Formasi Shalat Tarawih, 4-4 atau 2-2?

Assalamualaikum. Mohon izin bertanya terkait formasi shalat Tarawih. Apakah benar shalat Tarawih dengan formasi 4 rakaat – 4 rakaat tidak sah. Mohon pencerahan. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Tarawih secara bahasa merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “tarwihah” yang artinya membuat nyaman atau istirahat. Disebut shalat Tarawih karena orang-orang yang melakukannya memanjangkan berdiri dan melakukan istirahat setiap empat rakaat dengan dua kali salam. (Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur, Darul Hadits Al-Qahirah, 4/290).

 

Shalat Tarawih hukumnya Sunnah berdasarkan Ijma’ (konsensus) ulama, sebagaimana uraian Imam An-Nawawi rahimahullahu,

 

فَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ اْلعُلَمَاءِ , وَمَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَتَجُوْزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً

“Shalat tarawih hukumnya Sunnah berdasarkan kesepakatan ulama. Dan menurut madzhab kami (Syafi’i) Shalat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat dengan 10 kali salam (salam di setiap dua rakaat). Boleh dilakukan sendiri atau secara berjamaah.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 5/39).

 

Ijma’ ulama terkait sunnahnya shalat Tarawih juga dinyatakan oleh Syaikh Khatib Asy-Syarbini rahimahullahu,

 

وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى سُنِّيَّتِهَا وَعَلَى أَنَّهَا الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .

“Ulama sepakat atas sunnahnya shalat tarawih dan sesungguhnya tarawih adalah shalat yang dimaksud di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barang siapa mendirikan shalat di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu’. Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari.” (Mughni al-Muhtaj, Syaikh Khatib Asy-Syarbini, 1/459).

 

 

Jumlah Rakaat Tarawih

 

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Ada 3 pendapat dalam hal ini;

1.   Jumhur (Mayoritas) Ulama: 20 Rakaat

2.   Imam Malik Bin Anas dan Ulama Madzhab Maliki: 36 Rakaat

3.   Beberapa ulama kontemporer: 11 Rakaat termasuk Witir

 

Ketiga pendapat di atas adalah perbedaan yang mu’tabar (diakui) di kalangan ulama sebagaimana uraian Syaikh Wahbah Zuhaily dalam Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1089.

 

Imam Asy-Syaukani rahimahullahu juga menjelaskan bahwa ketiga pendapat di atas adalah khilaf yang diakui di kalangan ulama. Penyebutan jumlah rakaat di hadits-hadits di atas tidak secara khusus membatasi bilangan rakaat Tarawih,

  

دلت عليه أحاديث الباب وما يشابهها هو مشروعية القيام في رمضان، والصلاة فيه جماعة وفرادى، فقصر الصلاة المسماة بالتراويح على عدد معين، وتخصيصها بقراءة مخصوصة لم يرد به سنة.

“Hadits-hadits tentang bab ini dan yang serupa dengannya menunjukkan tentang syariat shalat tarawih di bulan Ramadan, baik secara individu atau berjamaah. Membatasi shalat yang dinamai Tarawih ini dengan bilangan rakaat tertentu, atau mengkhususkannya dengan bacaaan tertentu, tidak bersumber dari As-Sunnah.” (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, 3/64).

 

 

Formasi Shalat Tarawih

 

Terkait formasi shalat Tarawih, secara umum ada 2 pendapat di kalangan ulama. Berikut rinciannya:

✅ Pendapat pertama, 2 rakaat – 2 rakaat. Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana uraian Imam An-Nawawi rahimahullahu,

 

مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر، وذلك خمس ترويحات، والترويحة أربع ركعات بتسليمتين، هذا مذهبنا، وبه قال أبو حنيفة، وأصحابه، وأحمد، وداود، وغيرهم، ونقله القاضي عياض عن جمهور العلماء .

“Menurut madzhab kami (Madzhab Syafi’i), shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam, tidak termasuk witir. Yaitu 5 kali Tarwihah; 1 Tarwihah 4 rakaat dengan dua kali salam. Demikianlah pendapat kami Madzhab Syafi’i, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Ahmad bin Hanbal, Daud Azh-Zhahiry, dan lain-lain. Al-Qadhi ‘Iyadh juga menukil bahwa ini adalah pendapat Jumhur ulama.” [Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 5/39].

 

Antara sandaran pendapat Jumhur ulama adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى .

“Shalat malam itu dua rakaat – dua rakaat. Jika kalian takut masuk waktu Shubuh, maka kerjakanlah satu rakaat, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، وَيُوتِرُ بِرَكْعَةٍ .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dua rakaat salam, dua rakaat salam, lalu witir satu rakaat.” [HR. Al-Bukhari, dan Muslim].

 

Lebih lanjut Imam An-Nawawi rahimahullahu di dalam Al-Majmu’ menjelaskan tentang tata-cara shalat Tarawih adalah 2 rakaat – 2 rakaat, sedangkan shalat Tarawih dengan formasi 4 rakaat – 4 rakaat tidak sah.  

 

يدخل وقت التراويح بالفراغ من صلاة العشاء ذكره البغوي وغيره ويبقى إلى طلوع الفجر وليصلها ركعتين ركعتين كما هو العادة فلو صلى أربع ركعات بتسليمة لم يصح ذكره القاضي حسين في فتاويه لأنه خلاف المشروع.

“Masuknya waktu shalat Tarawih itu bermula setelah shalat Isya, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Baghawi dan ulama lainnya, waktunya terbentang sehingga terbit fajar. Dan hendaknya shalat Tarawih itu dilakukan dua rakaat – dua rakaat (dua rakaat dengan satu salam) sebagaimana kebiasaan yang berlaku. Apabila seseorang menjalankan shalat Tarawih empat rakaat dengan sekali salam tidaklah sah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Qadhi Husein dalam fatwanya karena menyalahi ketentuan yang telah disyariatkan.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 5/39).

 

✅ Pendapat kedua, 4 rakaat – 4 rakaat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Sebagaimana uraian Al-Hafizh Al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu at-Tatsrib yang menukil pendapat Imam Abu Hanifah,

 

وقال أبو حنيفة الأفضل أن يصلي أربعا أربعا وإن شاء ركعتين وإن شاء ستا وإن شاء ثمانيا وتكره الزيادة على ذلك .

“Abu Hanifah mengatakan, yang afdhal shalatnya dikerjakan 4 rakaat – 4 rakaat. Jika dia mau, boleh 2 rakaat. Jika dia mau, boleh 6 rakaat, dan jika dia mau, boleh 8 rakaat satu salam. Dan makruh lebih dari itu.” (Tharhu at-Tatsrib, Al-Hafizh Al-Iraqi, DKI 2/66).

 

Antara dalil yang menjadi sandaran Imam Abu Hanifah dan pengikutnya adalah keumuman hadits Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

 

إنَّ النَّبِيَّ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلّيِ مِنَ اللَّيْلِ أَرْبَعاً ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حًسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلّيِ أَرْبَعاً ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حًسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya shalat malam empat rakaat, jangan anda bertanya akan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan anda bertanya akan bagus dan panjangnya. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dua pendapat ini juga diuraikan Imam Murtadha Az-Zabidi rahimahullahu, beliau menyatakan,

 

فيه أن الأفضل في نافلة الليل أن يسلم من كل ركعتين، وهو قول مالك، والشافعي، وأحمد، وأبي يوسف، ومحمد، والجمهور، ورواه ابن أبي شيبة عن أبي هريرة، والحسن البصري، وسعيد بن جبير، وعكرمة مولى ابن العباس، وسالم بن عبدالله بن عمر، ومحمد بن سيرين، وإبراهيم النخعي، وغيرهم؛ وحكاه ابن المنذر عن الليث بن سعد… وقال أبو حنيفة: الأفضل أن يصلي أربعاً أربعاً، وإن شاء ركعتين، وإن شاء ستاً، وإن شاء ثمانية، وتكره الزيادة على ذلك .

“Bahwa ada pendapat yang paling afdhal dalam shalat malam adalah salam di setiap dua rakaat. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan merupakan pendapat Jumhur (mayoritas) ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah, Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jabir, Ikrimah Maula Abdillah bin Abbas, Salim bin Abdillah bin Umar, Muhammad bin Sirin, Ibrahim An-Nakha’i, dan lain-lain. Pendapat ini juga diceritakan oleh Ibnu Mundzir dari Al-Laits bin Sa’ad.”

 

“Sementara Imam Abu Hanifah berkata, “Yang afdhal shalatnya dikerjakan 4 rakaat – 4 rakaat. Jika dia mau, boleh 2 rakaat. Jika dia mau, boleh 6 rakaat, dan jika dia mau, boleh 8 rakaat satu salam. Dan makruh lebih dari itu.” (Ittihaf As-Sadatil Muttaqin, Murtadha Az-Zabidi, DKI, 5/465).

 

Mengapa Ada Perbedaan?

 

Jumhur ulama berpandangan bahwa hadits pelaksanaan shalat malam 4 rakaat dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas bersifat umum, yang ditakhshish (dikhususkan) dengan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa shalat malam adalah 2 rakaat – 2 rakaat. Selain itu hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat sejenak setiap empat rakaat, sebelum melanjutkan empat rakaat berikutnya. Setiap empat rakaat dilakukan dengan dua salam, bukan empat rakaat dengan satu salam. Adapun Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa shalat tarawih tidak harus dilakukan dengan dua rakaat satu salam, namun bisa dilakukan dengan empat rakaat satu salam sebagaimana zahir hadits Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.  

 

Selanjutnya perbedaan ini diharmonikan dengan sangat apik oleh Imam asy-Syaukani rahimahullahu. Beliau mengatakan bahwa meskipun mayoritas ulama mengatakan, shalat tarawih itu dilaksanakan dengan dua rakaat satu salam, namun sebenarnya hal itu hanya sekedar menunjukkan afdhaliyyah (keutamaan) saja, bukan membatasi atau mewajibkan pada bilangan rakaat tertentu, karena ada riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau melakukan shalat malam empat rakaat dengan satu salam. Hadits Abdullah bin Umar tentang pelaksanaan tarawih dua rakaat satu salam hanya untuk memberi pengertian kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua rakaat dengan satu salam lebih ringan dibanding empat rakaat satu salam. (Nailul-Authar, Imam Asy-Syaukani, 2/38-39).

 

 

Kesimpulan

 

Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa ada perbedaan di kalangan ulama terkait formasi shalat Tarawih. Pendapat Jumhur Ulama adalah 2 rakaat – 2 rakaat. Adapun pendapat Imam Abu Hanifah boleh dilakukan dengan formasi 2-2, 4-4, 6-6, 8-8. Dengan begitu, pilihan tentu dikembalikan kepada kita, dengan tetap mentoleransi perbedaan pendapat yang ada.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password