Fikih Kurban Sesuai Sunnah [3]
8. Kurban Individu dan Kolektif
- 1 Kurban Cukup Untuk 1 Keluarga
Meski boleh berkurban lebih dari satu ekor kambing, namun Jumhur (Mayoritas) ulama berpandangan bahwa seseorang telah dianggap cukup berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Hal ini disandarkan pada hadits Atha’ bin Yasar yang bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu tentang pelaksanaan kurban pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab,
كان الرجل في عهد رسول الله، صلى الله عليه وسلم، يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته فيأكلون ويطعمون حتى تباهى الناس فصار كما ترى.
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang menyembelih seekor kambing sebagai kurban atas dirinya dan keluarganya, lalu mereka makan dan memberikan pada yang lain, sampai (kondisi berubah) dan orang-orang berlomba sebagaimana engkau lihat saat ini”. [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Juga berdasarkan hadits dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ كَبْشًا وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih seekor kambing kibash dan membaca, ’Bismillah, Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad.’ Kemudian beliau berkurban dengannya.” [HR. Muslim].
- 7 Orang Berkongsi Kurban Seekor Sapi atau Unta
Para Fuqaha (ulama ahli Fiqih) sepakat bahwa hewan kurban berupa sapi, kerbau atau unta mencukupi untuk 7 orang. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2724).
Kesepakatan ini bersandarkan pada beberapa hadits yang shahih dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
فعن جابر قال: ” نحرنا مع النبي، صلى الله عليه وسلم، بالحديبية البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة “.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, kami menyembelih bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Hudaibiyah berupa seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang pula.” [HR. Muslim].
عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ
“Dari Jabir ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bersekutu pada unta dan sapi, setiap tujuh orang satu hewan.” [HR. Muslim].
عَنْ جَابِرٍ بن عَبْدِ الله قاَلَ كُنَّا نَتَمَتَّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ فَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا
“Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Kami melakukan haji tamattu’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami menyembelih sapi untuk tujuh orang dimana kami saling bersekutu pada hewan itu.” [HR. Muslim].
9. 10 Sunnah dan Adab Dalam Berkurban
Secara umum fuqaha menyebutkan bahwa dalam ibadah kurban ada sunnah dan adab yang perlu diperhatikan. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2732-2737). Berikut rinciannya:
- Sunnah berkurban dengan hewan yang paling gemuk dan paling baik. [HR. Abu Daud].
- Sunnah memilih hewan kurban yang putih kehitaman (putih bercampur hitam pada sebagian anggota tubuhnya) dan bertanduk. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
- Sunnah mengikat atau menambatkan hewan kurban beberapa hari sebelum Id untuk mempersiapan penyembelihan dan menunjukkan syiar Islam serta semangat berkurban.
- Bagi yang berkurban, ketika memasuki tanggal 1 Dzulhijjah sunnah tidak memotong rambut dan kukunya sampai proses penyembelihan kurbannya selesai. [HR. Muslim].
- Bagi yang berkurban, sunnah hukumnya menyembelih sendiri hewan kurbannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
- Sunnah bagi yang berkurban menghadiri prosesi penyembelihan. [HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, ath-Thabrani dan Al-Bazzar].
- Menggunakan pisau sembelih yang tajam. [HR. Muslim].
- Penyembelih disunnahkan menghadap kiblat ketika menyembelih kurban. [HR. Al-Jamaah].
- Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat dan membaringkannya di atas lambung sebelah kiri. [HR. Abdur Razaq].
- Setelah itu, penyembelih disunnahkan membaca basmalah dan berdoa,
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ»
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah Pencipta langit dan bumi dengan lurus (bertauhid) dan aku bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb seluruh alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri kepada Allah. Ya Allah, penyembelihan ini adalah karunia dari-Mu dan milik-Mu, sebagai sembelihan dari Muhammad dan umatnya.” [HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi].
Jika menyembelih sendiri, dilanjutkan membaca doa,
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْ أَهْلِي
“Bismillah, Allah Maha Besar, Ya Allah terimalah dariku dan keluargaku”.
Namun jika mewakili kurban orang lain, penyembelih mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلَانٍ وَآلِ فُلَانٍ ..
“Bismillah, Allah Maha Besar, Ya Allah terimalah dari si Fulan (boleh menyebut namanya) dan keluarganya”.
Dalam mazhab Syafi’i, adab dan sunnah dalam berkurban diringkas menjadi 5 hal;
- Basmalah.
- Bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
- Menghadap kiblat.
- Bertakbir sebelum dan sesudah membaca Basmalah.
- Berdoa.
10. Pembagian Hewan Qurban
Terkait pembagian hewan kurban, berikut rinciannya;
- Hewan Kurban Sunnah
Daging hewan kurban yang hukumnya sunnah boleh dimakan oleh pihak yang berkurban, tidak harus semuanya disedekahkan kepada fakir miskin. Bisa dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat tentang hal ini, tidak ada seorang pun ulama yang mengharamkannya. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 9/327).
Bahkan Imam An-Nawawi mengutip riwayat dari Imam Al-Mawardi bahwa Abu Ath-Thayyib bin Salamah mengutarakan salah satu pandangan ulama bahwa tidak boleh menyedekahkan semua daging kurban, tetapi wajib makan sebagian darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” [SQ. Al-Hajj: 28].
Allah ta’ala juga berfirman,
فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.” [SQ. Al-Hajj: 36].
- Hewan Kurban Nadzar
Daging hewan kurban yang berupa nadzar; sebagian ulama mengatakan tidak boleh dimakan oleh yang berkurban, sementara sebagian lainnya memperbolehkannya. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2739-2743; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 9/325-332; Al-Hawi al-Kabir, Imam Al-Mawardi: DKI 15/119).
Pertama, Pendapat Yang Mengharamkan. Ini adalah pendapat ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’i. Menurut pendapat ini, alasan mengapa hewan kurban nadzar tidak boleh dimakan sendiri, karena orang tersebut hakikatnya telah berjanji untuk bersedekah dalam bentuk hewan kurban. Jadi hewan kurban itu tidak boleh dimakan sendiri, sebab yang namanya memakan daging kurban sendiri berarti bukan sedekah.
Berdasarkan logika ini, maka daging hewan kurban yang statusnya nadzar harus disedekahkan semuanya, tidak boleh ada yang dimakan sendiri.
Kedua, Pendapat Yang Membolehkan. Ini adalah pendapat ulama Maliki dan Hanbali. Hujah pendapat ini adalah bahwa saat hewan kurban dinadzarkan, yang berubah hanya hukumnya dari sunnah menjadi wajib. Sedangkan kedudukannya untuk boleh dimakan sendiri sebagiannya tidak berubah.
Daging Kurban Dibagi 3 Bagian
Dalam hadits riwayat Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu dijelaskan bahwa daging kurban itu dibagi tiga bagian; ada bagian untuk dimakan, bagian untuk disedekahkan, dan bagian untuk disimpan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كلوا وأطعموا وادخروا
“Makanlah, berilah orang lain makan dan simpanlah.” [HR. Al-Bukhari]
Dari Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كلوا وادخروا وتصدقوا
“Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah.” [HR. Muslim].
Namun ulama berbeda pendapat apakah harus dibagi tiga bagian yang sama atau boleh berbeda (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2739-2740);
a. Ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kadar pembagian adalah 1/3 dari keseluruhan daging kurban bagi masing-masing kategori berdasarkan zahir nash Al-Quran dan Al-Hadits, yaitu:
- 1/3 untuk dimakan.
- 1/3 untuk dihadiahkan kepada keluarga dan sahabat meskipun mereka kaya.
- 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin.
b. Ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa kadar pembagian bagi masing-masing kategori bersifat mutlak (umum), yaitu tidak secara rinci harus 1/3 bagian dari keseluruhan kurban, tetapi bisa disesuaikan dengan kadar tertentu sesuai kebutuhan.
Sebagian daging kurban boleh disimpan menurut mayoritas para ulama, meski lebih dari 3 hari. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 8/821). Pendapat ini disandarkan pada zahir hadits kebolehan menyimpannya dalam kondisi surplus daging kurban. Namun dalam kondisi kekurangan dan kelaparan, maka hukum menyimpannya terlarang, sebagaimana hadits dari sahabat Buraidah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
“Dahulu aku pernah melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari. Namun sekarang tahanlah (simpanlah) semau kalian.” [HR. Muslim].
Kebolehan menyimpan daging kurban ini juga terlihat dalam hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ لاَ تَأْكُلُوا لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ. فَشَكَوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ لَهُمْ عِيَالاً وَحَشَمًا وَخَدَمًا فَقَالَ : كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَاحْبِسُوا أَوِ ادَّخِرُوا.
“Wahai penduduk kota Madinah, Janganlah kalian makan daging kurban melebihi tiga hari (Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah)”. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka memiliki keluarga, sejumlah orang (kerabat) dan pembantu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau begitu silakan kalian memakannya, memberikannya kepada yang lain, dan menyimpannya.” [HR. Muslim].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang sahabatnya melakukan penyimpanan daging kurban. Larangan ini berkaitan dengan orang-orang Arab yang datang dari desa-desa ke dalam kota. Lalu Rasulullah melarang penduduk Madinah untuk menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Arab badui itu tidak pulang ke kampungnya dengan tangan hampa tanpa perbekalan makanan. (Al-Hawi al-Kabir, Imam Al-Mawardi: DKI 15/115-116; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 8/821).
Pandangan ini juga sama seperti uraian Syaikh Abu Zakariya Al-Anshari rahimahullahu dalam Asna al-Mathalib,
وَقَدْ كَانَ) الِادِّخَارُ (مُحَرَّمًا) فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ (ثُمَّ أُبِيحَ) بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَاجَعُوهُ فِيهِ كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالسَّعَةِ فَادَّخِرُوا مَا بَدَا لَكُمْ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَالدَّافَّةُ جَمَاعَةٌ كَانُوا قَدْ دَخَلُوا الْمَدِينَةَ قَدْ أَقْحَمَتْهُمْ أَيْ أَهْلَكَتْهُمْ السَّنَةُ فِي الْبَادِيَةِ وَقِيلَ الدَّافَّةُ النَّازِلَةُ .
“Dahulu penyimpanan daging kurban lebih dari tiga hari sempat diharamkan, tetapi kemudian penyimpanan itu dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika para sahabat mendatanginya perihal ini, ‘Dahulu aku melarang kalian perihal ini (penyimpanan) karena tamu dari desa-desa, tetapi Allah datang memberikan kelonggaran. Maka simpanlah daging yang tampak pada kalian,’ [HR Muslim].
Imam Ar-Rafi’i menjelaskan bahwa kata ‘ad-Daaffah’ (tamu) yang dimaksud dalam hadits ini adalah sekelompok orang yang memasuki Kota Madinah. Mereka adalah orang yang mengalami kesulitan setahun di desa-desa. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah tamu yang singgah atau mampir.” (Asnal Mathalib, Syaikh Abu Zakariya Al-Anshari, Darul Fikr, VI/474).
Bolehkah Daging Kurban diberikan kepada Non Muslim?
Ada khilaf di kalangan ulama, sebagian membolehkan kita memberikan daging kurban untuk non muslim Ahlu Dzimmah (terikat dengan perjanjian damai dengan umat Islam) dan sebagian lainnya tidak membolehkan.
Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan,
قال ابن المنذر قوله : أجمعت الأمة على جواز إطعام فقراء المسلمين من الأضحية واختلفوا في إطعام فقراء أهل الذمة فرخص فيه الحسن البصري، وأبو حنيفة وأبو ثور . وقال مالك : غيرهم أحب إلينا . وكره مالك أيضاً إعطاء النصراني جلد الأضحية أو شيئاً من لحمها . وكرهه الليث قال : فإن طبخ لحماً فلا بأس بأكل الذمي مع المسلمين منه
“Ibnul Munzir berkata, umat Islam telah Ijma’ (sepakat) atas kebolehan memberikan daging kurban kepada orang-orang fakir di kalangan umat Islam, namun mereka berbeda pendapat bila diberikan kepada fakir dari kalangan non muslim ahlu dzimmah. Al-Hasan Al-Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur membolehkannya. Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada Nasrani. Beliau berkata, selain mereka lebih kami sukai. Al-Laits juga memakruhkannya. Beliau mengatakan bila daging itu dimasak dulu kemudian orang kafir dzimmi diajak makan bersama kaum muslimin, maka hukumnya boleh.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 9/338).
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa umumnya ulama Syafi’i membedakan antara hukum kurban sunnah dengan kurban wajib. Bila daging itu berasal dari kurban sunnah, maka boleh diberikan kepada non muslim. Namun apabila dari kurban yang hukumnya wajib, hukumnya tidak boleh.
Ibnu Qudamah rahimahullahu juga mengutip pandangan yang sama. Beliau berkata,
فصل: ويجوز أن يطعم منها كافراً وبهذا قال الحسن وأبو ثور وأصحاب الرأي. وقال مالك: غيرهم أحب إلينا . وكره مالك والليث إعطاء النصراني جلد الأضحية. ولنا: أنه طعام له أكله فجاز إطعامه للذمي كسائر طعامه ولأنه صدقة تطوع فجاز إطعامها للذمي والأسير كسائر صدقة التطوع .
“Pasal: Boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non muslim. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, Abu Tsaur dan ulama Ashabu Ra’yi (ulama ahli logika). Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya. Beliau berkata, selain mereka lebih kami sukai. Imam Malik dan Al-Laits memakruhkan bila memberi kulit hewan kurban kepada Nasrani. Pendapat Kami bahwa daging itu juga merupakan makanan mereka maka memberinya kepada non muslim juga dibolehkan sebagaimana kita dibolehkan memberi makanan bentuk lainnya kepada mereka. Dan karena memberi daging kurban kepada non muslim ahlu Dzimmah dan tawanan perang sama kedudukannya dengan sedekah yang sunnah yang hukumnya boleh.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 8/821-822).
Namun sebagai catatan bahwa kebolehan memberikan daging kurban kepada non muslim tidak berlaku secara mutlak. Namun khusus bagi non muslim Ahlu Dzimmah (yang terikat dengan perjanjian damai dengan umat Islam) bukan kategori Harbi (non muslim yang memusuhi dan memerangi orang Islam). Selain itu kurban yang kita berikan kepada mereka bukanlah kurban wajib, tetapi kurban sunnah.
Pemberian daging kurban kepada non muslim ahlu dzimmah, terutama mereka yang faqir dan sangat membutuhkan bantuan, boleh jadi menjadi jalan hidayah hatinya terketuk untuk masuk Islam. Atau setidaknya membuat mereka bersimpati kepada kita dan kita pun aman dari makar dan kejahatannya.
Hukum Seputar Memanfaatkan Kulit Hewan Kurban
Untuk menjelaskan hal ini, kita akan uraikan dalam poin-poin berikut;
Pertama, Kulit Kurban boleh disedekahkan tapi tidak boleh sebagai Upah Jagal. Menjadikan kulit kurban sebagai upah jagal adalah terlarang sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menangani unta-unta kurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris untanya. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil kurban. Ali berkata, Kami memberikan upah dari uang kami sendiri.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Kedua, Daging, Kulit dan seluruh bagian hewan kurban tidak boleh dijual, baik kurban yang wajib maupun sunnah. ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 4/2740-2741);
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
“Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya.” [HR. Al-Hakim].
Ketiga, Sebagian ulama berpendapat boleh menjual kulit kurban namun hasilnya disedekahkan. Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i dan Al-Awza’i termasuk yang memperbolehkan menjual kulitnya lalu membeli perkakas rumah tangga. Abu Hanifah berkata, “Boleh menjual bagian apa saja dari hewan kurban lalu hasilnya disedekahkan.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 8/823).
Dalam salah satu kitab Madzhab Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, Imam Fahruddin Az-Zayla’i al-Hanafi rahimahullahu berkata,
ولو باعهما بالدراهم ليتصدق بها جاز ; لأنه قربة كالتصدق بالجلد واللحم وقوله عليه الصلاة والسلام من باع جلد أضحيته فلا أضحية له يفيد كراهية البيع.
”Jika dia menjual kurbannya dengan pembayaran uang dirham untuk disedekahkan, hukumnya boleh. Karena ini termasuk ibadah, sebagaimana sedekah dengan kulit atau dagingnya. Adapun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya, bermakna makruh untuk dijual bukan mengharamkannya.” (Tabyin al-Haqa’iq Syarah Kanzi ad-Daqa’iq, Imam Fahruddin Utsman Ali Az-Zayla’i al-Hanafi, DKI, 6/486).
Dalam kitab Tuhfah al-Maudud, Ibnu Qayyim menyebutkan beberapa riwayat dari Imam Ahmad, di antaranya keterangan al-Khallal dari Abdul Malik bin Abdul Humaid,
وأخبرني عبد الملك بن عبد الحميد أن أبا عبد الله [يعني الإمام أحمد] قال : إن ابن عمر باع جلد بقرةٍ وتصدق بثمنه
“Bahwasanya Abu Abdullah (Yaitu Imam Ahmad) pernah mengatakan, ’Sesungguhnya Abdullah bin Umar menjual kulit sapi, kemudian beliau sedekahkan uangnya.” (Tuhfah al-Maudud bi Ahkamil Maulud, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Maktabah Darul Bayan, 90).
Terkait boleh atau tidaknya menjual kulit hewan kurban, Imam As-Syaukani rahimahullahu juga merangkum perbedaan pendapat di kalangan ulama ini. Beliau menjelaskan,
اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذا الجلود. وأجازه الأوزاعي وأحمد وإسحاق وأبو ثور وهو وجه عند الشافعية قالوا : ويصرف ثمنه مصرف الأضحية.
“Ulama sepakat bahwa daging kurban tidak boleh dijual, demikian pula kulitnya. Namun al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat ulama dalam Madzhab Syafi’i mengatakan, “Uang hasil menjual kurban disedekahkan sebagaimana hewan kurban.” (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, 8/148)
Karena hal ini merupakan masalah khilafiyah, maka tentu ada kelapangan dan kelonggaran bagi umat untuk memilih pendapat yang ada. Pendapat Jumhur ulama lebih hati-hati sebagai implementasi ketulusan dan totalitas ibadah kepada Allah ta’ala, namun pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya menjadi alternatif untuk suatu keperluan dan kemaslahatan tertentu. Demikian penjelasan seputar ibadah kurban sesuai sunnah, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita. Amin Ya Rabbal ‘alamiin.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments