Bangun Kesiangan, Wajibkah Meneruskan Puasa Ramadan?

Assalamualaikum. Ustadz, apa hukum berpuasa bagi orang yang bangun kesiangan?

Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Niat adalah salah satu rukun dalam ibadah puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah”. [HR. Abu Daud, Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i].

Niat puasa Ramadan dilakukan pada malam hari mulai ba’da Maghrib sampai terbit fajar. Niat cukup dalam hati dan tidak disyaratkan harus dilafalkan, meskipun mayoritas ulama mengatakan bahwa melafalkan niat dengan lisan adalah sunnah. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir: 3/1671).

Jika ada seseorang bangun kesiangan namun malam harinya sempat berniat maka wajib baginya meneruskan puasa dan puasanya sah meskipun tidak disertai makan sahur. Adapun seseorang yang kesiangan dan malam harinya tidak sempat berniat, maka ulama berbeda pendapat terkait puasa dan konsekuensinya.

Berikut perinciannya:

  1. Mazhab Hanafi: Wajib meneruskannya dan puasanya sah.
  2. Mazhab Maliki: Boleh niat puasa Ramadan setelah terbit fajar jika tidak sengaja kesiangan, dan puasanya sah.
  3. Mazhab Syafi’i: Wajib Tabyīt niat (niat di malam hari), sehingga bila lupa niat di malam hari harus tetap Imsak (berpuasa) di siang harinya, selain itu juga berkewajiban mengqadha puasanya di luar Ramadan. Pendapat Mazhab Asy-Syafi’i ini juga dijelaskan oleh Syaikh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, dalam Kaasyifatus Sajaa, Syarah Kitab Safinatun Naja karangan Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami (Ad-Dar al-Aalamiyyah, Kairo, hal. 342).

Dalam kondisi kesiangan, meski ulama berbeda pendapat tentang konsekuensinya, tetapi mereka bersepakat bahwa orang yang kesiangan saat puasa Ramadan, wajib meneruskan puasanya.

Adapun terkait konsekuensinya, meski pendapat dalam Mazhab Syafi’i mewajibkan bagi yang kesiangan dan tidak berniat di malam hari untuk mengqadha puasanya, namun Imam An-Nawawi menyatakan bahwa,

إذَا نَسِيَ نِيَّةَ الصَّوْمِ فِي رَمَضَانَ حتى طلع الْفَجْرِ لَمْ يَصِحَّ صَوْمُهُ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا لِأَنَّ شَرْطَ النِّيَّةِ اللَّيْلُ وَيَلْزَمُهُ إمْسَاكُ النَّهَارِ وَيَجِبُ قَضَاؤُهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَصُمْهُ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْوِيَ فِي أَوَّلِ نَهَارِهِ الصَّوْمَ عَنْ رَمَضَانَ لِأَنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فَيَحْتَاطُ بِالنِّيَّةِ

“Apabila seseorang lupa berniat puasa Ramadan hingga terbit fajar, maka puasanya tidak sah tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan mazhab kita (Syafi’iyyah), karena sesungguhnya syarat niat adalah di malam hari, namun dia tetap wajib menahan (berpuasa) di siang hari itu, walaupun tetap mengqadhanya di luar Ramadan nanti, karena dia belum dinilai berpuasa. Dan orang yang lupa tersebut dianjurkan untuk tetap berniat puasa Ramadan di awal siangnya. Karena sesungguhnya hal ini sah menurut Imam Abu Hanifah, maka di sini orang tersebut mengambil langkah kehati-hatian dengan niat.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 7/350).

 

Kesimpulannya, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa puasa orang yang bangun kesiangan tetap dianggap sah asalkan diniatkan saat dia terbangun sebagai taqlid kepada pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menguraikan terkait hal ini,

 وَفِي الْمَجْمُوعِ يُسَنُّ لِمَنْ نَسِيَ النِّيَّةَ فِي رَمَضَانَ أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ النَّهَارِ لِإِجْزَائِهِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فَيُحْتَاطُ بِالنِّيَّةِ فَنِيَّتُهُ حِينَئِذٍ تَقْلِيدٌ لَهُ وَإِلَّا كَانَ مُتَلَبِّسًا بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ فِي اعْتِقَادِهِ وَذَلِكَ حَرَامٌ

“Dalam kitab Al-Majmu’ disebutkan, disunahkan bagi orang yang lupa berniat puasa Ramadan untuk berniat pada pagi hari karena bagi Imam Abu Hanifah hal itu sudah mencukupi, maka diambil langkah kehati-hatian dengan niat. Niat yang demikian itu dalam rangka taqlid (mengikuti) pendapat Imam Abu Hanifah. Bila tidak diniati taqlid maka ia telah mencampurkan satu ibadah yang rusak dalam keyakinannya dan hal itu haram hukumnya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, 7/307).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka orang yang kesiangan dan tidak sempat berniat puasa pada malam harinya masih dapat diselamatkan puasanya, tanpa perlu mengqadhanya.

 

Wallahu A’la wa A’lam

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password