Mengqadha Shalat Yang Tertinggal, Wajibkah?
Assalamualaikum. Ustadz, di masa lalu, saya pernah meninggalkan shalat-shalat fardhu, baik sengaja ataupun tidak. Apa yang harus saya lakukan, apakah shalat-shalat fardhu tersebut wajib saya qadha? Mohon penjelasan. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Shalat adalah ibadah yang agung dalam Islam. Ia juga merupakan ibadah yang penting dan wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang baligh dan berakal. Kewajiban shalat secara jelas ditegaskan dalam Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ (konsensus) ulama.
Antaranya firman Allah ta’ala,
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”. [QS. Al-Baqarah: 43].
Allah ta’ala juga berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah”. [QS. Al Baqarah: 110].
Shalat adalah salah satu rukun Islam yang menjadi fondasi dasar keimanan, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits shahih, salah satunya hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ الإسْلامُ علَى خَمْسٍ، شَهادَةِ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وأنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسولُهُ، وإقامِ الصَّلاةِ، وإيتاءِ الزَّكاةِ، وحَجِّ البَيْتِ، وصَوْمِ رَمَضانَ
“Islam dibangun di atas 5 perkara: bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadan”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Selain itu kewajiban shalat fardhu juga dipertegas berdasarkan Ijma’ (konsensus) ulama dan kaum muslimin tanpa ada perbedaan. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 4/4; Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/654).
Hukum Meninggalkan Shalat
Meninggalkan shalat dengan sengaja adalah termasuk dosa besar yang paling besar karena sejajar dengan kufur dan syirik. Hal ini sebagaimana dipahami oleh para ulama dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُولُ : (( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” [HR. Muslim].
Bahkan jika seseorang meninggalkan shalat disertai dengan pengingkaran terhadap kewajibannya, maka Ijma’ (konsensus) ulama orang tersebut dihukum telah kafir dan murtad dari agama Islam. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah,
إذا ترَك الصلاةَ جاحدًا لوجوبها، أو جَحَدَ وجوبَها ولم يتركْ فِعلَها في الصورة، فهو كافرٌ مرتدٌّ بإجماعِ المسلمين
“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya shalat walaupun tidak meninggalkannya, maka ia kafir murtad dari agama Islam berdasarkan ijma ulama kaum Muslimin.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 4/19).
Adapun mereka yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya, maka tidak dihukumi kafir. Orang tersebut dianggap fasiq dan bermaksiat kepada Allah. Termasuk mereka yang baru masuk Islam atau menetap jauh dari komunitas kaum muslimin sehingga tidak mendapatkan pengetahuan terkait kewajiban shalat, tidak dihukumi kafir. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1/658)
Perihal tidak dikafirkan seorang muslim yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya ini juga diungkapkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Beliau menegaskan bahwa ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 4/19).
Mengqadha Shalat Fardhu
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa apabila seseorang meninggalkan shalat-shalat fardhu tanpa sengaja, atau ada uzur syar’i (uzur yang dibenarkan dalam syariat) seperti tertidur, pingsan, atau kondisi-kondisi tertentu yang membuat seseorang terhalang melaksanakan shalat; seperti dikepung musuh, perang, bencana alam, dan lain-lain, maka ia tidak berdosa dan wajib mengqadhanya. Hal ini berdasarkan beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. [HR. Al-Bukhari].
عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
Diriwayatkan dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah bin Mas’ud, ”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk melantunkan azan diteruskan iqamah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” [HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat.” [HR. Muslim].
Adapun shalat fadhu yang ditinggalkan dengan sengaja tanpa uzur syar’i, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengqadhanya. Berikut penjelasannya;
Pendapat Pertama, Wajib Qadha
Jumhur (Mayoritas) ulama berpendapat orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur syar’i, wajib mengqadha shalat-shalatnya meskipun jumlahnya banyak. Hal ini disandarkan pada metode qiyas (analogi) bahwa jika orang lupa atau tertidur sehingga meninggalkan shalat saja wajib mengqadhanya agar tidak berdosa dan mendapat pahala dari Allah ta’ala, maka yang meninggalkannya dengan sengaja tentu lebih utama mengerjakannya (Qiyas Aulawiy).
Meski perintah mengqadha shalat bagi yang sengaja meninggalkannya tidak disebutkan secara tekstual dalam hadits mengqadha shalat namun secara umum hal ini termasuk dalam penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Ibnu Abbas tentang wajibnya membayar hutang kita kepada Allah ta’ala,
فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَ
“Sesungguhnya hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi”. [HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i].
Inilah yang menjadi dasar pendapat Jumhur ulama tentang wajibnya mengqadha shalat karena malas. Syaikh Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan,
فمن وجبت عليه الصلاة, وفاتته بفوات الوقت المخصص لها لزمه قضاؤها فهو آثم بتركها عمدا, والقضاء عليه واجب, لقوله صلى الله عليه وسلم: ﺇﺫﺍ ﺭﻗﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﺃﻭ ﻏﻔﻞ ﻋﻨﻬﺎ، ﻓﻠﻴﺼﻠﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺫﻛﺮﻫﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻳﻘﻮﻝ: ﺃﻗﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻟﺬﻛﺮﻱ (ﻃﻪ/14) ﻭﻟﻠﺒﺨﺎﺭﻱ: »ﻣﻦ ﻧﺴﻲ ﺻﻼﺓ، ﻓﻠﻴﺼﻠﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺫﻛﺮﻫﺎ، ﻻ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﻟﻬﺎ ﺇﻻ ﺫﻟﻚ. ﻭﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ: »ﻣﻦ ﻧﺎﻡ ﻋﻦ ﺻﻼﺓ ﺃﻭ ﻧﺴﻴﻬﺎ، ﻓﻠﻴﺼﻠﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺫﻛﺮﻫﺎ« ﻓﻤﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻟﻨﻮﻡ ﺃﻭ ﻧﺴﻴﺎﻥ ﻗﻀﺎﻫﺎ، ﻭﺑﺎﻷﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ ﻋﻤﺪﺍً ﺑﺘﻘﺼﻴﺮ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎﺅﻫﺎ.
“Barangsiapa yang diwajibkan menunaikan shalat, lalu dia meninggalkan shalat tersebut sehingga keluar waktu yang telah ditetapkan, maka dia wajib mengqadhanya. Dia berdosa karena meninggalkan shalat tersebut secara sengaja, disamping itu dia wajib mengqadhanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian tertidur atau lalai dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman, ‘Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’ (QS. Thaha: 14).”
Dalam hadits Al-Bukhari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadits yang disepakati antara Al-Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نام عن صلاة أو نسيها؛ فليصلها إذا ذكرها
“Barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dengan begitu, siapa saja yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa maka dia wajib mengqadhanya. Dan tentu menjadi lebih utama kewajiban mengqadha apabila seseorang meninggalkan dengan sengaja. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 2/1148 ).
Pendapat Kedua, Tidak Wajib Qadha
Ini adalah pendapat ulama Madzhab Zhahiri dengan alasan bahwa yang diperintahkan mengqadha shalat hanya mereka yang tertidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat. Adapun mereka yang meninggalkan shalat tanpa uzur syar’i tidak termasuk dalam konteks hadits mengqadha shalat dalam hadits riwayat Muslim di atas.
Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu menjelaskan,
وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka ia tidak akan bisa mengqadhanya sama sekali. Maka yang ia lakukan adalah memperbanyak amalan kebaikan dan shalat sunnah, untuk menambah timbangan kebaikannya di hari kiamat. Dan hendaknya ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla.” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, ad-Dar al-‘Alamiyyah, 1/535).
بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون: 4] {الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ} [الماعون: 5] وقَوْله تَعَالَى: {فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا} [مريم: 59] فَلَوْ كَانَ الْعَامِدُ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُدْرِكًا لَهَا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمَا كَانَ لَهُ الْوَيْلُ، وَلَا لَقِيَ الْغَيَّ؛ كَمَا لَا وَيْلَ، وَلَا غَيَّ؛ لِمَنْ أَخَّرَهَا إلَى آخَرِ وَقْتِهَا الَّذِي يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا. وَأَيْضًا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِكُلِّ صَلَاةِ فَرْضٍ وَقْتًا مَحْدُودَ الطَّرَفَيْنِ، يَدْخُلُ فِي حِينٍ مَحْدُودٍ؛ وَيَبْطُلُ فِي وَقْتٍ مَحْدُودٍ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا بَعْدَ وَقْتِهَا؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا صَلَّى فِي غَيْرِ الْوَقْتِ؛ وَلَيْسَ هَذَا قِيَاسًا لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، بَلْ هُمَا سَوَاءٌ فِي تَعَدِّي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1] . وَأَيْضًا فَإِنَّ الْقَضَاءَ إيجَابُ شَرْعٍ، وَالشَّرْعُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ
“Hujah benarnya pendapat kami adalah firman Allah ta’ala, ‘Celakalah orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya‘ (QS. Al-Maun: 4-5). Dan juga firman Allah ta’ala, ‘Dan kemudian datanglah setelah mereka orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat dan mereka akan menemui kesesatan‘ (QS. Maryam: 59). Andaikan orang yang sengaja melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya bisa mengqadha shalatnya, maka ia tidak akan mendapatkan kecelakaan dan kesesatan. Sebagaimana orang yang melalaikan shalat namun tidak keluar dari waktunya tidak mendapatkan kecelakaan dan kesesatan.
Selain itu, Allah ta’ala telah menjadikan batas awal dan akhir waktu bagi setiap shalat. Yang menjadikannya sah pada batas waktu tertentu dan tidak sah pada batas waktu yang lain. Maka tidak ada bedanya antara shalat sebelum waktunya dengan shalat sesudah habis waktunya. Karena keduanya sama-sama shalat di luar waktunya. Dan ini bukanlah mengqiyaskan satu sama lain, melainkan merupakan hal yang sama, yaitu sama-sama melewati batas yang ditentukan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang melewati batasan Allah sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri‘ (QS. Ath Thalaq: 1). Selain itu juga, qadha shalat adalah perintah dalam syariat. Dan setiap perintah syariat tidak boleh disandarkan kepada selain Allah melalui perantara lisan Rasul-nya.” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, ad-Dar al-‘Alamiyyah, 1/535-536).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang meninggalkan shalat fardhu tanpa disengaja, wajib mengqadha shalatnya berdasarkan kesepakatan ulama dan kaum muslimin. Namun apabila shalat tersebut ditinggalkan dengan sengaja, maka ada dua pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama mewajibkan qadha shalat, adapun ulama Mazhab Zhahiri mengatakan tidak diwajibkan. Yang perlu dilakukan adalah memperbanyak tobat dan beramal sholeh.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
1 Comment
Wati Sundriawati
March 2, 2023 at 8:22 amTata cara qodi sholat itu seperti apa,apakah seperti yg Nabi lakukan ….sholat iqomat, sholat iqomat sebagaimana penjelasan di atas