Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?

Assalamualaikum. Ustadz, apakah menyentuh kemaluan dengan tangan membatalkan Wudhu?

Terimakasih.

 

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Menyentuh kemaluan dengan adanya pembatas seperti pakaian, kain atau tisu, tidak membatalkan wudhu. Sedangkan menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa adanya pembatas; ulama berbeda pandangan. Secara umum ada 3 pendapat di kalangan ulama.

 

Pendapat Pertama; Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyentuh kemaluan Membatalkan wudhu.

 

Ini adalah pendapat Jumhur ulama, antaranya Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Laits bin Sa’ad, Ath-Thabari dan salah satu pendapat Imam Malik berdasarkan hadits riwayat Busrah Binti Shafwan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” [HR. Abu Daud, An Nasa-i, dan At Tirmidzi].

 

Dalil senada juga terdapat dapat riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلى َذَكَرِهِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَلْيَتَوَضَّأ

“Jika salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya sedangkan di antara sentuhan dan kemaluannya tersebut tidak dihalangi sesuatu apa pun, maka hendaklah ia berwudhu.” [HR. Al Baihaqi dan Ad Daruquthni].

 

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu menjelaskan tentang perbedaan ini,

 

مس الفرج -القبل أو الدبر-  : لاينتقض الوضوء عند الحنفية بمس الفرج , وينتقض به عند الجمهور

“Menyentuh kemaluan, qubul atau dubur; tidak membatalkan wudhu dalam pandangan Madzhab Hanafi, namun batal dalam pandangan Jumhur ulama.”  [Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/431].

 

Pendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu juga merupakan pendapat banyak para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatthab, Abdullah Bin Umar, Abu Hurairai, Sa’ad bin Abi Waqqash, Aisyah, Jabir bin Abdullah, Zaid bin Khalid dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in, pendapat ini juga menjadi pilihan Said Bin Musayyab, Thawus, Atha Bin Abi Rabbah, Sulaiman bin Yasar, Urwah bin Az-Zubair, Aban bin Utsman, Az-Zuhri, Mujahid, Makhul, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ibnu Juraij. [At-Tamhid/2:259-274 dan Al-Mughni/1: 240-241].

 

Imam An-Nawawi rahimahullahu salah satu ulama ternama bermazhab Syafi’i menuliskan dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin sebagai berikut,

 

مس فرج الآدمي، فينتقض الوضوء إذا مس ببطن كفه فرج آدمي، من نفسه، أو غيره، ذكر أو أنثى، صغير أو كبير، حي أو ميت، قبلا كان الممسوس، أو دبرا.

“Menyentuh kemaluan manusia, membatalkan wudhu apabila dilakukan dengan menggunakan telapak tangan baik itu kemaluannya sendiri, orang lain, laki-laki atau wanita, anak kecil atau dewasa, hidup ataupun mati baik menyentuh kemaluan bagian depan ataupun bagian belakang.” [Raudhatu ath-Thalibin, Imam An-Nawawi, DKI, 1/186].

 

Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi juga menjelaskan hal serupa,

 

فإذا مس الرجل أو المرأة قبل نفسه أو غيره من صغير أو كبير حي أو ميت ذكر أو أنثى انتقض وضوء الماس

“Apabila seorang lelaki atau wanita menyentuh kemaluan sendiri maupun orang lain, anak kecil atau dewasa, orang yang masih hidup atau sudah mati, lelaki maupun wanita, maka membatalkan wudhu penyentuhnya.” [Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 2/484].

 

Pendapat Kedua; Ulama Madzhab Hanafi berpandangan, menyentuh kemaluan Tidak membatalkan wudhu secara mutlak.

 

Pendapat ini berdasarkan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Thaliq bin Ali yang bertanya kepada baginda Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lelaki Badui yang menyentuh kemaluannya apakah membatalkan wudhu, sehingga ia wajib berwudhu kembali.

 

أَخْبَرَنَا هَنَّادٌ، عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: «وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بِضْعَةٌ مِنْكَ»

Telah mengabarkan kepada kami Hannad dari Mulazim dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Badr dari Qais bin Thaliq bin Ali dari Bapaknya dia berkata, “Kami keluar dari daerah kami hingga kami sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Setelah selesai shalat datanglah seseorang yang kelihatannya seorang Badui, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, Apa pendapat engkau tentang orang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bukankah itu hanya bagian dari dagingmu?’ [HR. An-Nasai].

 

Pendapat Madzhab Hanafi ini seperti dinyatakan oleh Ibnu Abidin (1252 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, DKI, 1/277-279.

 

Dalam kitab Bada’i ash-Shana’i, Imam Al-Kasani al-Hanafi rahimahullahu menyatakan pandangan Madzhab Hanafi,

 

ولو لمس امرأته بشهوة أو بغير شهوة, فرجها أو سائر أعضائها من غير حائل ولم ينشر لها – لا ينتقض وضوءه عند عامة العلماء.

“Apabila seseorang menyentuh istrinya, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, menyentuh kemaluannya atau seluruh bagian tubuhnnya yang lain tanpa pembatas, wudhunya tidak batal menurut pandangan kebanyakan ulama (Madzhab Hanafi).”  (Bada’i ash-Shana’i, Imam Al-Kasani al-Hanafi, 1/244).

 

Dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu antaranya Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Huzaifah bin Al-Yaman, Imran bin Hushain, dan Abu Ad-Darda’.

 

Dari kalangan tabi’in pendapat ini dikemukakan oleh Rabi’ah, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mundzir, Abu Hanifah, Sahnun dan salah satu riwayat Imam Malik.

 

Pendapat Ketiga; Membatalkan wudhu jika disertai syahwat. Tidak membatalkan jika tak disertai syahwat.

 

Jika pendapat pertama dan kedua lebih cenderung menggunakan metode tarjih (menguatkan salah satu dalil). Di mana Jumhur ulama menguatkan dalil hadits Busrah binti Shafwan; yang menyatakan batal wudhu karena menyentuh kemaluan. Sementara pendapat Imam Abu Hanifah menguatkan dalil Thaliq bin Ali yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.

 

Adapun pendapat terakhir ini menggunakan metode al-Jam’u bainal Adillah (mengkompromikan dalil-dalil yang ada). Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik. Alasan yang digunakan adalah bahwa hadits Busrah yang menyatakan wudhunya batal dimaksudkan bagi yang menyentuh kemaluan dengan syahwat. Sedangkan yang menyentuh kemaluan tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu berdasarkan hadits Thaliq bin Ali.

 

Pendapat Madzhab Maliki dijelaskan secara panjang lebar dalam Bab Wudhu karena menyentuh kemaluan oleh Imam Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Al-Istidzkar al-Jami Li Madzahibi Fuqaha al-Amshar wa Ulama al-Aqthar, DKI, 1/245-252.

Demikian penjelasan seputar khilaf ulama seputar hukum menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu atau tidak. Karena hal ini termasuk masalah khilafiyah, maka ada kemudahan dalam mengamalkan salah satu pendapat yang ada.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password