Apakah Sepersusuan Mendapatkan Warisan?

Apakah Sepersusuan Mendapat Warisan?

 

Assalamualaikum. Ustadz, saya punya anak laki-laki. Saat kecilnya pernah disusui oleh bibinya, yaitu kakak istri saya. Apakah nanti ketika dia meninggal dunia, akan diwarisi juga oleh Ibu dan saudara sepersusuannya. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Hubungan mahram bisa terjalin dengan tiga sebab, yaitu hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Dengan disusukannya seorang anak kepada wanita lain maka terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka. Hal ini berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ (konsensus) ulama.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ ..

 

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan..” [QS. An-Nisa: 23].

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ

“Diharamkan karena sebab penyusuan apa-apa yang diharamkan karena nasab.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Syarh Shahih Muslim (10/19) menjelaskan bahwa,

 

وأجمعت الأمة على ثبوتها (الحرمة) بين الرضيع والمرضعة وأنه يصير ابنها يحرم عليه نكاحها أبدا ويحل له النظر اليها والخلوة بها والمسافرة ..

“Umat ini telah Ijma’ atas terjalinnya hubungan mahram antara yang menyusui dan disusui, dan ia menjadi anaknya yang haram dinikahi selamanya, dan ia boleh melihat kepadanya (auratnya) dan berkhalwat dengannya serta bepergian bersamanya.”

 

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu ketika menafsirkan Surah An-Nisa Ayat 23 di atas, beliau menjelaskan,

فإذا أرضعت المرأة طفلاً حُرمت عليه لأنها أمّه، وبنتها لأنها أخته، وأختُها لأنها خالته، وأمَّها لأنها جدّتُه، وبنتُ زوجها صاجب اللبن لأنها أختُه، وأختُه لأنها عمته، وأمُه لأنها جدّته، وبنات بنيها وبناتها لأنهن بنات إخوته وأخواته.

“Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram dinikahi si anak. Karena wanita ini telah menjadi ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu tersebut menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah Khaalah (bibi dari jalur ibu susunya), haram pula baginya menikahi ibu dari ibu susunya karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri ayah susu (yaitu suami ibu susu yang menyusuinya) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah ammah (bibi dari jalur ayah susunya), haram baginya ibu ayah susunya karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah keponakannya yang merupakan putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 5/92-93).

 

Kendati ibu susu menjadi mahram bagi anak yang disusuinya, namun ulama sepakat keduanya tidak saling mewarisi. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullahu,

ولا يترتب عليه أحكام الأمومة من كل وجه فلا يتوارثان ولا يجب على واحد منهما نفقة الآخر ولا يعتق عليه بالملك ولا ترد شهادته لها …….. فهما كالأجنبيين في هذه الأحكام

“Dan tidak semua hukum per-ibu-an berlaku akibat susuan, seperti keduanya tidak saling mewarisi satu sama lain, dan tidak wajib saling menafkahi, dan tidak membebaskan perbudakannya, dan juga tidak tertolak kesaksian keduanya untuk satu sama lain…..mereka dalam hukum-hukum ini seperti layaknya dua orang asing (tidak ada jalinan kekerabatan).” (Syarh Shahih Muslim: 10/19)

 

Di samping itu, perlu dijelaskan pula meski ulama bersepakat bahwa sepersusuan tidak saling mewarisi, namun ada perbedaan pendapat tentang kadar atau tempo susuan sehingga dianggap sepersusuan. Berikut penjelasannya;

 

Pertama, ulama empat Mazhab sepakat bahwa sepersusuan itu hanya terjadi kepada anak yang masih kecil. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 10/7285-7288). Dengan rincian sebagai berikut;

  1. Mazhab Syafi’i dan Hanbali; bayi yang berusia tidak lebih dari dua tahun.
  2. Mazhab Maliki; Bayi berusia dua tahun dua bulan.
  3. Mazhab Hanafi; Bayi berusia dua tahun enam bulan.

 

Antara dalil yang dijadikan sandaran pendapat ini adalah surah Al-Baqarah, Ayat 233, Allah ta’ala berfirman,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنَ. لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan….”

 

Allah ta’ala juga berfirman,

وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun..” [QS. Luqman: 14].

 

Selain itu Jumhur juga menyandarkan pendapatnya pada hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

 لا رضاع إلا ما كان في الحولين

“Tidak dianggap sepersusuan kecuali pada anak berusia dua tahun.” [HR. Ad-Daruquthni].

 

Juga berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

“Hukum sepersusuan tidak mengharamkan pernikahan kecuali sesuatu yang memasuki usus bayi dari puting susu, dan itu terjadi sebelum disapih.” [HR. At-Tirmidzi].

 

Kedua, Kendati ada pendapat sebagian ulama bahwa sepersusuan juga boleh terjadi pada anak yang sudah besar berdasarkan hadits penyusuan yang dilakukan oleh Sahlah binti Suhail, istri Abu Hudzaifah ketika mengangkat Salim sebagai anak. Tepatnya saat Salim telah besar, Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Kemudian istrinya meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عِلَيْهِ

“Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram (mahram) baginya.” [HR. Muslim].

 

Namun pendapat ini dilemahkan oleh Jumhur, disamping menyelisihi nash-nash Al-Quran dan hadits-hadits shahih tentang pembatasan sepersusuan pada anak usia dua tahun (dengan menoleransi kelebihan beberapa bulan), jawaban atas kisah Sahlah di atas merupakan kekhususan bagi Sahlah dan Salim saja dan tidak berlaku pada yang lain. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 10/7286).

 

Ketiga, Jumhur juga mensyaratkan masa persusuan itu adalah minimal sebanyak lima kali secara terpisah, sebagaimana riwayat ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أُنْزِلَ فِيْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَنُسِخَ مِنْ ذَلِكَ خَمْسُ رَضَعَاتٍ وَصَاَر إِلَى خَمْسِ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَتُوُفَّيِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Dari Aisyah, beliau berkata, “Telah diturunkan dalam al-Quran sepuluh kali persususan yang dapat menjadikan mahram, lalu dibatalkan lima persusuan sehingga yang menjadi mahram apabila persusuan sebanyak lima kali, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (yaitu sebanyak lima kali).” [HR. Muslim].

 

Berbeda dengan Jumhur, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan lima kali susuan sebagai penetapan sepersusuan. Sedikit atau banyak, bahkan satu kali isapan (sedotan) sudah dianggap sepersusuan. Hal ini berdasarkan keumuman nash Al-Quran dan hadits tentang hubungan mahram melalui sepersusuan. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 10/7289).

 

Kesimpulannya adalah bahwa ulama sepakat bahwa sepersusuan adalah salah satu sebab terjalinnya hubungan mahram antara ibu susu beserta segenap keturunan dan kerabatnya dengan anak yang disusui. Namun keduanya tidak saling mewarisi dan tidak diwajibkan saling menafkahi. Hanya saja terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait usia anak susuan dan kadar sedotan susu yang dianggap sebagai sepersusuan. Perbedaan tersebut adalah khilaf mu’tabar (perbedaan pendapat yang bersumber dari dalil-dalil yang sesuai dengan syari’at) yang harus kita terima dengan lapang dada, karena dalam perbedaan ada kelonggaran dan kemudahan.

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password