Jangan Berguru Kepada Yang Tak Berguru
Ilmu itu adalah Agama, maka tak boleh sembarangan menimbanya. Imam An-Nawawi mengutip dari Ibnu Sirin, Imam Malik dan para ulama salaf rahimahumullahu jami’an,
فقد قال ابن سيرين ومالك وخلائق من السلف: هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Berkata Ibnu Sirin, Malik dan banyak ulama salaf; Ilmu ini agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 1/460).
Ilmu dan pengetahuan adalah perkara yang agung, dengannya seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Tanpa ilmu, seseorang bisa tersesat dan binasa. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
ألا إنَّ الدُّنيا ملعونةٌ ملعونٌ ما فيها ، إلَّا ذِكرُ اللَّهِ وما والاهُ ، وعالِمٌ ، أو متعلِّمٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu terlaknat. Semua yang ada di dalamnya terlaknat kecuali dzikrullah serta orang yang berdzikir, orang yang berilmu agama dan orang yang mengajarkan ilmu agama” [HR. At-Tirmidzi].
Oleh karena itu, menuntut ilmu, khususnya ilmu agama adalah perkara yang besar dan krusial. Tidak boleh sembarangan dan serampangan. Termasuk di dalamnya, perkara memilih orang yang akan diambil ilmunya, yang akan dijadikan guru. Antara syarat seseorang yang layak diambil ilmunya adalah seorang guru yang juga berguru. Jangan ambil ilmu dari orang yang gurunya semata-mata buku.
Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang 35 Adab penuntut ilmu. Dalam adab yang ke 5 beliau menjelaskan,
قالوا: ولا تأخذ العلم ممن كان أخذه له من بطون الكتب من غير قراءةٍ على شيوخ, أو شيخٍ حاذقٍ, فمن لم يأخذه إلا من الكتبِ يقع في التَّصحيف, ويكثرُ منه الغلط والتَّحريف
“Para ulama menegaskan, Jangan ambil ilmu dari orang yang tak berguru, yakni mereka yang belajar hanya dengan membaca buku tanpa bertalaqqi langsung kepada Masyaikh dan alim ulama. Barangsiapa yang hanya belajar dari tumpukan buku-buku, ia akan jatuh pada jurang kesalahpahaman, darinya akan lahir banyak sekali kekeliruan dan penyelewengan pengetahuan.” (Imam An-Nawawi, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Maktabah Ash-Shahabah Thantha, 46).
Hal ini juga diuraikan Imam As-Suyuthi (849 – 911 H) rahimahullah dalam kitabnya ‘Is’aful Mubattha’ bi Rijalil Muwattha’ saat menceritakan kisah Imam Malik rahimahullahu,
سئل الإمام مالك رحمه الله: ” أيؤخذ العلم عمن ليس له طلب ولا مجالسة؟ “، فقال: ” لا “، فقيل: ” أيؤخذ ممن هو صحيح ثقة غير أنه لا يحفظ، ولا يفهم ما يحدث؟ “، فقال: ” لا يكتب العلم إلا ممن يحفظ، ويكون قد طلب، وجالس الناس، وعرف وعمل، ويكون معه ورع “
“Suatu hari seseorang bertanya kepada Imam Malik, ‘Apakah boleh mengambil ilmu dari seseorang yang tidak nyantri, tidak sorogan dan tidak bertalaqqi langsung? Imam Malik menjawab, ‘Tidak boleh!
Beliau ditanya lagi, ‘Apakah boleh mengambil ilmu dari orang yang jujur dan tepercaya tapi dia tidak menghapal dan tidak pula memahami dengan benar apa yang dia sampaikan?
Imam Malik menjawab, “Jangan menyalin ilmu dari orang yang tidak hapal ilmunya. Pastikan kalian mengambil ilmu dari guru yang nyantri dan bermajelis langsung dengan gurunya, dia sudah memahami betul pelajarannya dan telah pula mengamalkannya. Dan dia juga seorang yang wara’ (terjaga agama dan terpelihara akhlaknya).
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu sebagaimana dikutip oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, beliau berkata,
الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، ولولا الإسناد لَقالَ مَن شاءَ ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, pasti siapapun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki.”
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, mengutip perkataan ‘Uqbah bin ‘Aamir berkata,
تَعَلَّمُوا قَبْلَ الظَّانِّينَ يَعْنِي الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ بِالظَّنِّ
“Tuntutlah ilmu sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka.”
Ucapan ‘Uqbah bin ‘Amir ini kemudian ditafsir oleh Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, beliau berkata,
وَمَعْنَاهُ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ مِنْ أَهْلِهِ الْمُحَقِّقِينَ الْوَرِعِينَ قَبْلَ ذهابهم ومجئ قَوْمٍ يَتَكَلَّمُونَ فِي الْعِلْمِ بِمِثْلِ نُفُوسِهِمْ وَظُنُونِهِمْ التى ليس لها مستند شرعي
“Maknanya tuntutlah ilmu dengan bersungguh-sungguh kepada ahlinya yang benar-benar ahli dan ulama yang shalih sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka tanpa sandaran syariat.
Belajar secara otodidak atau belajar kepada guru yang tidak berguru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam ajaran yang salah dan menyimpang. Mempelajari agama Islam tanpa guru dapat menyebabkan seseorang tergelincir dalam kesesatan dan kebingungan. Oleh karena itu, belajar agama tanpa guru hukumnya terlarang dalam agama. Makanya tak berlebihan jika Abu Yazid Bustami rahimahullahu seorang aulia Allah ta’ala sebagaimana dikutip dalam Kitab Ruhul Bayan fi Tafsir al-Quran mengatakan,
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
.Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” (Tafsir Ruhul Bayan fi Tafsir al-Quran, 5/264)”
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin juga mengatakan,
يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِهِ
Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang benar. Jalan agama begitu terjal dan rumit, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan bisa berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya.” (Ihya ‘Ulumiddin, 1/98)
Untuk itu, setiap muslim wajib memilih kepada siapa ia berguru. Tidak semata-mata memilih ilmu yang akan dipelajari, namun yang paling utama adalah memilih guru yang tepat, yaitu guru yang juga berguru. Kepada mereka kita tidak semata menimba ilmu, tetapi juga menimba adab untuk digugu dan ditiru.
Wallahu a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments