Wajibkah Sutrah Ketika Shalat?
Pertanyaan :
Jawaban :
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
- Pengertian Sutrah
Secara bahasa Sutrah berasal dari kata satara-yasturu yang artinya menutupi, menyembunyikan. Adapun secara istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh seorang yang shalat di depannya sebagai pembatas antaranya dengan orang yang lewat di depannya. (al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 24/177).
Definisi serupa juga diuraikan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, beliau mengatakan,
تعريف سترة المصلي: هي مايجعله المصلي أمامه لمنع المرور بين يديه
“Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan orang yang shalat di depannya untuk menghalangi orang lewat di depannya.” (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/939).
- Syariat Sutrah
Menggunakan Sutrah disyariatkan dalam shalat sebagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorangpun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).” [HR. Muslim].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya, apabila dia enggan maka perangilah karena dia adalah setan.” [HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah].
- Hukum Sutrah
Semua Fuqaha (ulama ahli fikih) sepakat bahwa sutrah bagi orang shalat itu Sunnah dan tidak diwajibkan. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/940). Hukum Sunnah menggunakan Sutrah dalam shalat ini disandarkan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suatu ketika pernah shalat di sebuah tanah lapang tanpa menggunakan sutrah. [HR. Al-Bukhari].
Ibnu Rusyd menukilkan Ijma’ (konsensus ulama) terkait sunnahnya menggunakan sutrah dalam shalat,
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
Seluruh ulama telah Ijma’ akan sunnahnya sutrah yang diletakan antara orang yang shalat dengan kiblat, baik jika sedang shalat sendirian atau tatkala menjadi imam. (Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 1/ 82).
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali ketika menjelaskan hukum sutrah. Beliau menuliskan,
ولا نعلم في استحباب ذلك خلافا
“Saya tidak mengetahui ada khilaf tentang kesunnahannya (sutrah orang shalat)”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 2/174).
Imam An-Nawawi juga menegaskan tentang ijma’ ulama dalam masalah sutrah,
يُستحبُ للمُصلي أن يكون بين يديه سترة من جداراً أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar meletakkan sutrah di depannya, bisa berupa dinding, tiang, atau yang lainnya dan mendekat kepadanya dengan jarak tidak lebih dari tiga hasta.” (Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin, 1/398).
4. Objek dan Kriteria Sutrah
Objek yang bisa dijadikan sutrah bisa berupa dinding, pohon atau tiang. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 24/178). Termasuk boleh menggunakan anak panah, tongkat, hewan tunggangan, kendaraan, garis atau sajadah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits yang shahih dan dipraktekkan dalam Madzhab Hanafi dan Syafi’i,
وقاس الحنفية والشافعية على الخط المصلى، كسجادة مفروشة، قال الطحطاوي: وهو قياس أولى؛ لأن المصلى أبلغ في دفع المار من الخط . ولهذا قدم الشافعية المصلى على الخط وقالوا: قدم على الخط لأنه أظهر في المراد
Ulama Madzhab Hanafi dan Syafi’i mengqiyaskan garis dengan tempat shalatnya seperti hamparan sajadah. Imam Ath-Thahawi berkata, Ini adalah qiyas aulawi (qiyas yang hukum pada Furu’ (cabang) lebih kuat daripada hukum Ashl (asli), karena illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl). Karena tempat shalat lebih mengena maknanya dalam mencegah orang lewat dibanding dengan garis. Oleh karena itu, kalangan Syafi’iyah lebih mengutamakan menggunakan tempat shalat daripada garis. Mereka mengatakan: didahulukan tempat shalat daripada garis karena itu lebih pas dan mengena maksudnya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/180).
Adapun menjadikan punggung manusia sebagai sutrah ada perbedaan di kalangan ulama tentang kebolehannya. Jumhur ulama Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali mengatakan boleh menjadikan punggung seseorang sebagai sutrah dalam shalat, sementara Madzhab Syafi’i tidak membolehkannya. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/942-944).
Wallahu A’la wa A’lam
Dijawab oleh: Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments