Berdosakah Kencing Berdiri?
Assalamualaikum. Ustadz, apa hukum kencing berdiri? Saya pernah mendapat penjelasan dari video seorang mubaligh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah kencing berdiri. Berdosa hukumnya kencing berdiri, termasuk pihak masjid dan kontraktor yang menyediakan fasilitas Urinoir (kencing berdiri) bagi laki-laki. Mohon pencerahannya. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Tak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa posisi yang paling utama ketika kencing adalah duduk atau jongkok. Sebagaimana mayoritas ulama juga mengatakan bahwa kencing berdiri Jaiz (boleh) dalam kondisi tertentu dan Makruh jika tidak aman dari percikan, tidak sampai mengharamkan. Bahkan sebagian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak, baik dalam kondisi darurat ataupun tidak.
Berikut rincian penjelasannya:
Pertama, terkait informasi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali kencing berdiri ada dalam hadits riwayat Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah sama sekali tidak pernah kencing kecuali dalam posisi duduk (jongkok)’.” [HR. An-Nasa’i].
Selain hadits ini juga ada beberapa hadits lain terkait larangan kencing berdiri, namun secara umum dipandang dhaif (lemah) oleh para ulama. Hadits inilah yang dipandang paling kuat dalam bab ini dan menjadi sandaran.
Yang menarik adalah selain hadits larangan kencing berdiri di atas, ada pula hadits lain yang justru menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing berdiri. Imam Al-Bukhari memasukkan hadits tersebut dalam Shahihnya pada Bab “al-Baul Qaaiman wa Qaa‘idan” (Kencing dalam Keadaan Berdiri dan Duduk).
Dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan air, lalu beliau berwudhu dengannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Lantas bagaimana mengharmonikan kedua hadits di atas yang kelihatannya bertolak belakang?
Dalam studi Ushul Fiqh dikenal ada empat solusi yang digunakan ulama untuk menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (Ta‘aaruḍ al-adillah). Empat solusi itu adalah: al-Jam’u wa at-Taufiq (kompromi), Nasikh wa al-Mansukh (pembatalan salah satu hukum), Tarjih (memilih dan mengamalkan dalil yang paling kuat), dan Tawaqquf (berdiam diri sehingga menemukan dalil atau penjelasan yang jernih).
Berkenaan dua hadits ini, maka para ulama menggunakan metode al-Jam’u wa at-Taufiq (kompromi) karena kedua hadits ini berstatus shahih dan tidak ada yang dibatalkan, maka metode yang dipandang tepat adalah mengamalkan keduanya.
Hadits ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas secara jelas menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah kencing berdiri saat beliau berada di rumah. Namun tidak bisa dijadikan dalil secara mutlak untuk larangan kencing berdiri. Ibunda Aisyah mengatakan hal itu berdasarkan pengetahuan beliau sepanjang membersamai baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam rumah. Sementara hadits dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu juga menjelaskan kepada kita bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal yang berbeda saat berada di luar rumah atau dalam kondisi tertentu.
Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahu,
وَالصَّوَابُ أَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوْخٍ. وَاْلجَوَابُ عَنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ: أَنَّهُ مُسْتَنَدٌ إِلَى عِلْمِهَا فَيَحْمَلُ عَلىَ مَا وَقَعَ مِنْهُ فِي اْلبُيُوْتِ وَأَمَّا فِي غَيْرِ اْلبُيُوْتِ فَلَمْ تَطَّلِعْ هِيَ عَلَيْهِ .
“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang kontradiktif di atas tidak dinasakh (dibatalkan salah satunya). Namun dalam menjawab hadits Ibunda ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya itu berdasarkan pengetahuannya semata, yang dipahami sebagai perbuatan Nabi di rumah. Adapun perbuatan Nabi di luar rumah, Ibunda ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 1/510).
Kedua, selain itu dalam kaidah Ushul Fiqh juga dijelaskan,
أَنَّ اْلمُثْبِتَ مُقَدَّمٌ عَلىَ النَّافِي
“Dalil yang menyatakan adanya perbuatan, lebih didahulukan daripada dalil yang meniadakan.”
Hadits Hudzaifah menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah kencing berdiri. Adapun keterangan dari Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, meniadakan informasi tersebut. Untuk itu keterangan dari Hudzaifah, lebih didahulukan daripada hadits Ibunda ‘Aisyah yang meniadakan.
Secara lebih sederhananya, apabila seseorang tidak mengetahui tentang suatu perkara, belum tentu hal tersebut tidak ada. Karena informasi dari seseorang itu disampaikan berdasarkan apa yang ia ketahui dan alami. Jadi tidak menutup kemungkinan ada informasi lain yang dia tidak ketahui yang bisa saja berbeda dengan apa dialaminya.
Ketiga, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing dalam kondisi duduk di rumahnya, lalu melakukan hal yang berbeda di luar rumah, maka itu penjelasan bahwa kencing dengan duduk adalah anjuran, bukan sesuatu yang diwajibkan. Hal ini sebagaimana uraian Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu saat menjelaskan hadits ini,
وَاْلأَظْهَرُ أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ لِبَيَانَ اْلجَوَازِ وَكَانَ أَكَثَرُ أَحْوَاِلهِ اْلبَوْلَ عَنْ قُعُوْدٍ . وَاللهُ أَعْلَمُ
“Yang lebih muktamad dalam hal ini (saat beliau kencing sambil berdiri) adalah untuk menjelaskan tentang kebolehan kencing sambil berdiri. Dan yang sering beliau lakukan ketika kencing adalah dalam kondisi duduk (Jongkok). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 1/510).
Keempat, Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahu juga menyebutkan bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang kencing sambil berdiri,
وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِىِّ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَغَيْرِهِمْ أَنَّهُمْ بَالُوْا قِيَامًا وَهُوَ دَالٌّ عَلىَ اْلجَوَازِ مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ إِذَا َأَمِنَ الرَّشَاشَ . وَاللهُ أَعْلَمُ. وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّهْيِ عَنْهُ شَيْئٌ
“Ada riwayat shahih menyebutkan bahwa Umar bin al-Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan beberapa sahabat lainnya juga kencing sambil berdiri. Hal ini tentu menunjukkan bahwa kencing berdiri itu dibolehkan tanpa kemakruhan sama sekali jika aman dari percikan air kencing. Hanya Allah yang Maha Tahu segalanya. Tidak ada sama sekali keterangan yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing berdiri.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 1/510).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kencing sambil berdiri diperbolehkan tanpa kemakruhan. Terutama sekali dalam kondisi jika kencing sambil jongkok menyulitkan, atau tidak ada tempat alternatif, selama tetap menjaga aurat, tempatnya tertutup dan terhindar dari percikan air kencing.
Adapun pembuatan fasilitas urinoir (kencing berdiri) bagi laki-laki di masjid-masjid atau kantor, jika hal itu dilakukan karena keterbatasan tempat dan lahan atau alasan-alasan kemaslahatan dan efektifitas lainnya tentu bukan sesuatu yang dilarang dan diharamkan dalam agama. Meski lebih utama apabila diupayakan penyediaan fasilitas toilet duduk dan tertutup.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments