Mengenal Fiqih Muamalah

Apa Itu Fiqih Muamalah?

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A*

 

Antara hal penting yang sejatinya diketahui setiap muslim adalah perbedaan antara persoalan-persoalan yang masuk ranah akidah, ibadah atau muamalah. Karena ketiga hal ini meski menjadi bagian dari syariat Islam namun memiliki kekhususan dan karakteristik yang berbeda-beda. Ketentuan dan pendekatan hukum masing-masing aspek tersebut juga berbeda. Aspek akidah dan ibadah relatif bersifat tsawabit (konstan dan tetap), sementara aspek muamalah bersifat mutaghayyirat (dinamis dan fleksibel). Perbedaan ini harus diilmui dengan benar, agar bisa disikapi dengan tepat dan bijak. Jangan sampai kita melonggarkan hal-hal yang prinsipil dan fundamental dalam agama, dan justru bersifat ketat dalam perkara-perkara yang ditolerir.

Tulisan ini akan menguraikan definisi fiqih muamalah, aspek dan ruang lingkupnya, prinsip dan karakteristiknya, serta urgensi mengetahui dan mempelajari fiqih muamalah sebagai pedoman dalam kita melakukan aktivitas muamalah.

 

A. Pengertian Fiqih Muamalah

A.1 Pengertian Fiqih

Fikih menurut bahasa berarti (اَلْفَهْمُ) pemahaman. Istilah fikih dengan pengertian seperti ini seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam., antara lain:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.

“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS. At-Taubah: 122].

 

Kata fikih dalam pengertian pemahaman juga dapat dijumpai dalam surat al-A’raf ayat; 179, dan surat an-Nisa’ ayat; 78, dan juga dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ. رواه البخاري ومسلم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dalam banyak literasi, fikih menurut istilah didefinisikan para ulama ialah sebagai berikut;

(اَلْعِلْمُ بِالاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ وَهُوَ عِلْمٌ مُسْتَنْبَطٌ بِالرَّأْيِ وَالإِجْتِهَادِ وَيُحْتَاجُ فِيْهِ إِلَى النَّظَرِ وَالتَّأَمُّلِ (الجرجانى الحنفي

“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.” (Mengutip Imam Al-Jurjani Al-Hanafi; Dr Mu’adz Muhammad Abdullah Abul Fathi Al-Bayanuni, Qawa’id Nazhariyyah).

 

Ada pula definisi yang lain, menyebutkan fiqih itu adalah,

اَلْفِقْهُ مَعْرِفَةُ اَحْكَامِ الله تَعَالَى فِى اَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ بِالْوُجُوْبِ وَالْحَظَرِ وَالنَّدْبِ وَالْكَرَاهَةِ وَالإِبَاحَةِ وَهِيَ مُتَلَقَّاةٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَا نَصَبَهُ الشَّارِعُ لِمَعْرِفَتِهَا مِنَ الأَدِلَّةِ فَإِذَا اسْتُخْرِجَتْ الاَحْكَامُ قِيْلَ لَهَا فِقْهٌ

“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan, yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’ untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan (ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fiqih .”

Dari dua istilah di atas dapat disimpulkan secara aplikatif, bahwa kata fiqih memiliki kesamaan dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti fiqih shalat, fiqih puasa, fiqih zakat, fiqih haji dan lain-lain.

 

A.2 Pengertian Muamalah?

Syekh Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id dalam Al-Muamalah fil Islam, mendefinisikan,

معاملة هي الأحكام المتعلقات بتصرفات  الناس في شؤنهم الدنيوية كأحكام البيع والرهن والتجارة والمزا رعة والصنعة والاجارة والشركة والمضاربة والنكاح و الرضاع والطلاق والعدة  والهبات والهديات والموارث والوصايا والحرب والصلح .

“Muamalat ialah hukum syariah yang berkaitan dengan transaksi manusia mengenai jual beli, gadai, perdagangan, pertanian, sewa,menyewa, perkongsian, perkawinan, penyusuan thalak, iddah, hibah & hadiah, washiat, warisan, perang dan damai.”

 

Jadi singkatnya muamalah itu segala bentuk kegiatan, transaksi serta perilaku manusia dalam kehidupannya, baik aspek individu maupun sosial yang berdasarkan hukum-hukum syariat. Muamalah juga bisa dimaknai secara lebih luas sebagai, “Aturan-aturan Allah yang mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dan pergaulan sosial.”

 

B. Aspek-Aspek Muamalah

Dalam konteks muamalah dalam makna luas, Syekh Ibnu Abidin rahimahullahu, dalam kitabnya Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar membagi aktivitas muamalah dalam 5 bidang:

  1. Al-Mu’awadhah al-Maliyah (Transaksi kebendaan)
  2. Munakahat (Perkawinan)
  3. Muhasanat (Hukum Acara)
  4. Amanat (Pemberian kepercayaan)
  5. Tirkah (harta warisan)

 

C. Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Dalam ruang lingkupnya, umumnya para ulama membagi fiqih muamalah menjadi 2, yaitu Al-Mu’amalah Al-Adabiyyah dan Al-Mu’amalah Al-Madiyyah.

Al-Mu’amalah Al-Adabiyyah adalah muamalah yang ditinjau dari cara tukar menukar benda dengan menggunakan panca indera manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban. Ruang lingkupnya mencakup:

  1. Ijab qabul
  2. Saling meridhai
  3. Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
  4. Hak dan kewajiban
  5. Kejujuran
  6. Penipuan
  7. Pemalsuan
  8. Penimbunan
  9. Segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

 

Al-Muamalah Al-Maddiyyah adalah muamalah yang bersifat kepemilikan benda, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemudharatan dan yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Ruang lingkupnya meliputi:

  • Jual beli (Al-Bai’ at-Tijarah)
  • Gadai (Rahn)
  • Jaminan dan tanggungan (Kafalah dan Dhaman)
  • Pemindahan utang (Hiwalah)
  • Jatuh bangkrut (Taflis)
  • Batasan bertindak (Al-Hajru)
  • Perseroan atau perkongsian (Asy-Syirkah)
  • Investasi (Al-Mudharabah)
  • Sewa menyewa tanah (Al-Musaqah Al-mukhabarah)
  • Kerjasama pertanian (Muzara’ah)
  • Upah (Ujrah)
  • Gugatan (Asy-Syuf’ah)
  • Sayembara (Al-Ji’alah)
  • Pinjaman (Qaradh)
  • Pembagian kekayaan bersama (al-Qismah)
  • Pemberian secara sukarela (al-hibah)
  • Pembebasan (al-Ibra’)
  • Perdamaian (ash-Shulhu)
  • Pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
  • Pinjaman barang (‘Ariyah)
  • Sewa menyewa (Al-Ijarah)
  • Penitipan barang (Wadi’ah)
  • Ba’i Murabahah
  • Bai’ Salam
  • Bai Istishna’
  • Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
  • Ba’i Sharf dan Konsep Uang
  • Uang Panjar/DP (’Urbun)
  • Riba
  • Surat utang (Sukuk)
  • Faraidh (warisan)
  • Barang tercecer (Luqathah)
  • Waqaf
  • Hibah
  • Wasiat
  • Pengakuan (Iqrar)
  • Pembagian harta rampasan perang (Fa’i dan Ghanimah)
  • Pembagian zakat (Qism ash-Shadaqat)
  • Discount (Muqasah)
  • Pajak (Kharaj, Jizyah, Dharibah)
  • Baitul Mal
  • Dan lain-lain

 

D. Prinsip-Prinsip Fiqih Muamalah

Pada dasarnya segala bentuk aktivitas muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil, faktor atau sebab-sebab yang mengharamkannya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaedah fiqih,

اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ

“Pada dasarnya pada segala sesuatu (pada persoalan muamalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

الآصل في المعاملة الابا حة  حتى يدل الدليل على تحريمها

“Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.”

 

Muamalat adalah aturan syariah tentang hubungan sosial di antara manusia. Hukum-hukum muamalat memberikan perhatian sangat besar terhadap kemaslahatan manusia dan maqashid syariahnya.

 

Untuk itu dalam muamalat, dijelaskan secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu hukum muamalat. Ini mengandung indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan dalam bidang muamalat, tidak hanya berpegang pada tuntutan teks semata-mata, karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu, kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu.

 

Oleh sebab itu, prinsip dasar dalam muamalah adalah mubah (boleh), namun ada beberapa hal penting yang menjadi spirit dasar muamalah yang harus diperhatikan.

 

a. Muamalah dilakukan atas prinsip dasar keadilan, sukarela, dan tidak boleh ada unsur paksaan serta tindak kezaliman. Hal sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala,

يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

b. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Hal ini secara gamblang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

Hadits ini kemudian menjadi dasar dilahirkan kaedah fiqih yang menyebutkan,

اَلضَّرَرُ يُـزَالُ

“Kemudharatan harus dihilangkan.”

 

c. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai Islam yang universal, rahmatan lil ‘Alamin. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Al-Quran,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim.” [QS. An-Nahl: 89].

وَ ما اَرْسَلْناکَ اِلاَّ رَحْمَهً لِلْعالَمِینَ

“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al-Anbiya: 107].

 

Rahmatan Lil ‘alamin, di mana kegiatan muamalah yang dilakukan sejatinya mendatangkan kebaikan kepada seluruh makhluk, termasuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan lingkungan. Rahmatan Lil ‘alamin, juga bermakna bahwa aktivitas muamalah yang kita lakukan tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh umat Islam, tetapi juga nonmuslim bahkan manusia sejagat. Karena muamalah Islam membawa prinsip-prinsip global dan universal. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sungguhn, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [QS. Al-Mumtahanah: 8].

 

E. Urgensi Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah, menduduki posisi yang penting dan urgen dalam agama Islam. Hampir tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib (fardhu) bagi setiap muslim. Kewajiban itu disebabkan setiap muslim tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang manusia adalah untuk kegiatan muamalah, atau mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.

 

Tidak mengenal aturan dan ketentuan dalam muamalah bisa membuat seorang muslim terjatuh atau terjebak dalam transaksi yang diharamkan. Sepertimana yang dibimbangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” [HR. Al-Bukhari].

 

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu juga memberi peringatan kepada kita agar mempelajari ilmu jual-beli,

من اتجر قبل أن يتفقه ارتطم في الربا ثم ارتطم ثم ارتطم

“Barang siapa yang berdagang namun belum memahami ilmunya, maka dia akan terjerumus kepada riba, terjerumus dan terjerumus.” (Imam Muhammad Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj).

 

Bahkan saking pentingnya ilmu muamalah ini, sehingga khalifah Umar bin Khatthab berkeliling pasar seraya menyerukan,

لا يبع في سوقنا  إلا من قد تفقه في الدين

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqih (muamalah) dalam agama Islam.” [HR. At-Tirmidzi].

 

Urgensi fiqih muamalah ini juga diuraikan oleh Syekh Husein Shahhatah, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari.” (Husein Sahhatah, Al-Iltizam bith-Thawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat al-Maliyah).

 

Mengenal dan mengilmu fiqih muamalat tentu saja tidak hanya mendatangkan kebaikan di dunia tetapi juga kebaikan di akhirat. Dengan demikian tercipta keharmonian antara hablun minallah dan hablun minnas, keseimbangan antara keshalehan individu dan keshalehan sosial.

 

Wallahu a’la wa a’lam.

 

Sumber Bacaan:

  1. Abdullah Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh
  2. Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah
  3. Husein Sahhatah, Al-Iltizam bith-Thawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat al-Maliyah.
  4. Ibnu Ashur, Maqashid Asy-Syariah al-Islamiyah
  5. Ibnu Najim, Al-Asybah wa An-Nazhair
  6. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni
  7. Mu’adz Muhammad Abdullah Abul Fathi Al-Bayanuni, Qawa’id Nazhariyyah
  8. Muhammad Mustafa Syalabi, Tahlil al-Ahkam
  9. Wahbah Az-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh al-Islami

 

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password