Manual I’tikaf Ramadan
I’tikaf adalah di antara ibadah yang utama dilakukan pada bulan Ramadan, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadan, berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’ (konsensus) ulama.
1. Definisi I’tikaf
I’tikaf secara bahasa artinya Luzuum asy-Syai’i (menempel atau menempati sesuatu), Habsun Nafsi ‘alaih (menahan diri di dalamnya). Adapun secara istilah (Syara’), Sayyid Sabiq mendefisinikan,
والمقصود به هنا لزوم المسجد والاقامة فيه بنية التقرب إلى الله عزوجل
“Yang dimaksud i’tikaf adalah menempati masjid dan tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1/539).
2. Dasar Syariat I’tikaf
Antara dalil syariat i’tikaf adalah sebagai berikut:
Firman Allah ta’ala dalam Surah Al-Baqarah, ayat 125,
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [QS. Al Baqarah: 125].
Firman Allah ta’ala dalam surah Al-Baqarah, ayat 187,
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian mencampuri istri-istri kalian, sedangkan kalian sedang beri’tikaf di masjid.” [QS. Al-Baqarah:187].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.” [HR. Muslim].
Dalam hadits riwayat Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Juga hadits dari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari.” [HR. Al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Hibban, dll].
3. Hukum I’tikaf
Ulama sepakat I’tikaf hukumnya Sunnah, baik di bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan kecuali i’tikaf yang dinazarkan. Ijma’ (kesepakatan) para ulama ini dinukil oleh banyak ulama pula. Antaranya Imam An-Nawawi rahimahullahu beliau menjelaskan,
فالاعتكاف سنة بالإجماع ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع ويستحب الاكثار منه، ويستحب ويتأكد استحبابه في العشر الأواخر من شهر رمضان للاحاديث السابقة هنا وفى الباب قبله في ليلة القدر لرجائها
“I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan Ijma’ (konsensus) ulama, tidak diwajibkan kecuali i’tikaf yang dinazarkan. Sunnah pula memperbanyak i’tikaf, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadan berdasarkan hadits-hadits yang sudah diuraikan sebelumnya terkait hal ini dalam Bab tentang Lailatul Qadar.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/4).
4. Syarat I’tikaf
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu menjelaskan ada 4 syarat i’tikaf (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1/541):
- Beragama Islam
- Sudah usia baligh.
- Berakal dan mumayyiz (fase Tamyiz, yaitu anak yang sudah mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah dengan akalnya). Anak-anak yang belum baligh dan mumayyiz diperbolehkan ikut beri’tikaf dengan tetap memperhatikan kebersihan tempat I’tikaf dari najis dan yang sejenisnya.
- Suci dari hadats besar seperti Junub, haidh, dan nifas.
3. Rukun I’tikaf
- Niat beri’tikaf
- Berdiam diri di tempat I’tikaf yaitu masjid
4. Tempat I’tikaf
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama, I’tikaf tidak sah dilakukan kecuali di masjid, berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi yang mengatakan wanita boleh I’tikaf di rumah atau mushalla rumahnya. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/1752-1756).
Kriteria Masjid Tempat I’tikaf
Ulama berbeda pendapat tentang kriteria masjid yang bisa digunakan sebagai tempat i’tikaf. Setidaknya ada 2 pandangan di kalangan ulama:
- Madzhab Hanafi dan Hanbali: Setiap masjid yang ada pelaksanakan shalat fardhu lima waktu secara berjamaah.
- Madzhab Syafi’i dan Maliki: Semua masjid tanpa ada pengecualian.
Perbedaan ulama ini dituliskan Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu dalam kitabnya Fiqh Sunnah,
اختلف الفقهاء في المسجد يصح الاعتكاف فيه فذهب أبو حنيفة واحمد وإسحاق وأبو ثور إلى أنه يصح في كل مسجد يصلى فيها الصلوات الخمس وتقام فيه الجماعة، لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كل مسجد له مؤذن وإمام فالاعتكاف فيه يصلح ” رواه الدارقطني. وهذا حديث مرسل ضعيف لا يحتج به. وذهب مالك والشافعي وداود، إلى أنه يصح في كل مسجد لأنه لم يصح في تخصيص بعض المساجد شئ صريح وقالت الشافعية الأفضل أن يكون الاعتكاف في المسجد الجامع، لان الرسول صلى الله عليه وسلم اعتكف في المسجد الجامع، ولان الجماعة في في صلواته اكتر، ولا يعتكف في غيره إذا تخلل وقت الاعتكاف صلاة جمعة حتى لا تفوته
“Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang kriteria masjid yang sah digunakan untuk tempat i’tikaf. Imam Abu Hanifah, Ahmad, dan Abu Tsaur berpandangan bahwa i’tikaf sah dilakukan di semua masjid yang ada pelaksanaan shalat lima waktu secara berjamaah. Hal ini berdasarkan hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap masjid yang memiliki muazin dan imam, boleh menjadi tempat i’tikaf.” [HR. Ad-Daruquthni]. Namun hadits ini mursal dan dhaif tidak bisa dijadikan hujjah.
Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Daud Azh-Zhahiri berpandangan i’tikaf sah dilakukan di semua masjid tanpa ada pengecualian karena tidak ada dalil yang secara sharih (jelas) membatasi hal tersebut. Ulama Madzhab Syafi’i juga berpendapat bahwa i’tikaf lebih afdhal dilakukan di masjid Jami’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di masjid Jami’, jamaahnya pun lebih banyak. Hendaknya kita tidak beri’tikaf selain di masjid Jami’, agar tidak terputus i’tikaf karena harus keluar dari masjid tersebut untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid Jami’.” (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1/542).
5. Awal dan Akhir Waktu I’tikaf Ramadan
Terkait dengan awal waktu i’tikaf Ramadan, ada keterangan dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى اَلْفَجْرَ, ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika ingin i’tikaf, beliau shalat Shubuh dahulu, kemudian beliau masuk ke tempat i’tikafnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dari hadits di atas, ada 2 pandangan di kalangan ulama terkait permulaan waktu i’tikaf Ramadan sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj,
- Pertama, mulai ba’da Shubuh pada hari ke-21 Ramadan. Ini adalah pendapat dari Imam Ahmad, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, dan salah satu pendapat Al-Laits. dan pendapat Imam Ash-Shan’ani sesuai dengan teks hadits di atas.
- Kedua, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa I’tikaf Ramadan dimulai pada malam hari 21 Ramadan. Ini adalah pandangan Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dengan hujjah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadan, dan 10 hari terakhir Ramadan itu dimulai dari malam ke-21, yaitu mulai saat tenggelam matahari pada hari ke-20 Ramadan. Adapun hadits riwayat ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas tidaklah menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai i’tikaf di pagi hari. Namun menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke ke tempat khusus untuk i’tikaf beliau (semacam kemah untuk beliau di dalam masjid). Jumhur berpandangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai i’tikaf sebelum matahari terbenam (sebelum Maghrib), hanya saja beliau belum masuk ke kemahnya. Beliau baru memasuki kemah tersebut setelah shalat Shubuh di pagi harinya. (Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 4/240).
Antara dalil Jumhur (mayoritas) ulama bahwa I’tikaf Ramadan dimulai pada malam hari 21 Ramadan adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ
“Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir.” [HR. Al-Bukhari].
Pandangan Jumhur ulama ini juga diuraikan oleh Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Minhaj,
وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ الْمُعْتَكَف , وَانْقَطَعَ فِيهِ , وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح , لا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الاعْتِكَاف , بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد , فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْح اِنْفَرَد
“Mayoritas ulama memahami hadits di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tenda i’tikaf, memisahkan diri, dan menyendiri setelah beliau melakukan shalat Shubuh. Hadits tersebut sama sekali bukan tentang waktu mulai i’tikaf, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memulai i’tikaf di masjid sejak sebelum Maghrib. Setelah shalat Shubuh, barulah beliau mulai menyendiri (i’tikaf di tendanya).” (Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 4/240).
Adapun waktu berakhirnya I’tikaf, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat Id keesokan harinya tanggal 1 Syawwal.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya mengatakan, “Bagi orang yang ingin mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam beri’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, hendaknya dia masuk masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu, agar tidak terlewatkan sedikitpun. Dan keluar setelah matahari terbenam di malam hari raya. Baik bulan sempurna atau kurang. Yang lebih utama adalah berdiam diri malam hari raya di dalam masjid sampai melaksanakan shalat Id, atau keluar ke musholla tempat shalat Id, jika mereka shalat di lapangan shalat id. Kalau dia keluar dari i’tikaf langsung ke shalat Id, maka dianjurkan mandi dan berhias sebelum keluar. Karena hal ini termasuk sunah dalam hari raya.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 8/17).
6. Minimal Waktu I’tikaf
Jumhur ulama berpendapat I’tikaf sah dilakukan walaupun hanya sebentar atau sesaat dengan niat I’tikaf. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/1752-1753; Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fath lil I’lam al-‘Arabiy, 1/540-541; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 8/15-16).
Meski demikian Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa I’tikaf itu mustahab (dianjurkan) dilakukan sekurang-kurangnya sehari-semalam sebagai upaya keluar dari perbedaan, karena sesungguhnya Imam Abu Hanifah mengatakan tidak boleh (tidak dianggap) I’tikaf jika kurang dari sehari. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 8/15).
7. Adab dan Sunnah I’tikaf
- Membuat tenda atau bilik khusus untuk digunakan berkhalwat (menyendiri) dalam beribadah kepada Allah ta’ala, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aku membuatkan tenda untuk beliau. Lalu beliau shalat Shubuh kemudian masuk ke tenda i’tikafnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- Memperbanyak ibadah sunnah dan bersungguh-sungguh dalam mendekatkan dirinya kepada Allah ta’ala, seperti tilawah Al-Quran, Qiyamu Lail, Zikir dan Istighfar, Sedekah, menuntut ilmu, dan pelbagai bentuk ketaatan lainnya. Ibunda Aisyah radhiyallahu anha menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh menghidupkan malam pada sepuluh hari terakhir, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.” [HR Muslim].
- Memperbanyak doa seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni (Yaa Allah sesungguhnya engkau Maha pemberi ampunan, suka memberi pengampunan, maka ampunilah diriku).” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah].
- Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun berada di pihak yang benar. [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah].
- Menghindari segala sesuatu yang dapat menghilangkan pahala puasa, seperti mengumpat, berkata kotor dan keji, ghibah, namimah (mengadu domba) karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah besar pada saat i’tikaf. [HR. Al-Bukhari].
- Meninggalkan segala perbuatan yang tidak bermanfaat baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. [HR. At-Tirmidzi].
8. Yang Dibolehkah Sepanjang I’tikaf
- Keluar tempat I’tikaf untuk suatu keperluan yang penting dan mendesak. Ulama menjelaskan di antara keperluan tersebut seperti keperluan ke kamar mandi, toilet, dan keperluan lain yang tidak bisa ditangguhkan. Ibunda Aisyah radhiyallahu anha mengatakan, “Dan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya (melalu celah-celah kamarku) lalu aku menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
- Makan dan minum setelah waktu berbuka dengan tetap menjadi kebersihan tempat I’tikaf.
- Berbicara sesuatu yang baik.
9. Yang Membatalkan I’tikaf
-
- Keluar dari tempat I’tikaf bukan untuk keperluan mendesak.
- Berjima’ (senggama) atau bermesraan dengan pasangan.
- Onani/Masturbasi
- Haidh dan Nifas.
- Gila
- Murtad
Demikian penjelasan seputar manual I’tikaf Ramadan, semoga bermanfaat.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments