Panduan Lengkap Zakat Fitrah
- Definisi
Dari segi bahasa, Zakat memiliki beberapa makna, di antaranya Al-Barakah (Keberkahan), An-Nama’ (Pertumbuhan), Ath-Thaharah (Kesucian), As-shalah (Baik), dan Shafwatu asy-Syai’i (Kejernihan). (Al-Mu’jam al-Wasith, Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Cetakan ke 4, Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyyah, 396).
Adapun Fitrah dalam literasi fikih disebut sebagai Fithri yang berasal dari kata Ifthar, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat Fitrah disandarkan pada kata Fithri karena Fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 2/8278). Meski umumnya para ulama menyebutnya dengan Zakat Fithri, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya dengan sebutan “Fitrah”, yang berarti fitrah penciptaan. Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai Zakat Fithri juga disebut dengan “Fitrah.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 7/134;).
Imam Al-Mawardi rahimahullahu juga menyatakan bahwa Zakat Fithri sama dengan Zakat Fitrah,
اعلم أنه يقال زكاة الفطر وزكاة الفطرة, فمن قال زكاة الفطر أوجبها بدخول ومن قال زكاة الطرة فأوجبها على الفطرة والفطرة الخلقة. قال الله تعلى: فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا
الروم: (30)
“Ketauhilah bahwa sebagian ulama menyebutnya Zakat Fithri dan sebagian lain menyebutnya Zakat Fitrah. Yang menyebutnya dengan Zakat Fithri karena zakat tersebut diwajibkan dengan berbukanya kita (tidak lagi berpuasa). Sementara yang menyebutnya dengan Zakat Fitrah karena zakat tersebut diwajibkan kepada setiap fitrah (penciptaan manusia), sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surah Ar-Rum, ayat 30, “[Dan (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu].” (Al-Hawi al-Kabir, Imam Al-Mawardi: DKI 3/348).
- Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah hukumnya wajib berdasarkan Ijma’ (konsensus) ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2037; Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 1/469; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/134-135; Al-Hawi al-Kabir, Imam Al-Mawardi: DKI 3/348, Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 3/7; Al-Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 2/685).
Ijma’ (konsensus) ulama ini juga dinukil Imam An-Nawawi dari Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4/159) dan dari Imam Ibnu Mundzir dalam Al-Asyraf. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/135).
- Dalil Kewajiban Zakat Fitrah
Antara dalil kewajiban zakat fitrah adalah keumuman ayat tentang kewajiban zakat, Allah ta’ala berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” [QS. Al-Baqarah: 43]
Selain itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan tentang kewajiban Zakat Fitrah dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiayallahu ‘anhuma,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: “أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أوْ أنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ”
“Diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan Zakat Fitri dari bulan Ramadan atas manusia satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum bagi setiap umat muslim yang merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan.” [HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi].
Hal ini juga dinyatakan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: “فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ”
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih (penyucian diri) untuk orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan keji, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” [HR. Abu Daud].
- Yang Wajib Membayar Zakat Fitrah
Syaikh Sayyid Sabiq (1915-2000) dalam kitabnya Fiqh Sunnah (1/470) dan Syaikh Wahbah Az-Zuhaily (1932-2015) dalam al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu (3/2038-2039) menjelaskan bahwa Jumhur (mayoritas) ulama menegaskan bahwa Zakat Fitrah diwajibkan kepada:
- Setiap muslim/muslimah.
- Merdeka atau hamba sahaya.
- Anak-anak dan dewasa.
- Memiliki kelebihan makanan pada malam dan siang hari Idul Fitri, baik untuk dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti ayah dan ibunya yang fakir, istri, anak-anak, dan asisten rumah tangga yang membantu urusan keluarganya dan ditanggung keperluan mereka oleh majikannya.
- Bentuk dan Kadar Zakat Fitrah
- Bentuk Zakat Fitrah
Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa bentuk Zakat Fitrah adalah berupa makanan pokok suatu negeri seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Pendapat ini disandarkan pada hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan Zakat Fitrah bulan Ramadan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi).
Berbeda dengan pendapat Jumhur ulama, Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah berupa nilai atau uang. (Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 1/471; Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2044; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/181).
Imam Abu Hanifah rahimahullahu berkata,
وقال أبو حنيفة يجوز وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري
Abu Hanifah berkata, “Boleh membayar zakat fitrah berupa nilai, hal ini seperti yang disampaikan oleh Ibnu Al-Mundzir dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats-Tsauri.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/181).
Antara dalil yang menjadi sandaran pendapat Abu Hanifah ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam soal zakat fitrah,
أغنوهم عن المسألة في هذا اليوم
“Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini.” [HR. Ad-Daruquthni].
Maka esensi Zakat Fitrah menurut pandangan Abu Hanifah adalah bagaimana memastikan tidak ada orang yang kelaparan pada hari raya Idul Fitri karena tidak bisa makan lantaran miskin. Dan hal tersebut bisa dilakukan tidak semata-mata dengan makanan, tapi juga bisa dengan nilai atau uang.
Hadits di atas juga dianggap senada dengan keumuman perintah Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengeluarkan zakat dari harta yang dimiliki, dan uang termasuk dalam kategori harta tersebut,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Selain itu, Ulama Hanafiyah juga bersandar pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [QS. Ali Imran: 92].
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta yang paling dicintai pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa makanan, sementara harta yang paling dicintai pada masa sekarang adalah uang. Oleh karena itu, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.
Kebolehan membayar zakat Fitrah dengan nilai atau uang juga ditegaskan oleh Imam Al-Sarakhshi rahimahullahu, salah seorang ulama pemuka mazhab Hanafi dalam kitabnya al-Mabsuth, beliau berkata,
فإن أعطى قيمة الحنطة جاز عندنا، لأن المعتبر حصول الغني وذلك يحصل بالقيمة كما يحصل بالحنطة
“Andaikan seseorang (dalam menunaikan zakat fitrahnya) dengan menyerahkan uang senilai harga gandum, maka hukumnya boleh menurut kami karena sungguh yang menjadi pertimbangan adalah terciptanya kehidupan yang layak. Tujuan tersebut dapat terwujud dengan penyaluran uang sebagaimana juga dapat terwujud dengan menyerahkan gandum.” (Al-Mabsuth, Imam Al-Sarakhshi, Beirut, Darul Fikr, 3/99).
Imam Al-Sarakhshi mengutip pandangan Abu Ja’far rahimahullahu,
وكان الفقيه أبو جعفر رحمه الله تعالى يقول: أداء القيمة أفضل، لأنه أقرب إلى منفعة الفقير، فإنه يشتري به ما يحتاج إليه
“Pembayaran zakat fitrah dengan uang adalah pembayaran yang paling baik karena uang paling efektif untuk memberi manfaat kepada faqir. Pasalnya, uang dapat dipakai untuk membeli berbagai barang yang dibutuhkannya.” (Al-Mabsuth, Imam Al-Sarakhshi, Beirut, Darul Fikr, 3/99-100).
2. Ukuran Zakat Fitrah
Jumhur (Mayoritas) Ulama menyatakan bahwa kadar Zakat Fitrah adalah satu Sha’, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas. Tidak sah zakat Fitrah apabila kurang dari satu Sha’. Ini adalah pandangan Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad serta kebanyakan ulama, seperti uraian Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/178).
Meski mayoritas ulama menyatakan bahwa kadar zakat fitrah adalah satu Sha’ namun mereka berbeda pendapat dalam memahami dan menghitung satu Sha’.
Pendapat Pertama, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyatakan bahwa satu Sha’ adalah delapan Rithl Irak. Delapan Rithl Irak dikonversi dengan kilogram sama dengan 3,8 kilogram. Dengan begitu, kadar Zakat Fitrah menurut pandangan ini adalah 3,8 kilogram. Mereka beralasan bahwa Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu mengkonversi satu Sha’ dengan delapan Rithl. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2044; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/180).
Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ رِطْلَيْنِ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ ثَمَانِيَةَ أَرْطَالٍ
“Nabi shallallahu ala’ihi wasallam berwudhu dengan satu mud (air), yaitu dua rithl, dan mandi dengan satu sha’, yaitu delapan rithl.” [HR. Ibnu Addy].
Juga hadist senada riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ بالمد رطلين ، ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال
“Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam berwudhu dengan satu mud (air), yaitu dua rithl, dan mandi dengan satu sha’, yaitu delapan rithl.” [HR. Ad-Darquthni].
Hadits di atas secara tegas menerangkan bahwa satu Sha’ adalah delapan Rithl Irak. Oleh sebab itu, hadits tersebut menjadi dalil yang kuat atas pendapat Ulama Hanafi.
Pendapat Kedua, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa satu Sha’ setara dengan lima sepertiga Rithl Irak. Lima sepertiga Rithl Irak setara dengan 2176 gram atau 2,2 kilogram. Dengan demikian, kadar Zakat Fitrah menurut pendapat kedua adalah 2,2 Kg. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2045; Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/180).
Antara hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa ukuran tersebut merupakan ukuran Sha’ penduduk Madinah. Dan tentu masyarakat Madinah mendapatkan ukuran tersebut dari para leluhurnya yang berinteraksi langsung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyebutkan,
عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ سُلَيْمَانَ الرَّازِيْ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسَ: أَبَا عَبْدَ اللهِ كَمْ قَدْرُ صَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ
Dari Ishaq bin Sulaiman Al-Razi, ia berkata, Saya bertanya kepada Imam Malik bin Anas, “Hai bapak dari Abdullah, berapakah kadar Sha’-nya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam? Beliau menjawab, Lima sepertiga Rithl Irak. (Zakat al-Fithri wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah, Muhammad Abdul Fattah al-Banhawi, 34-35).
Terkait hal ini, penting untuk disampaikan bahwa Sha’ merupakan ukuran takaran, bukan timbangan (berat sesuatu). Oleh karena itu, maka ukurannya memang sulit dikonversi dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu Sha’ itu berbeda-beda, tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu Sha’ gandum atau kurma memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu Sha’ beras. Karenanya, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, para ulama menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,5 sampai 3,0 Kg. (Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani, 4/184).
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terbaru tertanggal 22 Oktober 2022 berkaitan kadar Zakat Fitrah melalui fatwa MUI No. 65 Tahun 2022, tentang Hukum Masalah-masalah Terkait Zakat Fitrah. Dalam fatwa tersebut, setelah mempertimbangkan dalil-dalil Al-Quran, As-Sunnah, fatwa dan pandangan para fuqaha maka MUI menyatakan bahwa kadar zakat fitrah adalah 1 sha’ yang jika dikonversi ke beras menjadi 2,7 kg atau 3,5 liter.
- Kapan Seseorang Diwajibkan Mengeluarkan Zakat Fitrah?
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan Zakat Fitrah bulan Ramadan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. Beliau memerintahkan kami mengeluarkan zakat tersebut sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘Id.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadits di atas, ulama sepakat bahwa seseorang diwajibkan mengeluarkan Zakat Fitrah pada akhir bulan Ramadan, namun mereka berbeda pendapat kapan waktunya secara definitif. (Fiqh Sunnah, Sayyid As-Sabiq, Darul Fath Lil I’lam al-‘Arabiy 1/471-472).
Pertama, waktu wajibnya dimulai dengan terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadan, yakni malam Idul Fitri. Ini adalah pendapat Jumhur (Mayoritas) Ulama, di antaranya Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Malik.
Kedua, waktu wajibnya adalah saat terbit fajar hari Idul Fitri. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Al-Laits, Qaul Qadim Asy-Syafi’i, dan riwayat kedua Malik.
Seseorang diwajibkan membayar Zakat Fitrah apabila bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fitri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar Zakat Fitrah. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy-Syafi’i. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, 7/58).
Dengan demikian, apabila seseorang meninggal dunia setelah terbenam matahari di hari terakhir Ramadan, yakni malam Idul Fitri, maka wajib baginya Zakat Fitrah. Namun jika dia meninggal beberapa saat sebelum terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri, maka dia tidak punya kewajiban Zakat Fitrah. Termasuk bayi yang baru lahir setelah terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadan, juga tidak wajib dikeluarkan Zakat Fitrahnya, tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang mengeluarkan Zakat Fitrah untuk janin. Berbeda halnya jika bayi tersebut terlahir sebelum terbenam matahari akhir Ramadan, maka wajib baginya dikeluarkan Zakat Fitrahnya. (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2042).
- Hukum Membayar Zakat Fitrah Sebelum Idul Fitri
Seluruh ulama bersepakat (Ijma’) bahwa waktu yang paling afdal mengeluarkan Zakat Fitrah adalah saat terbit fajar 1 Syawwal hingga sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Lantas bolehkah zakat fitrah dikeluarkan sebelum Idul Fitri? Terkait hal ini ulama berbeda pendapat terkait kebolehan dan berapa hari sebelum Idul Fitri Zakat Fitrah boleh dikeluarkan.
Madzhab Syafi’i: Zakat Fitrah boleh dikeluarkan sejak awal Ramadan. (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 7/153-156).
Madzhab Maliki dan Hanbali: Zakat Fitrah boleh dikeluarkan 1 atau 2 hari sebelum Idul Fitri. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 3/23-24).
Madzhab Hanafi: Zakat fitrah boleh dikeluarkan sebelum bulan Ramadan, bahkan boleh dikeluarkan satu atau dua tahun sebelumnya. (Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, Imam ‘Alauddin Al-Kasani, 2/74).
- Penerima Zakat Fitrah
Para ulama sepakat bahwa Zakat Fitrah disalurkan pada 8 Asnaf (golongan) sebagaimana zakat pada umumnya berdasarkan surat At-Taubah ayat 60. Oleh sebab itu, Zakat Fitrah tidak boleh diberikan kepada mereka yang tidak berhak menerima Zakat Mal (Zakat Harta). Maka menurut Jumhur ulama, yaitu Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, non muslim tidak boleh menerima zakat. Adapun ulama Madzhab Hanafi berpandangan zakat fitrah itu Jaiz ma’al Karahah (boleh diberikan dengan kemakruhan) kepada Kafir Dzimmi (Non muslim yang tinggal di Negeri Muslim dan memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslimin). (Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2048).
Pendapat Abu Hanifah yang membolehkan Zakat Fitrah diberikan kepada Kafir Dzimmi juga merupakan pendapat Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Hasan, dan Ibnu Syubrumah. Pendapat ini bersandar pada firman Allah ta’ala,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [QS. Al-Mumtahanah: 8].
- Hukum Lupa Membayar Zakat Fitrah
Waktu terakhir mengeluarkan Zakat Fitrah selambat-lambatnya sebelum pelaksanaan shalat Id, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat ‘Id,
أن النبي صلى الله عليه وسلم ” أمر بزكاة الفطر أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة” رواه البخاري ومسلم
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar ke lapangan terbuka untuk mendirikan shalat Id.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Namun jika seseorang belum membayar zakat fitrahnya sehingga selesai shalat Id karena lupa atau tidak sengaja, maka kewajiban tersebut tidak gugur. Ia wajib segera menunaikannya ketika mengingatnya, dan zakat fitrahnya sah sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَات
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah biasa.” [HR. Abu Daud dan Ibnu Majah].
Ini adalah pendapat ulama empat mazhab sebagaimana diuraikan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2041-2043.
Adapun jika seseorang menundanya dengan sengaja tanpa uzur syar’i, maka dia berdosa atas penundaan tersebut yang melewati batas waktu mengeluarkannya. Di samping itu dia tetap wajib mengeluarkan zakat fitrahnya meskipun ditunda dengan sengaja. Karena zakat fitrah adalah Qurbah Maaliyah (Ibadah yang berkaitan dengan harta) maka kewajibannya tidak gugur kecuali dengan menunaikannya sebagaimana pendapat Jumhur ulama. (Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 3/2041-2043).
Begitu pula yang menundanya dengan sengaja sehingga terbenam matahari pada hari raya Idul Fitri, di samping berdosa pelakunya wajib mengqadha (mengganti) zakat fitrah tersebut. Hal ini seperti yang diuraikan oleh Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj,
فَمَنْ أَخَّرَهَا عَنْهُ أَثِمَ وَقَضَى وُجُوبًا فَوْرًا إنْ أَخَّرَهَا بِلَا عُذْرٍ خِلَافًا لِلزَّرْكَشِيِّ كَالْأَذْرَعِيِّ حَيْثُ اعْتَمَدَا وُجُوبَ الْفَوْرِيَّةِ مُطْلَقًا نَظَرًا إلَى تَعَلُّقِ حَقِّ الْآدَمِيِّ
“Siapa saja yang menunda pembayaran zakat fitrah hingga hari Id selesai, maka ia berdosa dan wajib menunaikannya segera bila ia menundanya tanpa uzur. Lain halnya dengan Imam Zarkasyi yang berpandangan serupa Al-Adzra’i di mana keduanya mewajibkan qadha zakat fitrah segera secara mutlak (karena uzur atau tanpa uzur) dengan memandang pada kaitan zakat fitrah dan hak adami.” (Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Beirut, DKI, 3/111-112).
Imam An-Nawawi juga menjelaskan hal serupa dalam Al-Majmu’,
فإن أخرها حتى اليوم أثم وعليه القضاء؛ لأنه حق مالي وجب عليه، وتمكن من أدائه، فلا يسقط عنه بفوات الوقت
“Jika ada orang mengakhirkan pembayaran zakat fitrah sampai keluar batas waktu hari itu, maka dia berdosa dan wajib qadha’. Karena zakat fitrah adalah hak harta yang menjadi kewajibannya, dan memungkinkan untuk dia tunaikan. Karena itu, tidak gugur dengan keterlambatan waktu.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: DKI 7/154).
Kesimpulannya, apabila seseorang secara tidak sengaja belum membayar zakat fitrah atau lupa sehingga shalat Id selesai, maka tidak ada konsekuensi apapun baginya selain segera mengeluarkan zakat fitrah saat mengingatnya, dan zakat tersebut sah.
Wallahu A’la wa A’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments