Apa Itu Masa Iddah?
Apa Itu Masa Iddah?
Assalamualaikum. Ustadz, saya mendengar ceramah tentang masa Iddah bagi wanita yang dicerai suami, dimana istri tidak dibolehkan menikah lagi dalam masa itu. Bisa dijelaskan secara lebih terperinci. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
- Definisi Iddah
Iddah berasal dari bahasa arab, Al-‘Iddah yang artinya sama dengan al-hisab, dan al-Ihsha yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan Iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (suci dari haidh) atau dengan bilangan beberapa bulan.
Tentang Iddah, Syaikh Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini rahimahullahu menjelaskan,
الْعدة اسْم لمُدَّة مَعْدُودَة تَتَرَبَّص فِيهَا الْمَرْأَة ليعرف بَرَاءَة رَحمهَا وَذَلِكَ يحصل بِالْولادَةِ تَارَة وبالأشهر أَو الْأَقْرَاء
“Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan hitungan quru’ (masa suci).” (Kifayatul Akhyar, Syaikh Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Darul Khair, Damaskus, 1/423).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu juga menjelaskan,
هي مدة حددها الشارع بعد الفرقة، يجب على المرأة الانتظار فيها بدون زواج حتى تنقضي المدة
“Iddah adalah sebuah nama bagi suatu masa yang telah ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang wanita setelah perpisahan (baik berpisah lantaran ditinggal mati atau diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan menerima pinangan, menikah, atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya) hingga masa ‘iddahnya selesai.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7166).
- Hukum Iddah
Iddah hukumnya Wajib bagi wanita berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Dalil Al-Quran yang menjadi dasar kewajiban Iddah, di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini,
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234).
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Adapun dalil dari hadits di antaranya,
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. البخارى و مسلم
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
عَنْ اُمّ حَبِيْبَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا
“Dari Ummu Habibah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari].
Sementara Ijma’ (konsensus) ulama tentang kewajiban Iddah bagi wanita dinukil oleh banyak ulama. Sebagaimana yang diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu,
وأجمع العلماء على وجوبها لقول الله تعالى: وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت قيس: اعتدي في بيتي ابن أم مكتوم
“Para ulama telah sepakat terkait kewajiban Iddah bagi wanita berdasarkan firman Allah ta’ala: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah 228), serta berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais, “Jalani masa Iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum.” (HR. Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi).” (Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 3/80).
Perihal Ijma’ tentang Iddah juga dinyatakan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu,
وأما الإجماع: فقد أجمعت الأمة على وجوب العدة في الجملة وإنما اختلفوا في أنواع منها
“Adapun terkait Ijma’, secara umum sudah disepakati oleh kaum muslimin tentang wajibnya Iddah bagi wanita. Meski ada perbedaan soal jenis-jenis masa Iddahnya.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7167).
Oleh sebab itu haram hukumnya wanita yang masih menjalani masa iddah menikah lagi dengan suami yang baru sehingga selesai masa iddahnya.
- Jenis-Jenis Masa Iddah
Syaikh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu menjelaskan bahwa masa Iddah ada tiga jenis;
- Masa Iddah dengan hitungan Haidh (Masa Suci)
- Masa Iddah dengan hitungan Bulan
- Masa Iddah dengan melahirkan anak
- Kondisi Wanita dalam Masa Iddah
Lebih lanjut Syaikh Wahbah Az-Zuhaily memaparkan bahwa dengan memperhatikan sebab dan kondisinya, maka wanita yang menjalani masa iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi:
- Wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil
- Wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil
- Wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil
- Wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid
- Wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse)
- Wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri.
Pertama, wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil, iddahnya adalah hingga melahirkan.
Tidak ada bedanya, apakah kelahirannya kurang atau lebih dari masa iddah pada umumnya. Misalnya, seminggu setelah ditinggal wafat suaminya, sang wanita melahirkan. Maka habislah masa iddah wanita tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman makna ayat yang menyatakan:
وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. al-Thalaq [65]: 4).
Kedua, wanita yang ditinggal wafat suaminya dan tidak dalam keadaan hamil, masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
Tidak ada perbedaan antara wanita yang belum haid, masih mengalami haid, atau sudah berhenti haid (menapouse). Pun tidak ada bedanya apakah sudah pernah bergaul suami-istri atau belum. Hal ini berdasarkan ayat yang menyatakan:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah: 234).
Ketiga, wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil, maka iddahnya hingga melahirkan, sebagaimana dalam keadaan hamil yang ditinggal wafat suaminya.
Keempat, wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru’.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. al-Baqarah: 228).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru’. Ulama Madzhab Syafi’i dan Maliki memaknai quru’ dengan masa suci. Dan masa iddah dihitung dari masa suci saat diceraikan. Sedangkan jika diceraikan sedang haid, maka masa iddah dihitung sejak masa suci setelah haid itu.
Adapun Madzhab Hanafi dan Hanbali memaknai quru’ dengan haid. Dan masa iddah dihitung dari masa suci saat diceraikan. Dengan berakhirnya tiga kali haid maka berakhirlah masa iddah. Setelah itu wanita boleh menikah dengan lelaki lain. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7173-7174).
Kelima, wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah menopouse, maka iddahnya adalah selama tiga bulan, sebagaimana dalam Al-Quran,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. al-Thalaq: 4).
Adapun bulan yang menjadi patokan penghitungan adalah bulan Hijriah.
Keenam, wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul dengan suaminya, tidak ada masa iddah baginya, sebagaimana firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah (pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (QS. al-Ahzab: 49).
Demikian penjelasan tentang masa Iddah bagi wanita. Semoga memberikan pencerahan. Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments