Syarat dan Ketentuan Talak

Syarat dan Ketentuan Talak?
Assalamualaikum. Ustadz, saya sering mendengar penjelasan tentang talak atau cerai, tapi saya tidak begitu mengerti maksud dan syaratnya. Karena saya juga belum menikah? Bisakah ustadz menjelaskan. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
1. Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق (Ithlaq), yang berarti melepas atau meninggalkan. Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan. [Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346.].
Talak atau perceraian merupakan putusnya hubungan pernikahan antara suami dan istri. Hal ini dapat terjadi melalui ucapan talak langsung dari suami, ucapan yang tak disengaja, ataupun melalui gugatan istri di hadapan pengadilan. Meski syariat memberikan ruang bagi talak, namun selama kehidupan rumah tangga masih mungkin dijaga, perceraian hendaknya dijauhi. Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari perceraian—baik terhadap pasangan itu sendiri, anak-anak, maupun masyarakat luas.
Namun, apabila rumah tangga benar-benar tak dapat diselamatkan, semua jalan damai telah buntu, dan bertahan malah menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi salah satu atau kedua pihak, maka talak menjadi pilihan terakhir. Meskipun demikian, talak tidak serta-merta mengakhiri ikatan pernikahan secara total, sebab syariat memberikan beberapa tingkatan talak yang memungkinkan suami merujuk kembali istrinya.
2. Dasar Syariat Talak
Dasar syariat Talak, disebutkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath Thalaq: 1).
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara HALAL yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.” [HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim].
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
3. Hukum Talak
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.” (Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224).
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
- Talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
- Talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
- Talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya keretakan hubungan yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau dipertahankan). Dimana cerai lebih maslahat untuk kedua belah pihak.
- Talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
- Talak yang boleh yaitu talak ketika tidak bisa meraih tujuan dari menikah, bisa disebabkan akhlak, keturunan, keuangan, dll.
4. Syarat-Syarat Talak
Sebagaimana sebuah akad memiliki syarat agar dinilai sah, talak pun memiliki sejumlah ketentuan yang menyebabkan ia jatuh atau tidak, bahkan bila diucapkan tanpa kesadaran penuh. Para ulama fiqih menjelaskan bahwa syarat sahnya talak dapat ditinjau dari tiga sisi:
- Pihak yang menjatuhkan talak (suami),
- Pihak yang menerima talak (istri),
- Lafal atau redaksi talak.
- Syarat Terkait Yang Menjatuhkan Talak
Talak hanya sah dijatuhkan oleh suami yang sah, telah baligh, berakal, serta melakukannya atas kehendak sendiri. Talak tidak sah bila dilakukan oleh seseorang terhadap perempuan yang belum dinikahinya, seperti ucapan: “Jika kelak aku menikahinya, dia tertalak.”
Begitu pula talak yang diucapkan oleh anak kecil dan orang yang kehilangan akal, seperti karena tidur, sakit, disabilitas intelektual, atau mabuk. Hanya saja, para ulama—di antaranya Syekh al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab, Darul Kutub, Beirut, 3/3)—membedakan apakah hilangnya kesadaran itu terjadi karena sebab yang dimaafkan atau karena sebab yang tidak dimaafkan.
Syekh al-Syairazi rahimahullahu menegaskan,
فَأَمَّا مَنْ لَا يَعْقِلُ فَإِنَّهُ لَمْ يَعْقِلْ بِسَبَبٍ يُعْذَرُ فِيهِ كَالنَّائِمِ وَالْمَجْنُونِ وَالْمَرِيضِ، وَمَنْ شَرِبَ دَوَاءً لِلتَّدَاوِي فَزَالَ عَقْلُهُ، أَوْ أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِ الْخَمْرِ حَتَّى سَكِرَ، لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ، لِأَنَّهُ نُصَّ فِي الْخَبَرِ عَلَى النَّائِمِ وَالْمَجْنُونِ، وَقِسْنَا عَلَيْهِمَا الْبَاقِينَ. وَإِنْ لَمْ يَعْقِلْ بِسَبَبٍ لَا يُعْذَرُ فِيهِ، كَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لِغَيْرِ عُذْرٍ فَسَكِرَ، أَوْ شَرِبَ دَوَاءً لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَزَالَ عَقْلُهُ، فَالْمَنْصُوصُ فِي السَّكْرَانِ أَنَّهُ يَصِحُّ طَلَاقُهُ.
“Adapun 0rang yang tidak sadar karena sebab yang dimaafkan—seperti tidur, gila, sakit, atau minum obat untuk berobat hingga hilang kesadarannya, atau dipaksa minum khamr hingga mabuk—maka talaknya tidak jatuh. Ini merujuk pada nash hadits terkait orang tidur dan orang gila, dan kami meng-qiyas-kan selain keduanya atas keduanya.
Namun apabila hilangnya kesadaran itu karena sebab yang tidak dibenarkan—seperti minum khamar tanpa alasan hingga mabuk, atau minum obat tanpa kebutuhan hingga hilang kesadaran—maka menurut nash tentang orang mabuk, talaknya dianggap sah.”
Demikian pula kasus suami yang dipaksa menjatuhkan talak. Ulama membedakan antara paksaan yang dibenarkan (misalnya paksaan hakim) dan paksaan yang tidak dibenarkan. Bila seorang suami dipaksa oleh hakim berdasarkan alasan syar‘i, talaknya sah dan berlaku sebagaimana keputusan cerai dari pengadilan.
Adapun rincian paksaan—sebagaimana dijelaskan Syekh al-Syairazi—meliputi:
- Pihak yang memaksa lebih kuat sehingga sulit dilawan,
- Jika paksaan ditolak, besar kemungkinan ancaman akan terjadi,
- Ancaman yang menyertai paksaan berupa hal berbahaya seperti pemukulan atau pembunuhan.
Dalam kondisi semacam ini, ucapan talak dengan lafal sharih diperlakukan seperti lafal kinayah. Artinya, talaknya hanya jatuh bila disertai niat. Bila tanpa niat, talaknya tidak jatuh—asalkan memang terjadi di bawah paksaan. Ini sebagaimana diterangkan oleh Syekh Muhammad ibn Qasim dalam Fathul Qarib (hlm. 47).
Lalu bagaimana dengan talak saat marah? Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu‘in, Dar Ihya’ al-Kutub, hlm. 112 mengatakan,
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
“Para ulama sepakat bahwa talak orang yang marah adalah jatuh, meskipun ia mengaku hilang kesadaran karena marah.”
- Syarat Terkait Istri yang Ditalak
Talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan belum dicampuri disebut talak sunnah, yakni talak yang diperbolehkan. Sementara talak yang dijatuhkan saat istri haid atau ketika suci tetapi sudah dicampuri disebut talak bid‘ah—yakni talak yang diharamkan, meskipun tetap sah menurut Jumhur ulama.
Ketentuan ini berlaku bagi perempuan yang masih mengalami haid. Adapun perempuan yang memang tidak mengalami haid—seperti yang belum baligh, sedang hamil, menopause, atau istri yang meminta khulu‘ sebelum dicampuri—tidak terkena ketentuan ini.
Hikmah dari pelarangan talak saat haid adalah agar masa iddah berlangsung lebih singkat. Jika talak dijatuhkan saat haid, iddah baru dihitung dari masa suci berikutnya sehingga masa tunggu menjadi lebih panjang. Sedangkan jika talak dijatuhkan dalam keadaan suci setelah dicampuri, potensi kehamilan terbuka, dan jika ternyata hamil, maka masa mengandung hingga melahirkan menjadi masa iddahnya.
- Syarat Terkait Redaksi Talak
Lafal talak secara umum terbagi dua:
- Ungkapan sharih (jelas),
- Ungkapan kinayah (sindiran).
Lafal sharih adalah ucapan yang tidak memiliki makna lain selain talak, misalnya, “Aku talak kamu,” “Aku ceraikan kamu,” atau “Aku lepaskan kamu.” Dalam lafal ini, talak tetap jatuh meskipun suami mengaku tidak berniat cerai.
Berbeda dengan lafal kinayah, yaitu ucapan yang memiliki lebih dari satu kemungkinan makna. Karena itu, talak dengan kinayah hanya jatuh apabila disertai niat. Contohnya: “Sekarang kamu bebas,” “Kamu sudah lepas,” atau “Pulanglah ke keluargamu.”
Namun menurut Abu Hanifah, ada beberapa ucapan kinayah kuat yang tidak memerlukan niat, seperti ucapan: “Engkau sekarang jelas, bebas, lepas, dan haram bagiku, pergilah ke keluargamu.” Imam Malik sejalan dengan pendapat ini. Sedangkan Imam Ahmad menilai jatuh atau tidaknya talak dengan kinayah selalu kembali pada konteks. Imam An-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (17/104) menjelaskan perbedaan ini secara detail.
Ucapan talak juga dapat berbentuk ta‘liq (talak bersyarat), seperti: “Jika engkau masuk rumah laki-laki itu lagi, maka engkau tertalak.” Jika syaratnya benar-benar terjadi, talaknya jatuh, sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Qarib (hlm. 48).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالرَّجْعَةُ
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan rujuk.” [HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i].
Hadits di atas menjelaskan, bahwa talak dianggap sah meski diucapkan dalam kondisi bercanda atau tanpa keseriusan, selama kata-katanya memang keluar secara sengaja. Ini juga ditegaskan Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam I‘anah ath-Thalibin (4/8).
Demikian pemaparan ulang mengenai syarat dan ketentuan talak sesuai penjelasan para ulama. Semoga uraian ini dapat memberikan kejelasan bagi siapa pun yang mendalaminya.
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A



0 Comments