Siapa Saja Ahli Waris?
Assalamualaikum. Bisa bantu dijelaskan siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan warisan. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dasar Hukum Warisan dalam Islam
Pembagian warisan dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum yang jelas dan otoritatif, baik dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama.
Allah ta’ala berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 11).
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا۟ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى ٱلثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa: 12).
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 176).
Terkait kepada siapa saja warisan harta itu diberikan, juga dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أَلْحِقُوا الفَرائِضَ بأَهْلِها، فَمَا أَبْقَتِ الفَرائِضُ فَلِأَوْلى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dari dalil-dalil di atas ulama menyimpulkan sejumlah sebab seseorang mendapat warisan. Di antaranya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Husain Ar-Rahabi di dalam kitab Matnur Rahabiyah fil Mawarits menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) sebab seseorang bisa menerima harta warisan,
أَسْبَابُ مِيرَاثِ الْوَرَى ثَلَاثَةٌ كُلٌّ يُفِيدُ رَبَّهُ الْوِرَاثَةَ وَهِيَ نِكَاحٌ وَوَلَاءٌ وَنَسَبٌ مَا بَعْدَهُنَّ مِنْ مَوَارِثَ سَبَبٌ
“Sebab-sebab orang mendapat warisan ada tiga, masing-masing memberikan hak waris kepada pemiliknya. Yaitu: pernikahan, wala’ (hubungan perbudakan yang dibebaskan), dan nasab (keturunan), selain tiga itu tak ada lagi sebab untuk mewarisi.”
Uraian ini menyebutkan ada tiga sebab orang mendapatkan warisan harta, yaitu pernikahan yang sah, wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak), dan hubungan nasab.
Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitab al-Fiqhul Manhaji menyebutkan ada 4 (empat) hal yang menjadi sebab seseorang mendapatkan warisan, yaitu pernikahan yang sah, wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak), hubungan nasab dan sebab seagama. (al-Fiqh al-Manhaji, Darul Qalam, Damaskus Tahun 2013, 2/275-276).
Selanjutnya syariat Islam juga merinci siapa saja yang termasuk ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan. Dari kalangan laki-laki, terdapat 15 (lima belas orang) yang menjadi ahli waris, yaitu:
- Anak laki-laki,
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki,
- Bapak,
- Kakek dari pihak bapak
- Saudara laki-laki kandung
- Saudara laki-laki sebapak
- Saudara laki-laki seibu
- Keponakan laki-laki (Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung)
- Keponakan laki-laki (Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak)
- Paman (saudara kandung bapak)
- Paman (saudara sebapak dengan bapak)
- Sepupu (Anak laki-laki paman kandung bapak)
- Sepupu (Anak laki-laki paman sebapak bapak)
- Suami,
- Laki-laki yang memerdekakan budak.
Jika semua ahli waris laki-laki ini masih hidup, maka sebagiannya terhalang oleh sebagian yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Yang tetap mendapatkan warisan hanyalah tiga orang yakni:
- Anak laki-laki,
- Bapak, dan
- Suami
Sebagaimana disampaikan Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitab Raudhatu ath-Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn,
إِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ الْوَارِثُونَ وَرِثَ مِنْهُمُ الِابْنُ، وَالْأَبُ، وَالزَّوْجُ فَقَطْ
“Bila para ahli waris laki-laki berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi dari mereka adalah anak laki-laki, bapak, dan suami saja.” (Imam An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, Beirut, Al-Maktab Al-Islami, 1991, VI/5).
Adapun ahli waris dari kalangan wanita, ada 10 (sepuluh) orang yang berhak mendapatkan warisan, yaitu:
- Anak Perempuan
- Cucu Perempuan dari anak laki-laki
- Ibu
- Nenek (Ibunya Ibu)
- Nenek (Ibunya Ayah)
- Saudari kandung
- Saudari Seayah
- Saudari Seibu
- Istri
- Perempuan yang memerdekakan
Jika semua ahli waris perempuan masih hidup, maka sebagiannya terhalang oleh sebagian yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Yang tetap mendapatkan warisan hanyalah 5 (lima orang), yaitu:
- Anak perempuan
- Cucu perempuan dari anak laki-laki
- Ibu
- Istri
- Saudara perempuan sekandung
Hal ini berdasarkan penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitab yang sama,
وَإِذَا اجْتَمَعَ النِّسَاءُ، فَالْبِنْتُ، وَبِنْتُ الِابْنِ، وَالْأُمُّ، وَالزَّوْجَةُ، وَالْأُخْتُ لِلْأَبَوَيْنِ
“Bila para ahli waris perempuan berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri, dan saudara perempuan sekandung.”
Lantas bagaimana jika semua ahli waris baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan berkumpul semua (semuanya masih hidup), siapa yang berhak mendapatkan warisan?
Lebih lanjut Imam An-Nawawi menjelaskan,
وَإِذَا اجْتَمَعَ الصِّنْفَانِ غَيْرَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ، وَرِثَ خَمْسَةٌ: الْأَبَوَانِ، وَالِابْنُ، وَالْبِنْتُ، وَأَحَدُ الزَّوْجَيْنِ
“Dan apabila kedua belah pihak berkumpul selain salah satu dari pasangan suami istri maka yang mewarisi adalah lima orang, yaitu kedua orang tua (bapak dan ibu), anak laki-laki, anak perempuan, salah satu pasangan (suami atau istri).”
Maknanya hanya 5 (lima) orang yang berhak mendapatkan warisan, karena yang lain (mahjub) terhalang menerima warisan. Kelima orang tersebut adalah:
- Anak Laki-Laki
- Anak Perempuan
- Ibu
- Bapak
- Suami/Istri
Demikian uraian seputar siapa saja ahli waris yang berhak menerima warisan, semoga pertanyaannya terjawab dengan jelas.
Wallahu wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments