Mengenal Ragam Rukhshah Dalam Islam

Rukhshah adalah keringanan-keringanan yang ditetapkan dalam agama saat kita berhadapan dengan kondisi sulit atau darurat. Rukhshah secara bahasa adalah mempermudah dan meringankan dalam satu urusan. Kalimat rakhkhasha fil amri berarti memudahkan urusan tersebut.

 

Secara istilah rukhsah merupakan hukum yang tetap berdasarkan dalil yang berbeda dengan dalil syar’i karena pertimbangan uzur mukallaf. (Syaikh Ali Jum’ah, Al-Hukmus Syar’i indal Ushuliyyin, [Kairo, Darus Salam, 78].

 

Syaikh Abdul Wahhab Khalaf (1888 – 1956 M) dalam kitab Ilm Ushul Fiqh mendefinisikan bahwa rukhshah adalah keringanan hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada orang mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan.

 

الرخصة هي ما شرعه الله من الأحكام تخفيفا على المكلف في حالات خاصة تقتضي هذا التخفيف

“Rukhsah adalah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah berupa ketentuan hukum yang ringan untuk orang mukallaf (orang yang sudah dibebankan perintah dan larangan dalam agama) pada kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan.” (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, 121).

 

Islam adalah agama yang mudah dan memberikan sejumlah kemudahan dalam menjalankan syariat, khususnya saat kondisi sulit atau darurat. Antara dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

 

 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. Al-Baqarah: 185].

 

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS al-Haj: 78].

 

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-Baqarah : 173].

 

 

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا۟ مِمَّا ذُكِرَ ٱسْمُ ٱللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا ٱضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” [QS. Al-An’am: 119].

 

 

 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Maidah: 3].

 

Adapun dalil hadits,  diantaranya:

 

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.

“Sesungguhnya agama Islam itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan kepada Allah dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

 

Imam As-Suyuti rahimahullahu dalam al-Asybah wa an-Nazhair, 76 – 80 menyebutkan bahwa kesulitan memberikan rukhsah (keringanan) dalam syari’at itu ada tujuh macam, yaitu;

  1. Safar (Perjalanan)
  2. Marad (Sakit)
  3. Ikrah (Dalam kondisi terpaksa)
  4. Nisyan (Lupa)
  5. Jahl (ketidaktahuan)
  6. Usr wa Balwa (Kondisi sulit atau musibah)
  7. Naqs (Kekurangan)

 

 

Jenis-Jenis Rukhshah

 

Secara umum ulama membagi Rukhsah ada empat jenis:

  1. Rukhsah Wajibah
  2. Rukhsah Mandubah
  3. Rukhsah Mubah
  4. Rukhsah Makruh

 

Pertama, Rukhshah Wajibah; Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.

 

Contoh:

Kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati kelaparan. Hukum asalnya adalah tidak boleh (haram) memakan bangkai, namun apabila seseorang hampir mati karena lapar, maka dia wajib hukumnya memakan bangkai jika tidak ada makanan lain lagi selain bangkai. Hal ini dikarenakan menjaga jiwa yang telah diamanahkan oleh Allah hukumnya adalah wajib, berdasarkan penggalan firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 195,

 

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” [QS.-Baqarah: 195].

 

Kedua, Rukhshah Mandubah; Rukhsah ini merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.

 

Contoh:

Kebolehan meringkas (qashar) shalat bagi musafir yang melakukan perjalanan lebih dari dua marhalah (81KM atau lebih). Rukhsah semacam ini membolehkan musafir meringkas shalat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas shalat dalam keadaan normal (muqim), namun karena ia  sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan meringkas shalatnya bahkan hukumnya sunnah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan dalam perjalanannya.

 

Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu,

 

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Rukhshah adalah sedekah dari Allah atas kalian. Maka terimalah sedekahNya.”  [HR. Muslim].

 

Ketiga, Rukhsah Mubahah; Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan atau ditinggalkan.

 

Contoh:

Kebolehan melakukan akad salam (akad jual beli dengan cara memesan lebih dulu dan melakukan pembayaran, barang akan dikirimkan atau diserahkan kemudian). Hukum asalnya tidak diperbolehkan dikarenakan itu adalah melakukan akad terhadap suatu barang yang belum ada (bay’ al-ma’dum), namun akad salam diperbolehkan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang semakin berkembang.

 

Keempat, Rukhsah khilaful Aula (Makruh). Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama ditinggalkan.

 

Contoh:

Kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya). Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam Al-Quran,

 

وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah ayat 184].

 

 

 

Bentuk-Bentuk Rukhshah

 

  1. Rukhshah dalam bentuk pengguguran

 

Dalam beberapa kondisi, seorang muslim bisa mendapatkan rukhshah dalam bentuk pengguguran. Artinya, dalam kondisi tertentu, suatu kewajiban bisa menjadi gugur. Misalnya, ketika seorang laki-laki mengalami udzur syar’i dan tidak dapat menunaikan shalat jumat, maka kewajiban shalat jumat tersebut gugur dan dia tidak wajib melakukan shalat Jumat.

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit.” [HR Abu Daud, dan Al-Hakim].

 

 

  1. Keringanan dalam bentuk pengurangan

 

Selain itu, ada pula keringanan atau rukshah yang diberikan dalam bentuk pengurangan. Contoh kasus dalam hal ini adalah ketika seseorang sedang melaksanakan safar yang mubah. Orang tersebut mendapatkan rukshah dan diperbolehkan untuk meng-qashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat.

 

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” [QS. An-Nisa: 101].

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

 

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِى السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ – رضى الله عنهم

“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidaklah pernah menambah lebih dari dua raka’at (untuk shalat yang aslinya empat raka’at, -pen) ketika safar beliau. Begitu pula Abu Bakr, ‘Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum seperti itu pula.” [HR. Al-Bukhari].

 

 

  1. Keringanan dalam bentuk penggantian

 

Keringanan dalam bentuk penggantian adalah mengganti satu ibadah dengan ibadah lain yang memiliki fungsi sama. Misalnya saat seseorang kesulitan untuk menemukan air untuk bersuci atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, maka ia diperbolehkan bertayammum.

 

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [QS. An-Nisa: 43].

 

Dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam antaranya riwayat dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu,

 

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا, إِذَا لَمْ نَجِدِ اَلْمَاءَ

“Dijadikan tanahnya itu sebagai alat untuk bersuci jika tidak mendapati air.” [HR. Muslim].

 

 

  1. Keringanan untuk mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya

Keringanan bentuk ini umumnya dilakukan dalam perkara shalat, yaitu dengan memajukan waktu shalat yang belum datang. Misalnya pada saat melakukan shalat Jama’ taqdim dzuhur dengan ashar di waktu dzuhur. Atau shalat jama’ taqdim maghrib dengan isya di waktu maghrib.

 

 

  1. Keringanan untuk mengakhirkan sesuatu yang telah datang waktunya

Berbeda dengan poin sebelumnya, rukshah dalam bentuk ini adalah dengan mengakhirkan sesuatu. Misalnya dengan melakukan sholat jama’ ta’khir dzuhur dengan ashar di waktu ashar. Atau shalat jama’ ta’khir maghrib dengan isya di waktu isya.

Dalil yang menjadi sandaran jenis rukhshah ini antaranya:

 

كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَل قَبْل أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَالظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَل فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

“Dari Anas bin Malik radhiayallahu ‘anhu  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zhuhurnya sampai waktu Ashar. Kemudian beristirahat dan menjama’ shalat keduanya (Zhuhur dan Ashar).” (HR. Muslim).

 

عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

“Diriwayatkan dari sahabat Muadz bin Jabal, beliau berkata: Kami keluar dalam perang tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar secara jama’, begitu juga shAlat maghrib dan Isya’ secara jama’.” [HR. Muslim].

 

 

  1. Keringanan dalam bentuk pengecualian (dispensasi)

Dalam kondisi tertentu, Allah ta’ala juga memberikan keringanan dalam bentuk pengecualian (dispensasi). Rukhshah ini umumnya diterapkan dalam kondisi terpaksa atau pengobatan. Dimana dalam kondisi tersebut, seseorang diperbolehkan untuk memakan suatu makanan atau obat yang berasal dari sesuatu yang haram atau najis. Namun, begitu keluar dari kondisi tersebut, maka hukum keharaman makanan dan obat tersebut akan kembali kepada asalnya.

 

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS al-Baqarah : 173].

 

 

  1. Keringanan dalam bentuk perubahan

Bentuk rukhshah terakhir adalah rukhshah dalam bentuk perubahan. Misalnya, seseorang diperbolehkan untuk mengubah arah kiblat karena merasa takut akan suatu ancaman. Dalam kondisi ini, orang tersebut boleh shalat tanpa menghadap kiblat.

 

Wallahu a’la wa a’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password