Belajar Tanpa Guru Maka Gurunya Setan

Sejatinya setiap muslim wajib berguru. Guru adalah jembatan ilmu atau wasilah yang mengantarkan seorang murid kepada ilmu dan hidayah. Jika suatu kewajiban tidak bisa dipenuhi melainkan dengan sarana tertentu, maka sarananya menjadi wajib. Sebagaimana dalam kaedah Fikih hukum sarana itu sama dengan hukum tujuan,

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin, 1/98 menjelaskan tentang wajibnya memiliki guru,
يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ
1️⃣  Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang benar.
2️⃣  Jalan agama begitu terjal dan rumit, sementara begitu banyak jalan-jalan setan.
3️⃣  Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya.
4️⃣  Orang yang belajar tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan bisa berbuah.
5️⃣  Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya.
Urgensi berguru juga diuraikan oleh salah seorang sahabat mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ، فَإِذَا جَاءَ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ فَذَاكَ حِينَ هَلَكُوا» المعجم الكبير للطبراني.
“Manusia akan selalu dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang terbaik yang dulu mengambil ilmu dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dari tokoh-tokoh mereka. Apabila mereka mengambilnya dari orang-orang kecil (bukan ulama) maka mereka bakal binasa.” [HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir].
Syaikh Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullahu juga mengutip kalimat di atas dengan redaksi agak sedikit berbeda,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ وَعَنْ عُلَمَائِهِمْ وَأُمَنَائِهِمْ، فَإِذَا أَخَذُوهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوا

“Manusia akan selalu dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari tokoh-tokoh, ulama-ulama dan orang-orang tepercaya mereka. Apabila mereka mengambilnya dari orang-orang kecil (bukan ulama) dan orang-orang yang buruk, mereka bakal binasa.”  (Al-Khatib al-Baghdadi, al-Faqih wal Mutafaqqih, Dar Ibnu al-Jauzi, 2/155).

Kewajiban berguru menjadi sangat penting dan krusial khususnya jika berkaitan dengan halal dan haram dalam agama. Seperti penegasan Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu,

لَا يُؤْخَذُ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إلَّا عَنْ الرُّؤَسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ

 

“Halal dan haram tidak boleh diambil melainkan dari para tokoh dan ulama yang terkenal dengan ilmunya yang mengetahui adanya tambahan atau kekurangan dalam hukum.” (Syamsuddin Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah al-Mar’iyyah, 2/148).

Ulama Madzhab Syafi’i Badruddin Ibn Jama’ah (639 – 773 H) rahimahullahu,

 

وَلْيَجْتَهِدْ عَلَى أَنْ يَكُوْنَ الشَّيْخُ مِمَّنْ لَهُ عَلَى الْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ تَمَامُ اطِّلَاعٍ وَلَهُ مَعَ مَنْ يُوْثَقُ بِهِ مِنْ مَشَايِخِ عَصْرِهِ كَثْرَةُ بَحْثٍ وَطُوْلِ اجْتِمَاعٍ لَا مِمَّنْ أَخَذَ عَنْ بُطُوْنِ الْأَوْرَاقِ وَلَمْ يُعْرَفْ بِصُحْبَةِ الْمَشَايِخِ الْحُذَّاقِ

 

“Hendaklah seseorang bersungguh-sungguh mencari guru dari golongan orang-orang yang sempurna menelaah ilmu-ilmu syariat, banyak berdiskusi dan berkumpul dengan para ulama tepercaya di masanya, bukan belajar dari orang yang semata-mata mengambil ilmu dari dalam kertas-kertas dan buku serta tak diketahui apakah dia pernah menjadi santri langsung kepada ulama-ulama yang cerdas.” (Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirah as-Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, 87).

 

Belajar secara otodidak atau belajar tanpa berguru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam ajaran yang salah dan menyimpang. Mempelajari agama Islam tanpa guru dapat menyebabkan seseorang tergelincir dalam kesesatan dan kebingungan. Oleh karena itu, belajar agama tanpa guru hukumnya terlarang dalam agama. Makanya tak berlebihan jika Abu Yazid Bustami rahimahullahu seorang aulia Allah ta’ala sebagaimana dikutip dalam Kitab Ruhul Bayan fi Tafsir al-Quran mengatakan,
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” (Tafsir Ruhul Bayan fi Tafsir al-Quran, Ismail Haqqi al-Hanafi, 5/264).
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password