Apakah Semua Bid’ah Terlarang?

Allah ta’ala telah menurunkan Al-Quran sebagai dasar utama ajaran Islam. Selanjutnya Allah mengutus seorang Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan yang menjelaskan Al-Quran kepada umatnya, baik secara lisan, perbuatan dan ketetapan. Al-Quran dan Sunnah menjadi pedoman setiap muslim dalam menjalankan aktivitas ibadah maupun muamalah. Segala sesuatunya telah dijelaskan kepada manusia agar mereka mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman dalam Al-Quran,

 

مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

 

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am: 38).

 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

 

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [QS. Al-Maa-idah: 3].

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An-Nisa: 59].

 

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” [QS. Al-An’am: 153].

 

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

 

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Ali Imran: 31].

 

 

عن عائشةَ ، رضي اللَّه عنها ، قالت قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « منْ أَحْدثَ في أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فهُو رَدٌّ » متفقٌ عليه . وفي رواية لمسلمٍ : « مَنْ عَمِلَ عمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُو ردٌّ » .

 

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara -agama- kita ini akan sesuatu yang semestinya tidak termasuk dalam agama itu, maka hal itu wajib ditolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu amalan yang atasnya itu tidak ada perintah kami -maksudnya perintah agama-, maka amalan itu wajib ditolak.”

 

  1. Imam An-Nawawi berkata: Hadits ini harusnya dihapal dan menjadi dalil untuk menolak setiap kemungkaran.
  2. Al-Hafizh Ibnu Hajar: hadits ini termasuk dasar agama dan salah satu kaidah dalam agama.
  3. Menolak bid’ah yang bertentangan dengan agama. Jika tidak bertentangan tidak boleh ditolak.

 

وعن جابرٍ ، رضي اللَّه عنه ، قال : كان رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، إِذَا خَطَب احْمرَّتْ عيْنَاهُ ، وعَلا صوْتُهُ ، وَاشْتَدَّ غَضَبهُ ، حتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ : «صَبَّحَكُمْ ومَسَّاكُمْ » وَيقُولُ : « بُعِثْتُ أَنَا والسَّاعةُ كَهَاتيْن » وَيَقْرنُ بين أُصْبُعَيْهِ ، السبَابَةِ ، وَالْوُسْطَى ، وَيَقُولُ: « أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ خَيرَ الْحَديثَ كِتَابُ اللَّه ، وخَيْرَ الْهَدْى هدْيُ مُحمِّد صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدثَاتُهَا وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ » ثُمَّ يقُولُ : « أَنَا أَوْلَى بُكُلِّ مُؤْمِن مِنْ نَفْسِهِ . مَنْ تَرَك مَالا فَلأهْلِهِ ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْ ضَيَاعاً، فَإِليَّ وعَلَيَّ » رواه مسلم

 

Dari Jabir radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam itu apabila berkhutbah maka merah padamlah kedua matanya, keras suaranya, sangat marahnya -berapi-api karena bersemangat-, sehingga seolah-olah beliau itu seorang komandan tentara yang menakut-nakuti, sabdanya: “Pagi-pagi ini musuh akan menyerang engkau semua,” atau “sore ini musuh akan menyerang engkau semua.” Beliau bersabda pula: “Saya diutus sedang jarak terutusku dengan tibanya hari kiamat itu bagaikan dua jari ini.” Beliau merapatkan antara jari telunjuk dan jari tengah. Beliau bersabda pula: “Amma ba’ad. Sesungguhnya sebaik-baik uraian adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu alaihi wasalam, sedang seburuk-buruk perkara agama ialah hal-hal yang diada-adakan sendiri dan semua kebid’ahan itu adalah sesat.” Selanjutnya beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Saya adalah lebih berhak terhadap setiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu adalah hak dari keluarganya (sebagai harta warisan), tetapi barangsiapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan, maka tagihannya itu adalah kepadaku atau menjadi tanggunganku.” [HR. Muslim].

 

Hadits di atas setidaknya menjelaskan tiga hal;

  1. Kesibukan seseorang yang paling utama adalah menekuni Al-Quran dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Kewajiban memerangi bid’ah yang bertentangan dengan agama.
  3. Disyariatkannya membagikan warisan.

 

 

Apa yang dimaksud Bid’ah?

 

Kata bid’ah berasal dari bada’a, artinya “yang pertama” atau yang “mengawali”. Makna ini didasarkan kalimat yang terdapat pada al-Quran Surat al-Ahqaf: 9,

 

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلاَ بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ مُّبِيْنٌ

 

Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” [QS. al-ahqaf: 9].

 

Imam an-Nawawi dalam karyanya, Tahdzibul Asma wal Lughat, 3/22 menjelaskan tentang makna Bid’ah,

 

هِىَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

 

Bid’ah adalah melakukan atau melaksanakan sesuatu yang belum pernah dilakukan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

 

Makna bid’ah dengan kandungan arti yang sama dikemukakan oleh al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad al-Aini dalam karyanya Umdatul Qari, syarah atas kitab Shahih al-Bukhari, 11/126,

 

وَالْبِدْعَةُ فِى اْلأَصْلِ إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِى زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ

 

Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

 

Syaikh al-Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/172,

 

الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ

 

Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

 

Dengan redaksi berbeda namun memiliki makna yang sama, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari, 4/253,

 

الْبِدْعَةُ أَصْلُهُ مَا أَحْدَثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

 

Bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya”.

 

Jadi Bid’ah itu pada dasarnya segala sesuatu yang baru yang belum ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Apakah semua bid’ah terlarang?

Uraian tentang Bid’ah, selain hadits dalam shahih Muslim di atas, ada juga hadits Imam An-Nasai riwayat Jabir bin Abdillah dengan redaksi yang sedikit berbeda tapi maknanya sama,

 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ: يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: «مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ»،

 

“Dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dalam khutbahnya bertahmid dan memuji Allah ta’ala. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, ‘Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang Allah sesatkan jalan hidupnya, maka tiada yang bisa menunjuki orang tersebut ke jalan yang benar. Sungguh, kalimat yang paling benar adalah kitabullah. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa sallam. seburuk-buruknya perkara itu adalah perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu sesat. Setiap kesesatan membimbing orang ke neraka.’” (Ahmad bin Syu‘aib bin Ali Al-Khurasani, Sunan An-Nasai, Maktab Al-Mathbu‘at Al-Islamiyah, Aleppo, Cetakan Kedua, tahun 1986 M/ 1406 H).

 

Untuk memahami nash tentang bid’ah dalam hadits riwayat An-Nasai ini, kita perlu menyandingkannya dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam yang diriwayatkan di Shahih Al-Bukhari. Sebagaimana penjelasan ulama besar Mazhab Syafi’i, Al-Imam Al-Baihaqi (384 – 458 H) rahimahullah, penulis As-Sunan Al-Kubra, Al-Mabsut, Al-Asma’ wa As-Shifat, Dala’il al-Nubuwwah, Shu`ab al-Iman, dll. Beliau menjelaskan di dalam Al-Madkhal,

 

وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وكل بدعة ضلالة” وهو من العام الذي أريد به الخاص بدليل قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المخرج في “الصحيح”: “من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”. وقد ثبت عن الإمام الشافعي قوله: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً، فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في “المدخل”.

 

“Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus (‘Aam Makhshush) seperti keterangan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka hal itu tertolak’.

Riwayat kuat menyebutkan Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan dalam agama itu terbagi dua;

Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud Bid’ah Dhalalah (bid‘ah sesat).

Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah Muhdatsah ghairu Madzmumah (bid‘ah yang tidak tercela),’” (Imam Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, Halaman 206).

 

Dalam penjelasan di atas, Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu secara jelas dan tegas membuat kategorisasi antara bid‘ah yang tercela (tersesat) dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat. Pandangan Imam Asy-Syafi’i ini merupakan pandangan umumnya para ulama salaf dan khalaf, salah satunyanya Ibnu Rajab Al-Hanbali,

 

وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه، أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه، فليس ببدعة شرعاً، وإن كان بدعة لغة.

 

“Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada dasar syariah sebagai dalilnya. Sementara perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’ meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Al-Bukhari).

 

Imam An-Nawawi rahimahullah juga punya pandangan sama,

 

وكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةُ هَذَا عَامٌ مَخْصُوْصٌ وَاْلمُرَادُ غَالِبُ اْلبِدَعِ

“Setiap bid’ah adalah sesat, lafal (kullu) di sini adalah lafal umum yang bermaksud khusus, yang maksudnya adalah sebagian besar bid’ah.” [Al-Minhaj, 6/154].

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu juga memaparkan hal serupa,

 

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

“Yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus.” [Fathu al-Bari, 13/254].

 

Syaikh Mushtafa Dieb Al-Bugha hafizahullahu, Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus juga membuat uraian tentang makna bid’ah dhalalah dengan singkat dan jelas,

 

(أحدث) اخترع. (أمرنا هذا) ديننا هذا وهو الإسلام. (ما ليس فيه) مما لا يوجد في الكتاب أو السنة ولا يندرج تحت حكم فيهما أو يتعارض مع أحكامها وفي بعض النسخ (ما ليس منه). (رد) باطل ومردود لا يعتد به]

 

“Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan kami yaitu agama Islam yang bukan bersumber darinya (tidak terdapat dalam Al-Quran atau As-Sunah, tidak bernaung di bawah payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya), maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan sama sekali).” (Komentar Syaikh Mushtafa Dieb Al-Bugha pada Jami’ Shahih Al-Bukhari, Dar Tauqin Najah, Cetakan Pertama 1422 H, Juz IX).

 

Sulthanul Ulama Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abul Qasim bin Hasan as-Sulami ad-Dimasyqi (577 – 660 H), rahimahullahu ulama madzhab Syafi’i yang punya nama populer Al-‘Izz bin Abdissalam membuat rincian lebih detail tentang bid‘ah beserta contoh-contohnya,

 

الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ.

 

“Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid‘ah itu terbagi beberapa jenis; ada bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunnah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode pembagian ini adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang akan diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Jika masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu menjadi bid‘ah wajib. Jika masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu menjadi bid‘ah haram. Jika masuk dalam kaidah yang menuntut kesunnahan, maka bid‘ah itu menjadi bid‘ah sunnah. Jika masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu menjadi bid‘ah makruh. Jika masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu menjadi bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh.” (Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 2010, 2/133-134).

 

Al-Izz bin Abdis Salam membuat kategorisasi bid’ah menjadi lima. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah makruh dan bid’ah mubah. Berikut contoh-contohnya:

  1. Bid’ah wajib; belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah.
  2. Bid’ah haram: misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij.
  3. Bid’ah sunnah: misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid.
  4. Bid’ah makruh: misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran.
  5. Bid’ah mubah: misalnya bersalaman setelah shalat.

 

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kesimpulannya adalah Lafal “Kullu” dalam hadits tentang bid’ah itu tidak selalu bermakna semua. Ada kalanya bermakna sebagian besar atau kebanyakan. Bagaimana para ulama membedakannya? Perbedaan itu diketahui setelah mereka membaca dan menelaah seluruh kandungan Al-Quran dan seluruh kandungan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barulah dikeluarkan pedoman untuk membedakannya. Makanya dalam Ushul Fikih itu ada istilah “Am” (umum) dan “Khash” (khusus), yang menjadi standar dalam membedah maksud Nash-nash Agama, antara yang “Yufidul Umum” (bersifat umum) dan yang “Yufidul Khusush” (bersifat khusus). Tidak bisa dipahami secara tekstual saja.

 

Dengan begitu tidak bisa digeneralisir semua bid’ah itu sesat dan terlarang. Ada sebagian bid’ah yang tidak sesat_justru bisa dipandang baik_asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits berdasarkan pemahaman para ulama ahlus sunnah wal Jama’ah.

 

Wallahu a’la wa a’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password