Masjid & Mushalla, Apa Perbedaannya
Mushalla dalam pengertian syar’i sebagaimana yang tersebut di dalam beberapa hadits memiliki beberapa makna, yaitu:
Pertama, tanah lapang untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha, atau shalat-shalat berjama’ah lainnya yang dihadiri oleh banyak orang. Antara dalilnya adalah hadits Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa,
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Suatu rombongan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan kaum muslimin untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat guna melaksanakan shalat hari raya.” [HR. Abu Daud].
Kedua, tempat shalat seseorang, baik di dalam masjid maupun di tempat lain. Antara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ
“Para Malaikat berdoa untuk salah seorang dari kalian selama dia masih pada posisi shalatnya dan belum berhadats, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat. Dimana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.” [HR. Al-Bukhari].
Perbedaan Masjid dan Mushalla
Ada pandangan di kalangan kaum muslimin di Indonesia, bahwa masjid adalah tempat yang bisa dipakai untuk shalat berjamaah dalam jumlah yang banyak dan bisa digunakan untuk melaksanakan shalat Jumat. Sementara mushalla dipahami sebagai tempat shalat yang berukuran kecil yang hanya boleh dipakai melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dalam jumlah yang terbatas, serta umumnya tidak digunakan sebagai tempat pelaksanaan shalat Jumat.
Padahal shalat Jumat tidak harus dilakukan di Masjid, bisa ditempat-tempat yang memungkinkan shalat Jumat. Sebagaimana penjelasan Syaikh Syihabuddin ar-Ramli di dalam Nihayatu al-Muhtaj (6/464) rahimahullahu,
لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط
“Hal itu karena pelaksanaan shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid.”
Berdasarkan uraian para ulama kita bisa meringkas perbedaan antara Masjid dan Mushalla dalam empat hal berikut:
Pertama, Masjid adalah tempat shalat yang sudah diwakafkan, oleh karenanya masjid tidak boleh dijual. Berbeda dengan mushalla boleh dimiliki seseorang, dan boleh diperjualbelikan, atau dipindahkan ke tempat lain, bahkan boleh disewakan.
Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, di dalam Minhaju ath-Thalibin (170),
الأظهر أن الملك في رقبة الموقوف ينتقل إلى الله تعالى، أي ينفك عن اختصاص لآدمي فلا يكون للواقف ولا للموقوف عليه
“Yang lebih tepat, bahwa kepemilikan tanah wakaf dipindahkan kepada Allah, yaitu sudah tidak ada hubungannya dengan kepemilikan manusia sama sekali. Oleh karenanya tidak ada hak di dalamnya bagi yang mewakafkan maupun yang menerima wakaf.” (Imam An-Nawawi, Minhaj Ath-Thalibin, 170).
Kedua, Seseorang yang sedang haidh, nifas dan junub tidak boleh menetap di Masjid baik untuk ibadah I’tikaf atau lainnya, namun boleh menetap di mushalla. Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan,
ويحرم بها – أي بالجنابة – ما حرم بالحدث، والمكث بالمسجد لا عبوره
“Menetap di masjid diharamkan bagi orang yang junub, namun diperbolehkan bagi orang yang berhadats atau seorang yang hanya sekedar lewat.” (Imam An-Nawawi, Minhaj Ath-Thalibin, 1/21).
Ketiga, I’tikaf dan shalat tahiyyatul masjid hanya dilakukan di masjid, dan tidak bisa dilakukan di mushalla. Sebagaimana uraian Syaikh al-Khatib asy-Syarbini rahimahullahu,
ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف
“Tidak ada suatu ibadah yang membutuhkan masjid kecuali shalat tahiyatul masjid, i’tikaf dan thawaf.” (Syaikh al-Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 5/329.
Keempat, haram hukumnya membangun lantai atau bangunan khusus di atas masjid, seperti apartemen tempat tinggal, atau yang sejenisnya. Sementara hal tersebut boleh lakukan di mushalla. Syaikh Ibnu ‘Abidin rahimahullahu menjelaskan,
لو تمت المسجدية ثم أراد البناء – أي بناء بيت للإمام فوق المسجد – مُنع
“Apabila bangunan masjid sudah sempurna kemudian ingin menambahkan bangunan lain seperti rumah untuk tempat tinggal imam di atasnya maka hal tersebut terlarang.” (Syaikh Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Ibni ‘Abidin, 3/371).
Wallahu a’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments