Menikah dalam Masa Iddah, Apa Hukumnya?
Assalamualaikum. Ustadz, sahabat saya bercerai dengan suaminya 25 tahun yang lalu. Lalu dia menikah lagi dengan lelaki yang saat ini menjadi suami keduanya. Yang menjadi kegelisahannya adalah saat menikah dia masih dalam masa Iddah. Dan dari pernikahan selama 25 tahun itu, telah dikaruniai lima orang anak. Apa status pernikahan mereka dan bagaimana status anak-anaknya. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Untuk menjawab pertanyaan di atas, akan dijawab dalam poin-poin berikut;
- Definisi Iddah
Iddah berasal dari bahasa arab, Al-‘Iddah yang artinya sama dengan al-hisab, dan al-Ihsha yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan Iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (suci dari haidh) atau dengan bilangan beberapa bulan.
Tentang Iddah, Syaikh Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini rahimahullahu menjelaskan,
الْعدة اسْم لمُدَّة مَعْدُودَة تَتَرَبَّص فِيهَا الْمَرْأَة ليعرف بَرَاءَة رَحمهَا وَذَلِكَ يحصل بِالْولادَةِ تَارَة وبالأشهر أَو الْأَقْرَاء
“Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan hitungan quru’ (masa suci).” (Kifayatul Akhyar, Syaikh Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Darul Khair, Damaskus, 1/423).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu juga menjelaskan,
هي مدة حددها الشارع بعد الفرقة، يجب على المرأة الانتظار فيها بدون زواج حتى تنقضي المدة
“Iddah adalah sebuah nama bagi suatu masa yang telah ditetapkan oleh agama sebagai masa tunggu bagi seorang wanita setelah perpisahan (baik berpisah lantaran ditinggal mati atau diceraikan suaminya, dan di saat itu ia tidak diperbolehkan menerima pinangan, menikah, atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya) hingga masa ‘iddahnya selesai.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7166).
- Hukum Iddah
Iddah hukumnya Wajib bagi wanita berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Dalil Al-Quran yang menjadi dasar kewajiban Iddah, di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini,
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234).
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Adapun dalil dari hadits di antaranya,
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. البخارى و مسلم
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
عَنْ اُمّ حَبِيْبَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا
“Dari Ummu Habibah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari].
Sementara Ijma’ (konsensus) ulama tentang kewajiban Iddah bagi wanita dinukil oleh banyak ulama. Sebagaimana yang diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu,
وأجمع العلماء على وجوبها لقول الله تعالى: وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت قيس: اعتدي في بيتي ابن أم مكتوم
“Para ulama telah sepakat terkait kewajiban Iddah bagi wanita berdasarkan firman Allah ta’ala: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah 228), serta berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais, “Jalani masa Iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum.” (HR. Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi).” (Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 3/80).
Perihal Ijma’ tentang Iddah juga dinyatakan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu,
وأما الإجماع: فقد أجمعت الأمة على وجوب العدة في الجملة وإنما اختلفوا في أنواع منها
“Adapun terkait Ijma’, secara umum sudah disepakati oleh kaum muslimin tentang wajibnya Iddah bagi wanita. Meski ada perbedaan soal jenis-jenis masa Iddahnya.” (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7167).
Oleh sebab itu haram hukumnya wanita yang masih menjalani masa iddah menikah lagi dengan suami yang baru sehingga selesai masa iddahnya.
- Kondisi Wanita dalam Masa Iddah
Lebih lanjut Syaikh Wahbah Az-Zuhaily memaparkan bahwa dengan memperhatikan sebab dan kondisinya, maka wanita yang menjalani masa iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi:
- Wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil
- Wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil
- Wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil
- Wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid
- Wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse)
- Wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri.
Untuk kasus yang ditanyakan maka wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru’.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. al-Baqarah: 228).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru’. Ulama Madzhab Syafi’i dan Maliki memaknai quru’ dengan masa suci. Dan masa iddah dihitung dari masa suci saat diceraikan. Sedangkan jika diceraikan sedang haid, maka masa iddah dihitung sejak masa suci setelah haid itu.
Adapun Madzhab Hanafi dan Hanbali memaknai quru’ dengan haid. Dan masa iddah dihitung dari masa suci saat diceraikan. Dengan berakhirnya tiga kali haid maka berakhirlah masa iddah. Setelah itu wanita boleh menikah dengan lelaki lain. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 9/7173-7174).
- Status pernikahan dengan wanita yang masih dalam masa Iddah
Berdasarkan Ijma’ para ulama bahwa pernikahan tersebut batal dan tidak sah. Wanita yang masih dalam masa iddah adalah antara wanita yang haram dinikahi.
Imam An-Nawawi menjelaskan,
فصل: يحرم على الرجل التزوج بمعتدة غيره قبل انقضاء عدتها بأي سبب كانت الفرقة لقوله تعالى: (وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ) وقوله تعالى: (وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا) وقوله تعالى: (وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُ).
فالواجب على المرأة التربص بعد زوال نكاحها مدة ذلك الأجل المضروب فلا تتزوج بغير زوجها الأول حتى تنقضي عدتها وذلك لأن وجوب العدة على المرأة إما لتعرف براءة الرحم وإما لإعطاء الزوج فرصة يتمكن فيها من مراجعة زوجته وإما للإحداد على الزوج المتوفى. ولهذا تم الإجماع على أنه لو عقد على معتدة الغير في عدتها كان العقد فاسدا ووجب التفريق بينهما إن لم يتفرقا.
Perkara: Diharamkan bagi lelaki menikahi wanita yang masih dalam masa iddah sebelum habis masa iddah tersebut apapun sebab perceraiannya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. al-Baqarah: 228). Juga firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234), dan firman Allah, “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235).
Oleh karena itu seorang istri yang dicerai wajib menunggu selama masa iddah yang telah ditetapkan dan tidak boleh menikah dengan lelaki lain selama masa iddah tersebut belum berakhir. Kewajiban menunggu dalam masa iddah bagi wanita adalah untuk memastikan bahwa rahimnya kosong tidak ada benih suami pertamanya; dan juga untuk memberi kesempatan kepada suaminya untuk rujuk kepada istrinya; begitu pula sebagai ihdad (masa berkabung) istri atas kewafatan suaminya.
Para ulama telah Ijma’ (konsensus) bahwa pernikahan yang dilakukan dengan wanita yang masih dalam masa iddah adalah batal dan tidak sah, keduanya wajib dipisahkan meskipun mereka tidak melakukan perceraian.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 19/303).
- Hukuman dan Sanksi
Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan ,
1. Jika pasangan tersebut menikah dalam masa iddah, keduanya mengerti dan memahami tentang iddah dan waktunya, serta mengetahui bahwa pernikahan tersebut adalah haram, namun keduanya tetap melaksanakan pernikahan tersebut dan keduanya telah melakukan jima’ (hubungan badan), maka berlaku beberapa hukum berikut:
- Keduanya telah berzina
- Berlaku had atas pelaku zina
- Wanita tersebut tidak berhak atas mahar pernikahan yang batal tersebut
- Nasab anak-anak yang lahir dari pernikahan batal tersebut adalah kepada ibunya, bukan kepada ayah biologisnya.
2. Adapun jika pasangan tersebut menikah dalam masa iddah, keduanya tidak mengetahui dan tidak mengerti tentang iddah dan waktunya, serta tidak mengetahui bahwa pernikahan tersebut adalah haram, dan keduanya telah melakukan jima’ (hubungan badan), maka pernikahan itu disebut dengan pernikahan syubhat. Syubhat artinya kerancuan dan ketidakjelasan. Disebut nikah syubhat, karena sejatinya nikah ini batal dan tidak sah, namun diyakini sah oleh pelaku, karena ketidaktahuannya dan kejahilannya. berlaku beberapa hukum berikut:
- Keduanya tidak dihukum berzina
- Tidak berlaku had atas pelaku zina
- Anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut dinisbatkan kepada ayah biologis mereka.
(Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 7/500).
- Pernikahan Syubhat
Syaikh Shaleh al-Azhari (w. 1335 H) rahimahullahu menjelaskan tentang nikah syubhat sebagai berikut,
وضابط نكاح الشبهة أن ينكح نكاحا فاسدا مجمعا على فساده، لكن يدرأ الحد كأن يتزوج بمعتدة أو خامسة أو ذات محرم غير عالم ويتلذذ بها أو يطأ امرأة يظنها زوجته فيحرم عليه أصل كل واحدة منهن وفرعها
“Batasan nikah syubhat adalah seseorang menikah dengan pernikahan yang tidak sah yang telah disepakati ulama, akan tetapi tidak dianggap sebagai zina dan tidak pula berlaku had zina. Seperti menikahi wanita yang masih dalam masa iddah, atau dengan wanita sebagai istri yang kelima, atau dengan wanita mahramnya, dalam kondisi dia tidak mengetahui keharamannya, sementara dia telah bercumbu dengannya, atau dia bersenggama dengan wanita yang dia sangka istrinya. Pada dasarnya semua wanita tersebut haram bagi lelaki tersebut, termasuk selain hubungan badan.” (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma’aani, syarh Risalah Ibni Abi Zaid Al-Qayrawaani, Al-Azhari, 451).
Dalam ensiklopedi fikih dinyatakan,
اتفق الفقهاء على وجوب العدة وثبوت النسب بالوطء في النكاح المختلف فيه بين المذاهب , كالنكاح بدون شهود , أو بدون ولي , وكنكاح المحرم بالحج , ونكاح الشغار
“Ulama sepakat wajibnya menjalani menjalani iddah dan sahnya nasab karena hubungan badan setelah pernikahan yang statusnya diperselisihkan oleh berbagai madzhab. Seperti nikah tanpa saksi, atau tanpa wali, atau pernikahan yang dilakukan orang ihram ketika haji atau nikah syighar.”
ويتفقون كذلك على وجوب العدة وثبوت النسب في النكاح المجمع على فساده بالوطء ، كنكاح المعتدة , وزوجة الغير ، والمحارم ، إذا كانت هناك شبهة تسقط الحد , بأن كان لا يعلم بالحرمة ; ولأن الأصل عند الفقهاء : أن كل نكاح يدرأ فيه الحد ، فالولد لاحق بالواطئ
“Ulama juga sepakat wajibnya iddah dan sahnya nasab dari hasil pernikahan yang disepakati batalnya, seperti menikahi wanita di masa iddah, atau menikahi istri orang lain, atau menikahi mahram, jika di sana ada syubhat, yang menyebabkan gugurnya hukuman zina, yaitu dia tidak mengetahui haramnya pernikahan tersebut. Kaidah yang ditetapkan para ulama, bahwa semua pernikahan yang batal namun tidak berhak mendapatkan hukuman zina, maka anak dinisbatkan kepada ayah biologisnya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 8/123).
Tentang nikah syubhat ini, Imam as-Sarkhasi rahimahullahu dalam al-Mabsuth juga menjelaskan,
وقضى علي رضي الله عنه في الوطء بالشبهة بسقوط الحد ووجوب مهر المثل على الواطئ والعدة على الموطوءة
“Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk hubungan badan yang terlarang karena tidak tahu, dengan digugurkannya hukuman had bagi pezina, dan wajibnya memberikan mahar standar bagi si lelaki dan wanita wajib menjalani masa iddah.” (al-Mabsuth, 34/219).
- Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan:
- Status pernikahan keduanya dianggap batal dan tidak sah, meskipun sudah berlangsung selama 25 tahun.
- Keduanya harus segera berpisah, dan status keduanya bukanlah mahram.
- Jika keduanya masih ingin melanjutkan hubungan sebagai suami-istri, wajib melakukan akad nikah yang baru, dengan adanya wali, saksi, mahar dan ijab kabul layaknya pernikahan pada umumnya. Ini merupakan pendapat Jumhur (mayoritas ulama). (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr, 9/6647).
- Status anak yang lahir dari pernikahan dalam masa Iddah yang tidak diketahui keharamannya (nikah syubhat) dinisbatkan kepada ayah biologis mereka.
Demikian penjelasan tentang pernikahan dalam masa iddah. Semoga memberikan pencerahan. Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments