Apakah Anak Tiri Dapat Warisan?

Assalamualaikum. Pak Ustadz, apakah anak tiri berhak mendapat warisan, baik dari Ayah tiri atau Ibu Tiri. Mohon penjelasan. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Hak warisan untuk anak adalah hak yang diberikan langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak gugur baik dalam kondisi apapun. Ini adalah hukum yang disepakati oleh seluruh ulama tanpa ada perbedaan, berdasarkan nash Al-Quran dan Al-Hadits.

 

Allah ta’ala berfirman,

 

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” .” [QS. An-Nisa: 7].

 

 

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.” [QS. An-Nisa: 11].

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر

“Berikanlah bagian-bagian itu (harta warisan) kepada keluarganya yang berhak (mendapatkannya), jika masih ada yang tersisa maka yang utama mendapatkannya adalah lelaki terdekat (kekerabatannya).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Anak laki dan anak perempuan termasuk Ashaabul Furuud, yaitu ahli waris yang kadar hak warisannya telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu sebelum ahli waris yang lain berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma (konsensus) ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 10/7739).

 

Namun perlu kita ketahui bahwa dalam syariah Islam yang mendapat warisan hanya anak kandung saja yang memiliki pertalian nasab kepada ayah atau ibunya. Sedangkan anak tiri, tidak mendapat warisan sama sekali. Karena anak tiri pada hakikatnya bukan anaknya, melainkan anak orang lain. Pertalian nasab keturunan merupakan salah satu syarat yang memberikan hak warisan pada seseorang.

 

Yang termasuk anak tiri adalah anak orang lain yang bukan darah daging sendiri. Seseorang yang memiliki hubungan tiri dengan orang lain berarti bahwa orang tersebut tidak memiliki hubungan darah sama sekali, atau memiliki sebagian hubungan darah dari ayahnya atau ibunya tetapi tidak sebaliknya.

 

Misalnya seorang lelaki yang menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak dari perkawinan sebelumnya. Anak dari janda tersebut jelas tidak ada hubungan nasab dengan suami baru ibunya itu. Begitupula sebaliknya ketika seorang wanita menikahi duda yang telah memiliki anak dari perkawaninan sebelumnya, maka anak tersebut adalah anak tiri bagi wanita tersebut.

 

Hak Warisan Anak Tiri

Anak tiri atau anak yang didapatkan dari pasangan dan dari pernikahan terdahulunya, tidaklah disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki hubungan nasab atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya. Sebab untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari tiga hal saja, yaitu Nasab (Hubungan kekeluargaan), mushaharah (hubungan perkawinan) yaitu hubungan pernikahan secara resmi sesuai syariah dan Wala’ (yaitu orang yg memerdekakan budak. Jika budak yg dimerdekakan meninggal maka majikannya mewarisi harta orang yang dimerdekakan).

 

Dengan memperhatikan ketiga sebab waris diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak mendapatkan warisan dari orangtua tirinya, ia hanya bisa mendapatkan warisan dari orangtua kandung yang sedarah dengannya baik ibu maupun ayah.

 

Meski demikian anak tiri masih bisa mendapatkan pembagian harta dari orangtua tirinya selain warisan, yaitu melalui hibah atau wasiat. Saat masih hidup orangtua tiri boleh memberikan hibah (pemberian harta secara sukarela) kepada anak tirinya tersebut, atau bisa pula memberi harta melalui wasiat (pemberian harta kepada non ahli waris saat sakit menjelang kematian).

 

Perbedaan antara wasiat dan hibah, setidaknya ada dua;

Pertama, (Waktu penyerahan): Serah terima harta hibah boleh dilakukan sewaktu orangtua masih hidup. Sementara wasiat, pernyataannya disampaikan saat almarhum masih hidup, namun penyerahan harta wasiat menunggu hingga orangtua meninggal terlebih dahulu.

 

Kedua, (Kadar pemberian harta): kadar maksimal harta Wasiat ialah 1/3 (sepertiga) harta, tidak boleh lebih. Adapun harta hibah, tidak ada batasan minimal dan maksimalnya. Artinya hibah bisa dilakukan dengan sebagian atau seluruh harta.

 

Ketentuan harta wasiat maksimal 1/3 harta berdasarkan hadits hadits Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu,

 

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ ، أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَ بِى مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى ، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ لِى وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىْ مَالِى قَالَ « لاَ » . قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ « لاَ » . قُلْتُ فَالثُّلُثِ قَالَ « وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ »

Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Berbeda dengan hibah, seseorang boleh menghibahkan seberapapun harta yang dimilikinya, baik kepada ahli waris atau non ahli waris, bahkan ia boleh menghibahkan seluruh hartanya. Hal ini sebagaimana uraian Ibnu Rusyd (526 – 595 H) rahimahullahu,

 

وَعُمْدَةُ الْجُمْهُورِ: أَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَهَبَ فِي صِحَّتِهِ جَمِيعَ مَالِهِ لِلْأَجَانِبِ دُونَ أَوْلَادِهِ، فَإِن كَانَ ذَلِكَ لِلْأَجْنَبِيِّ فَهُوَ لِلْوَلَدِ أَحْرَى

“Dan menurut Jumhur (sebagian besar ulama), telah ada kesepakatan ulama (Ijma’) bahwa seseorang boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain (non ahli waris) tanpa memberi anak-anaknya di saat dia dalam keadaan sehat. Jika kepada non ahli waris saja seseorang boleh menghibahkan seluruh hartanya, maka hibah tersebut lebih utama diberikan kepada anak-anaknya dibanding kepada orang lain.” (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd, 4/113).

 

Wallahu A’la wa A’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password