Dahulukan Puasa Qadha Atau Puasa Syawwal?
Assalamualaikum. Ustadz, mana yang lebih utama mendahulukan puasa Qadha Ramadan atau Puasa Syawwal? Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Puasa enam hari bulan Syawwal hukumnya Sunnah menurut Jumhur Ulama (Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Mubarak, dll), baik dilakukan secara berturut-turut (enam hari) atau secara berselang. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” [HR. Muslim, dll].
Dalam kitab Sunannya, Imam At-Tirmidzi juga mengatakan hal serupa,
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Sekelompok ulama mengatakan sunnah hukumnya berpuasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits ini. Ibnul Mubarak mengatakan: “Ini bagus, puasa ini semisal berpuasa tiga hari di setiap bulan.” (Sunan At-Tirmidzi pada komentar hadits No. 759).
Pendapat Jumhur ini juga dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (28/92),
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْمَالِكِيَّةُ ، وَالشَّافِعِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ وَمُتَأَخِّرُو الْحَنَفِيَّةِ – إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بَعْدَ صَوْمِ رَمَضَانَ
“Jumhur (mayoritas) fuqaha seperti ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Mazhab Hanafi muta’akhirin (generasi kemudian) berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadhan.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 28/92).
Berbeda dengan Jumhur, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan puasa enam hari bulan Syawwal karena di samping tidak mendapatkan dalil yang cukup kuat terkait puasa Syawwal, beliau juga khawatir orang-orang awam menyambungnya dengan puasa Ramadan. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 7/468-469).
Imam Malik rahimahullahu berkata,
وصوم ستة أيام من شوال لم أر أحداً من أهل العلم والفقه يصومها، ولم يبلغه ذلك عن أحد من السلف، وأن أهل العلم في وقته كانوا يكرهون ذلك ويخافون بدعته، وأن يُلحِق برمضان أهل الجفاء والجهالة ما ليس منه، لو رأوا في ذلك رخصة عند أهل العلم ورأوهم يعملون ذلك
“Puasa enam hari di bulan Syawwal tidak pernah dikatakan oleh seorang ahli ilmu dan ahli fikih untuk melakukannya. Tidak pernah didapati dari kalangan salaf yang melakukannya. Para ulama pun memakruhkan puasa tersebut, bahkan mereka khawatir akan bid’ahnya. Dan dikhawatiri pula orang awam yang tidak mengerti akan menyambungkannya dengan puasa Ramadhan. Kalau itu adalah suatu keringanan, mereka tentu akan melakukannya.” (Al-Muwattha’: 1/311).
Namun bagaimana hukum puasa Syawwal bagi seseorang yang masih memiliki hutang puasa Ramadan yang belum selesai?
Secara umum ada Tiga pendapat di kalangan ulama terkait kebolehannya, berikut rinciannya;
✅ Pertama, Boleh mendahulukan puasa Syawwal sebelum mengqadha puasa Ramadan karena waktu pelaksanaannya mudhayyaq (sempit dan terbatas) sementera waktu untuk mengqadha puasa Ramadan muwassa’ (luas) sehingga Ramadan berikutnya. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi.
Hal ini seperti penjelasan Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i bahwa kewajiban membayar hutang puasa Ramadan itu mempunyai waktu yang panjang dan longgar (al-Wajib ala at-tarakhi), tidak harus dikerjakan pada bulan Syawwal, tapi waktunya bisa kapan saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa yang sakit dan berada dalam perjalan (lalu dia berbuka) maka dia (harus menggati puasa tersebut) pada hari-hari lainnya”. [QS. Al-Baqarah: 185].
Dalil normatif kebolehannya juga terlihat pada hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
كان يكون عليّ الصوم من رمضان، فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان
“Saya pernah punya hutang puasa ramadan dan saya belum melunasinya kecuali di bulan Sya’ban”. [HR. Al-Bukhari].
✅ Kedua, Makruh karena seseorang itu dianggap menyibukkan diri dengan sesuatu yang sunnah dari yang wajib. Ini pendapat ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i.
Syaikh Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli menjelaskan dalam Nihayatul Muhtaj,
وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ . قَالَ أَبُو زُرْعَةَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ : أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ . وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ ( يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ
“Masalah di Tanbih dan banyak ulama menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadan karena uzur, perjalanan, masih anak-anak, masih kufur, tidak dianjurkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Abu Zur‘ah berkata, tidak begitu juga. Ia tetap dapat pahala sunah puasa Syawwal meski tidak mendapatkan pahala yang dimaksud karena efeknya setelah Ramadan sebagaimana tersebut di hadits. Tetapi jika ia sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa uzur, maka haram baginya puasa sunnah.
Masalah yang disebutkan Al-Mahamili mengikuti pandangan gurunya, Al-Jurjani. (Orang utang puasa Ramadhan makruh berpuasa sunah, kemakruhan puasa sunah bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur).” (Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, DKI, 3/208).
✅ Ketiga, Haram karena mengqadha puasa Ramadan hukumnya wajib sementara puasa Syawwal hukumnya Sunnah. Ibadah sunnah tidak boleh didahulukan atas ibadah yang wajib. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanbali.
Terkait hal ini, Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menguraikan dalam Latha’iful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadan, hendaklah ia mendahulukan mengqadhanya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu lebih baik daripada puasa sunnah Syawal.” (Latha’iful Ma’arif, 392).
Di antara dalil yang dikemukakan adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah,
من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء لم يقضه لم يتقبل منه، ومن صام تطوعا وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنه لا يتقبل منه حتى يصومه
“Barangsiapa yang mendapati Ramadan dan dia masih mempunyai hutang kewajiban berpuasa darinya yang belum dia penuhi maka tidak diterima amalan puasanya, dan barang siapa yang berpuasa sunnah sedangkan dia masih mempunyai hutang puasa ramadan yang belum dilunasi maka tidak diterima puasa sunnahnya.” [HR. Ahmad].
Yang Lebih Utama
Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait ibadah puasa Syawwal yang dilakukan sebelum puasa qadha Ramadan. Sebagian memakruhkan dan sebagian mengharamkan. Namun Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkannya.
Mana yang lebih utama, Puasa Syawwal atau qadha Puasa Ramadan lebih dulu?
Sebagaimana kaedah yang biasa dipakai para ulama dalam perkara yang diperdebatkan adalah al-Khuruj minal khilaf Mustahab (keluar dari lingkaran yang masih diperdebatkan adalah lebih disukai). Untuk itu lebih utama sebisa mungkin kita mengqadha puasa Ramadan terlebih dahulu sebelum berpuasa Syawwal, sebagai ikhtiar keluar dari perdebatan. Namun jika waktunya sempit dan Syawwal hampir berakhir, kita boleh mendahulukan puasa Syawwal terlebih dahulu, dan mengqadha Puasa Ramadan setelahnya.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments