Melafalkan Niat Puasa, Bid’ah?

Assalamualaikum. Ustadz, mohon pencerahan terkait melafalkan niat puasa. Ada yang mengatakan bahwa niat itu di dalam hati, dan melafalkannya bid’ah. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Niat adalah rukun dalam ibadah puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah”. [HR. Abu Daud, Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i].

 

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa puasa Ramadan tidak sah apabila tidak disertai niat pada malam harinya, karena puasa Ramadan adalah ibadah mahdhah (ibadah yang segala bentuk aktivitasnya yang meliputi cara, waktu, atau kadarnya telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seperti halnya shalat. Untuk itu, niat puasa wajib dilakukan setiap malam sebelum berpuasa keesokan harinya. (Al-Majmu’: Imam An-Nawawi, Beirut, DKI 7/353).

 

Tentang melafalkan niat, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan,

ومحل النية القلب ولا تكفي باللسان قطعا ولا يشترط التلفظ بها قطعا لكن يسن عند الجمهور (غير المالكية) التلفظ بها والأولى عند المالكية ترك التلفظ بها.

Tempatnya niat adalah di hati. Niat tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan saja, dan tidak pula disyaratkan harus dilapalkan. Akan tetapi Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa melafalkan niat dengan lisan hukumnya Sunnah, kecuali ulama Mazhab Maliki yang memilih tidak melafalkan niat sebagai sesuatu yang utama”. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir: 3/1671).

 

Antara aspek pengambilan dalil (istidlal) Jumhur ulama dalam masalah pelafalan niat adalah dengan mengqiyaskan kepada pelafalan niat yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah haji. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

“Ya Allah, aku memenuhi panggilanMu untuk umrah dan haji”. [HR. Muslim].

 

Imam An-Nawawi juga memberi isyarat yang sama tentang pelafalan niat dalam Al-Majmu’,

وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ

“Akan tetapi dianjurkan untuk melafalkan niat puasa untuk mengiringi (menguatkan) hati”. (Al-Majmu’: Imam An-Nawawi, Beirut, DKI 7/355).

 

Pendapat ini juga diperkuat oleh Syaikh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, dalam Kaasyifatus Sajaa, Syarah Kitab Safinatun Naja,

ومحلها القلب….ولا تكفي النية باللسان دون القلب، كما لا يشترط التلفظ بها قطعاً لكنه يندب ليعاون اللسان القلب

 

“Niat tempatnya di hati, tapi tidak cukup niat di lisan tanpa melibatkan hati. Sebagaimana tidak disyaratkan melafalkan niat dengan lisan. Akan tetapi dianjurkan melafalkannya agar lisan bisa membantu (menguatkan) hati”. (Kaasyifatus Sajaa, Syarah Kitab Safinatun Naja karangan Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami (Ad-Dar al-Aalamiyyah, Kairo, hal. 59).

 

Selain itu aspek yang harus diperhatikan dalam niat puasa Ramadan adalah wajib at-Ta’yin, yaitu menentukan atau menetapkan niat puasa. Dalam at-Ta’yin, harus ada penetapan Jenis puasa (Puasa Ramadan), Klasifikasi hukum (Puasa Fardhu), Penetapan waktu (tahun ini), sebagaimana niat dalam shalat harus ada penetapan waktu. (Al-Majmu’: Imam An-Nawawi, Beirut, DKI 7/359-360).

 

Jadi tidak cukup hanya berniat puasa secara umum saja, tapi harus dijelaskan bahwa puasa yang akan dilaksanakan adalah puasa Ramadan. Hal ini untuk membedakan antara puasa Ramadan, sunnah, nazar dan puasa kafarat. Dalam kitab Al-Majmu’ diuraikan antara niat yang sempurna adalah meniatkan berpuasa fardhu Ramadan esok hari di tahun ini karena Allah ta’ala.

 

Syaikh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi rahimahullahu (wafat 918 H), pengarang kitab Fathul Qarib, syarah Matan Abu Syuja’ (At-Taqrib), menguraikan salah satu redaksi niat puasa yang bisa digunakan,

ويجب التعيين في صوم الفرض كرمضان؛ وأكمل نية صومه أن يقول الشخص: «نَوَيتُ صَوْمَ غَدٍ عَن أدَاء فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنةِ لِلّهِ تعالى

“Wajib menentukan niat dalam puasa wajib seperti puasa Ramadan. Dan hendaknya seseorang menyempurnakan niat puasanya dengan mengucapkan, “Aku berniat puasa besok dalam rangka menunaikan kewajiban puasa Ramadhan di tahun ini karena Allah Ta’ala”. (Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfadzi At-Taqri, 137).

 

Kesimpulannya, melafalkan niat bukanlah bid’ah tetapi sesuatu yang sunnah karena diamalkan dalam rangka memantapkan keyakinan hati dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana pendapat ulama Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Kendati ulama Mazhab Maliki menyelisihi pendapat Jumhur ulama, mereka tidak sampai menghukumi bid’ah. Ulama Mazhab Maliki hanya mengatakan melapalkan niat itu “Khilaful Awla” (kurang utama) saja atau dalam ungkapan sederhana “tidak dianjurkan”.

 

Untuk itu kita memahami bahwa dalam hal ini ada perbedaan (masa-il khilafiyah) di kalangan ulama. Seyogyanya kita harus saling menghargai dan mentoleransi variasi pendapat yang ada, serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan umat.

 

Wallahu A’la wa A’lam

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password