحٌ حَيْثُ لَمْ تَقُمْ فِيْهَا السَّاعَةُ

“Maksudnya, Allah menciptakan kepada makhuk-makhluk tidak bernyawa ini Idrak (pengetahuan) tentang hal-hal yang terjadi pada hari Jumat tersebut. Rahasia dari kekhawatiran mereka adalah bahwa hari kiamat sebagaimana telah dijelaskan terjadi pada hari Jumat di antara waktu Shubuh dan terbitnya matahari. Maka tidaklah binatang-binatang kecuali khawatir akan datangnya hari kiamat pada pagi hari Jumat ini. Saat pagi hari tiba, mereka memuji kepada Allah dan memberi ucapan selamat satu sama lain, seraya mengatakan; ini hari yang baik. Kiamat tidak terjadi pada pagi hari ini.” (Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, Syaikh Ihsan bin Dakhlan, Juz 1/286, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).

 

Hari Asyura dan hari Jumat disebut hari raya, bukan dalam arti yang sebenarnya, Karena jika tentang hari Raya, secara khusus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan mereka (orang Madinah) menjadikan dua hari raya dimana mereka bergembira. Lalu Rasulullah bertanya: “Apa maksud dua hari ini?” Mereka menjawab: “Kami biasa bermain (bergembira) pada dua hari ini sejak zaman Jahiliyah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untukmu dengan dua hari raya yang lebih baik dari padanya, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri.”  [HR. Abu Daud].

 

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa selain Idul Fitri dan Idul Adha bukanlah termasuk hari raya yang sebenarnya, melainkan semacam perayaan atau peringatan saja. Dalam tradisi Arab, kata ‘Id (hari raya) digunakan untuk menunjuk sesuatu yang diperingati berulang-ulang semacam hari atau momen-momen spesial. Di Indonesia kita juga memiliki peringatan-peringatan tertentu, seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan, hari Pahlawan dan lain-lain. Maka ‘Idul Yatama atau ‘Idul Aitam dalam konteks momen spesial untuk menggembirakan anak-anak yatim.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

وسع على نفسه وأهله يوم عاشوراء وسع الله عليه سائر سنته

“Siapa yang memberi kelonggaran kepada dirinya dan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelonggaran rizki kepadanya sepanjang tahun.” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ibnu Abdil Bar dalam Al-Istidzkar].

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk melapangkan keluarga dalam keperluan dan kebutuhan mereka pada hari Asyura, meski tentunya melapangkan kebutuhan keluarga tidak semata pada hari tersebut saja. Anak-anak yatim tidak memiliki orangtua yang memenuhi kebutuhan mereka, maka kaum musliminlah yang menjadi orangtua bagi mereka.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir dalam keadaan yatim dan sangat mencintai anak-anak yatim. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا »  وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim kedudukannya di surga seperti ini,” kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya. [HR. Al-Bukhari].

 

Juga dalam riwayat lain ditegaskan,

 

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim kedudukannya di surga seperti ini,” kemudian Malik (perawi hadits) menunjukkan bahwa nabi mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau.” [HR. Muslim.

 

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka yang mengurus dan mencukupkan keperluan anak-anak yatim dijamin baginya surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

“Barang siapa yang mengikutsertakan (mengurus dan mencukupkan) seorang anak yatim di antara dua orang tuanya yang Muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga tercukupi kebutuhan mereka maka ia pasti masuk surga.” [HR. Ahmad, Ath-Thayalisi dan Abu Ya’la].

 

Idul Yatama atau ‘Idul Aitam (hari raya anak-anak yatim) tanggal 10 Muharram (hari Asyura) adalah momen peringatan untuk mengingatkan kaum muslimin untuk peduli dan memperhatikan nasib anak-anak yatim. Peringatan ini juga tidak bermaksud bahwa menyantuni anak yatim hanya berlangsung pada tanggal 10 Muharram saja.

 

Hari Raya Anak Yatim Adalah Tradisi Umat Islam dan para Ulama

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin bi Ahaditsi Sayyidil Anbiyaa-i wal Mursalin disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً

“Barangsiapa berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharran, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan baragsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya“.

 

Ulama berbeda pendapat terkait status hadits ini, sebagian mengatakan Maudhu’ (palsu) adapula yang menyatakan dha’if (lemah). Meski statusnya dipertentangkan namun banyak ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadits ini karena berkaitan dengan Fadha’ilul a’mal (kebaikan dan kebajikan).

 

Pengertian “mengusap kepala anak yatim” dalam hadits ini, sebagian ulama mengartikannya sebagai makna hakiki (mengusap kepala dengan tangan), dan sebagian lainnya mengartikan sebagai makna kinayah (kiasan).

 

Al-Imam al-Mujtahid Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-Salmunti al-Haitami, ulama besar Madzhab Syafi’i yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar al-Haitami (909 – 973 H) rahimahullahu menjelaskan,

 

 والمراد من المسح في الحديث الثاني حقيقته كما بينه آخر الحديث وهو (من مسح رأس يتيم لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة تمر عليها يده عشر حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو في الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه) . وخص الرأس بذلك لأن في المسح عليه تعظيما لصاحبه وشفقة عليه ومحبة له وجبرا لخاطره، وهذه كلها مع اليتيم تقتضي هذا الثوب الجزيل

“Maksud dari “mengusap” dalam hadits yang kedua adalah makna hakiki, sebagaimana diterangkan oleh hadits lain, yaitu “Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim semata-mata karena Allah, niscaya Allah memberikan 10 kebaikan pada setiap helai rambut yang diusapnya. Dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim, perempuan atau laki-laki, niscaya aku (Nabi Muhammad) akan bersamanya seperti ini (dua jari tangan); lalu Nabi memberi isyarat dengan dua jarinya”. Penyebutan kata ra’sun (kepala), karena mengusap kepala berarti menghargai, mengasihi, cinta kasih, dan mencukupkan kebutuhannya. Jika semua itu dilakukan pada anak yatim, maka akan mendapatkan pahala yang sangat besar….” (al-Fatawa al-Haditsiyyah li-Ibni Hajar al-Haitami, 1/43).

 

Syaikh Al-Mula Ali Al-Qari Al-Harawi (wafat 1014 H) rahimahullahu ulama terkemuka madzhab Hanafi dalam kitabnya Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih mengutip uraian Syaikh Abu Thayyib,

 

قال الطيبي: مسح رأس اليتيم كناية عن الشفقة والتلطف إليه، ولما لم تكن الكناية منافية لإرادة الحقيقة لإمكان الجمع بينهما

Abu Thayyib berkata: “Mengusap kepala anak yatim adalah sebuah kinayah (kiasan) tentang kasih sayang dan sikap lemah lembut (kepada anak yatim). Makna kinayah ini tidak bertentangan dengan makna hakiki, karena keduanya bisa dipadukan.” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, 8/3115).

 

Tradisi Masyarakat dan Ulama

Syaikh Jamaluddin bin al-Farj Abdurrahman bin Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ubaidillah al-Qurasyi at-Taimy al-Bakri al-Baghdadi al-Hanbali, atau yang lebih kesohor dengan nama Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi (508-597 H), seorang ahli hadits Madzhab Hanbali rahimahullahu, menjelaskan bahwa menyantuni anak yatim pada tanggal 10 Muharram (hari Asyura) merupakan tradisi para ulama dan kaum muslimin yang sudah berlangsung sejak lama,

 

فَوَائِدُ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ. اَلْفَائِدَةُ اْلأُوْلَى: يَنْبَغِيْ أَنْ تَغْسِلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ زَمْزَمَ إِلىَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، فَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَئِذٍ أَمِنَ مِنَ الْمَرَضِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِحَدِيْثٍ، بَلْ يُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. اْلفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ. اْلفَائِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ رَأْسَ الْيَتِيْمِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُفَطِّرَ صَائِمَا. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ يُسْقِيَ الْمَاءَ. اَلْفَائِدَةُ السَّادِسَةُ أَنْ يَزُوْرَ اْلإِخْوَانَ. اَلْفَائِدَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَعُوْدَ الْمَرِيْضَ. اَلْفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ أَنْ يُكْرِمَ وَالِدَيْهِ وَيَبُرَّهُمَا. الْفَائِدَةُ التَّاسِعَةُ أَنْ يَكْظِمَ غَيْظَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْعَاشِرَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْحَادِيَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّانِيَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّالِثَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُمِيْطَ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُصَافِحَ إِخْوَانَهُ إِذَا لَقِيَهُمْ. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ وَمَنْ نَظَرَ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا 

 

Faidah-faidah hari Asyura 10 Muharram:

  1. Mandi pada hari Asyura. Telah disebutkan bahwa Allah ta’ala memancarkan air Zamzam ke seluruh air pada malam Asyura’. Karena itu, siapa yang mandi pada hari tersebut, maka akan aman dari penyakit selama setahun. Ini bukan hadits, akan tetapi diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu a’nhu.
  2. Bersedekah kepada fakir miskin.
  3. Menyantuni dan mengusap kepala anak yatim.
  4. Memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa.
  5. Memberi minuman kepada orang lain.
  6. Mengunjungi saudara seagama (silaturahim).
  7. Menjenguk orang sakit.
  8. Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua.
  9. Menahan amarah dan emosi.
  10. Memaafkan orang yang berbuat zalim.
  11. Memperbanyak ibadah seperti shalat, doa, dan istighfar.
  12. Memperbanyak zikir kepada Allah.
  13. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu di jalan.
  14. Berjabat tangan dengan orang yang dijumpai.
  15. Memperbanyak membaca surat al-Ikhlash, sampai seribu kali. Karena ada atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu a’nhu: Barangsiapa membaca surah al-Ikhlash 1000 kali pada hari Asyura, maka Allah akan “memandangnya”. Barangsiapa “dipandang” oleh Allah, maka Dia tidak akan mengazab selamanya. (Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, al-Majalis, DKI/73-74).

 

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tradisi menyantuni anak yatim pada hari Asyura memang sudah ada sejak lama, dan dilakukan oleh kaum muslimin dan para ulama. Dari tradisi inilah sebenarnya muncul istilah ‘Idul Yatama atau ‘Idul Aitam (hari raya anak-anak yatim).

 

Wallahu A’lam.

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password