Enam Jenis Ghibah Yang Dibolehkan
Ghibah adalah membicarakan keburukan seseorang tanpa kehadiran orang tersebut. Perbuatan Ghibah, diharamkan dalam agama Islam dan mayoritas ulama mengkategorikannya sebagai dosa besar. Dalam bahasa Indonesia, Ghibah atau Gibah dimaknai sebagai kegiatan membicarakan keburukan (keaiban) orang lain.
Ghibah berasal dari Bahasa Arab, akar katanya غا بَ (ghaaba) atau الغيبة (al-ghaibah) yang artinya sesuatu yang terhalang dari pandangan. Dari aspek bahasa, Ghibah atau Ghaibah bermakna ketidakhadiran orang yang dibicarakan. Adapun secara istilah, Ghibah berarti membicarakan keburukan dan keaiban seseorang, tanpa kehadiran sosok yang sedang dibicarakan. Pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan keburukan atau aib yang tak disukai orang tersebut, baik kekurangan fisik atau non fisik, biasanya meliputi badan, keturunan, akhlak, tingkah laku, hingga urusan agama atau duniawinya.
Ulama sepakat bahwa Ghibah adalah perbuatan haram berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Antara dalil keharaman dalam Al-Quran adalah firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. [QS. Al-Hujurat: 12].
Dalil dari hadits antaranya diriwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخْيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “’Tahukah kalian apa itu ghibah?’ Lalu sahabat berkata: ‘Allah dan rasulNya yang lebih tahu’. Rasulullah bersabda: ‘Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci’. Beliau ditanya: ‘Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan benar tentang saudaraku?’ Rasulullah bersabda: ‘Jika engkau menyebutkan tentang kebenaran saudaramu maka sungguh engkau telah ghibah tentang saudaramu dan jika yang engkau katakan yang sebaliknya maka engkau telah menyebutkan kedustaan tentang saudaramu.’” [HR. Muslim].
Hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Meski Ghibah pada dasarnya perbuatan yang terlarang dalam Islam. Namun ada beberapa jenis ghibah yang tidak termasuk Ghibah yang diharamkan. Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan di dalam kitabnya Riyadush Shalihih,
: اعلم أن الغيبة وإن كانت محرمة فإنها تباح في أحوال للمصلحة. والمجوز لها غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو أحد ستة أسباب
“Ketauhilah, bahwasanya Ghibah itu meskipun hukum asalnya adalah haram namun menjadi boleh dalam beberapa kondisi untuk kemaslahatan tertentu. Kebolehannya apabila didasari pada tujuan yang benar dan syar’i yang tidak bisa dicapai melainkan dengan melakukan ghibah. Ada 6 perkara yang tidak termasuk Ghibah yang haram,
(1) Dalam mengajukan pengaduan penganiayaan, orang yang teraniaya boleh mengajukan pengaduan penganiayaan itu kepada penguasa, hakim, dan lain-lain.
(2) Dalam meminta pertolongan untuk menghilangkan sesuatu kemungkaran dan mengembalikan orang yang melakukan dosa dan kemaksiatan ke jalan yang benar.
(3) Dalam meminta fatwa – yakni penerangan keagamaan. Seseorang yang hendak meminta fatwa, boleh menceritakan suatu rahasia atau perkara pribadi kepada mufti/alim/guru atau seseorang yang diharapkan dapat memberikan solusi dan jalan keluar atas persoalannya.
(4) Membicarakan seseorang atau pihak tertentu untuk mengingatkan umat terhadap kejahatan dan keburukannya. Memperingatkan mereka agar kejahatan tidak semakin meluas dan menimbulkan mudarat yang lebih berat. Mengungkap kesesatan, kefasikan, kejahatan dan praktik menyimpang seseorang yang melakukan dosa secara terang-terangan, dan tidak ada itikad baik untuk bertobat dan menyesali perbuatannya, meskipun sudah dinasehati. Termasuk meminta pandangan atau informasi tentang seseorang yang akan menjadi menantu, mitra usaha, atau akan menitipkan sesuatu padanya ataupun hendak bermuamalat dengannya.
(5) Membicarakan seseorang yang terang-terangan melakukan kefasikan, dosa dan maksiat, seperti minum miras, merampas harta orang lain, menyita milik orang lain secara paksa, dan pelbagai bentuk perbuatan yang merugikan orang lain. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjadi peringatan dan pelajaran.
(6) Menyebut seseorang dengan gelarnya sebagai identifikasi bukan untuk mencela atau menghina. Bila seseorang dikenal dengan sebuah julukan seperti si rabun, si pincang, si tuli, si buta, si juling, dan lainnya, maka boleh menyebut mereka dengan julukan tersebut.
Demikian penjelasan Imam An-Nawawi tentang enam jenis ghibah yang tidak diharamkan, semoga bermanfaat.
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments