Sengaja Tidak Shalat Jumat, Apa Hukumnya?
Assalamualaikum. Ustadz, bisa dijelaskan apa hukumnya meninggalkan shalat Jumat dengan sengaja, dan apakah ada sebab tertentu, lelaki boleh meninggalkan shalat Jumat? Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Shalat Jumat hukumnya Wajib yang tidak boleh ditinggalkan tanpa uzur berdasarkan dalil yang jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Dan para ulama telah bersepakat (Ijma’) tentang kewajibannya.
Di antara dalil kewajiban shalat Jumat, firman Allah ta’ala yang menyatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. Al-Jumu’ah Ayat 9].
Dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit.” [HR Abu Daud, dan Al-Hakim].
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Berangkat shalat Jumat adalah kewajiban bagi setiap orang yang aqil baligh.” [HR. An-Nasa’i].
Berdasarkan dalil di atas, maka setiap lelaki akil baligh yang meninggalkannya secara sengaja tanpa ada uzur telah melalukan dosa dan dianggap telah berbuat Nifaq (kemunafikan) dalam agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ
“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit.” [HR. Muslim].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi peringatan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jumat dengan sabdanya,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan, niscaya Allah akan mengunci hatinya.” [HR. Abu Dawud, An-Nasai, dan Ahmad].
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
“Hendaknya suatu kelompok menyudahi perbuatannya dalam meninggalkan shalat Jumat atau (pilihannya) Allah SWT akan mengunci mati batin mereka, kemudian mereka menjadi lalai sungguhan.” [HR Muslim].
Kendati demikian, ada beberapa uzur yang membolehkan lelaki meninggalkan shalat Jumat. Uzur yang memperbolehkan kaum lelaki meninggalkan shalat berjamaah di Masjid adalah uzur yang sama memberikan rukhshah (keringanan) bagi muslim meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Zuhur. Misalnya sakit, hujan, banjir, termasuk apabila khawatir terpapar virus, wabah penyakit, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana rukhshah (keringanan) yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Daud dan Al-Hakim di atas.
Terkait hal ini Imam Al-Mardawi rahimahullah menjelaskan,
وَيُعْذَرُ في تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ وَيُعْذَرُ أَيْضًا في تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Orang sakit diberi uzur untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Dan juga diberi uzur (untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah) karena khawatir terkena penyakit.” (Al-Inshaaf, 2/300).
Bahkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang datang ke masjid apabila kehadirannya menyakiti kaum muslimin. Dinyatakan bahwa baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang makan bawang mendatangi masjid agar kaum muslimin tidak terganggu dengan baunya,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ
“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” [HR. Muslim].
Dalil di atas menegaskan bahwa orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang mengikuti shalat berjamaah di masjid dengan alasan akan mengganggu dan menyakiti kaum muslimin dengan bau yang tidak sedap.
Menyakiti kaum muslimin dengan bau yang tidak sedap saja, dilarang dalam agama kita, apalagi jika seseorang itu mengidap atau membawa penyakit menular berbahaya yang bisa merenggut nyawa. Tentu larangannya lebih utama.
Tentang larangan ke masjid bagi mereka yang mengidap penyakit menular atau diduga membawa penyakit tersebut, dinukil oleh Al-Qadhi Iyadh dari para ulama terdahulu,
وقد نقل القاضى عياض عن العلماء أن المجذوم والأبرص يمنعان من المسجد ومن صلاة الجمعة ومن اختلاطهما بالناس
“Al-Qadli ‘Iyadh telah menukil pendapat para ulama yang menyatakan bahwa orang yang terkena penyakit lepra dan kusta dilarang ke masjid, shalat jumat, dan berbaur dengan orang lain”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudh ath-Thalib, Beirut, DKI, 1/215).
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan;
Pertama, meninggalkan shalat Jumat, sama artinya meninggalkan shalat Fardhu. Meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja adalah termasuk dosa besar yang paling besar karena sejajar dengan kufur dan syirik. Hal ini sebagaimana dipahami oleh para ulama dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُولُ : (( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” [HR. Muslim].
Bahkan jika seseorang meninggalkan shalat Jumat disertai dengan pengingkaran terhadap kewajibannya, maka Ijma’ (konsensus) ulama orang tersebut dihukum telah kafir dan murtad dari agama Islam. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah,
إذا ترَك الصلاةَ جاحدًا لوجوبها، أو جَحَدَ وجوبَها ولم يتركْ فِعلَها في الصورة، فهو كافرٌ مرتدٌّ بإجماعِ المسلمين
“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya shalat walaupun tidak meninggalkannya, maka ia kafir murtad dari agama Islam berdasarkan ijma ulama kaum Muslimin.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 4/19).
Adapun mereka yang meninggalkan shalat Jumat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya, maka tidak dihukumi kafir. Orang tersebut dianggap fasiq dan bermaksiat kepada Allah. Termasuk mereka yang baru masuk Islam atau menetap jauh dari komunitas kaum muslimin sehingga tidak mendapatkan pengetahuan terkait kewajiban shalat, tidak dihukumi kafir. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/658)
Perihal tidak dikafirkan seorang muslim yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya ini juga diungkapkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Beliau menegaskan bahwa ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 4/19).
Kedua, orang yang meninggalkan shalat Jumat secara berulang-ulang akan dikunci hatinya (sebagaimana hadits di atas). Artinya Allah ta’ala menutup hatinya dan menghalangi masuknya hidayah dan rahmat ke dalam hatinya. Kemudian digantikan dengan kebodohan, sifat beringas, dan keras kepala. Sehingga hatinya seperti hati orang munafik. Hal ini sebagaimana penjelasan Syaikh al-Munawi dalam Faidhul Qodir, 6/133.
Ketiga, larangan meninggalkan shalat Jumat itu apabila dilakukan tanpa uzur sama sekali. Jika ada uzur yang menghalangi seseorang menunaikan shalat Jumat, seperti sakit, hujan, banjir, termasuk apabila khawatir terpapar virus, wabah penyakit, dan lain-lain maka diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, dan menggantinya dengan shalat Zuhur, sebagaimana pendapat Jumhur ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, 2/1334).
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments