Musibah itu Ujian atau Azab?

Assalamu’alaikum. Saat tertimpa musibah, apa yang sebaiknya kita lakukan. Bagaimana membedakan musibah yang menimpa itu adalah ujian atau azab dari Allah ta’ala. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Musibah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Setiap insan, baik mukmin maupun kafir, saleh maupun fasik, pasti akan diuji oleh Allah ta’ala dengan berbagai bentuk ujian: kehilangan, sakit, bencana alam, tekanan ekonomi, konflik sosial, dan musibah lainnya. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya menjelaskan mengapa musibah terjadi, tetapi juga bagaimana seorang Muslim harus bersikap, bertindak, dan mengambil hukum (fiqih) ketika berada dalam kondisi musibah.
Secara bahasa, kata musibah (المصيبة) berasal dari kata ashāba (أصاب) yang berarti sesuatu yang menimpa dengan tepat. Dalam konteks syariat, musibah adalah segala sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia, baik pada jasad, harta, jiwa, maupun lingkungan.
Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya.” [QS. Al-Hadid: 22].
Ayat ini menegaskan bahwa musibah bukan kebetulan, bukan pula murni sebab alam semata, tetapi berada dalam takdir dan ilmu Allah.
Islam menempatkan musibah dalam kerangka iman kepada qadha dan qadar. Tidak ada musibah yang keluar dari kehendak Allah ta’ala, sebagaimana firmanNya,
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا
“Katakanlah, tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagi kami.” [QS. At-Taubah: 51].
Para ulama menjelaskan bahwa musibah memiliki hikmah yang beragam, di antaranya:
- Ujian keimanan
- Penghapus dosa
- Peninggian derajat
- Teguran atas kelalaian
- Sarana kembali kepada Allah (taubat)
Allah ta’ala menegaskan bahwa ujian adalah keniscayaan hidup,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” [QS. Al-Baqarah: 155].
Ayat ini menunjukkan bahwa musibah memiliki spektrum luas, dari bencana besar hingga kesulitan ekonomi dan rasa takut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh setelahnya.” [HR. At-Tirmidzi].
Hadits ini menjadi dalil bahwa beratnya musibah bukan indikator kebencian Allah, bahkan seringkali justru bukti kecintaanNya.
Salah satu aspek penting dalam fiqih musibah adalah pemahaman bahwa musibah memiliki nilai kaffarah (penghapus dosa). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapus dosa-dosanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan sabar dan luasnya rahmat Allah terhadap hambaNya.
Musibah itu Ujian atau Azab?
Salah satu pertanyaan fiqih dan akidah yang sering muncul adalah Apakah musibah itu azab atau ujian?
Jawabannya adalah tergantung kondisi orang yang tertimpa musibah. Musibah itu bisa menjadi ujian dan sarana rabbani untuk mengangkat derajat hamba, dan bisa pula menjadi azab dan hukuman atas dosa-dosanya. Allah ta’ala berfirman,
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Rum: 41].
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Musibah yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahan).” [QS. Asy-Syura: 30].
Imam at-Thabari menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
وَمَا يُصِيْبُكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الدُّنْيَا فِي أَنْفُسِكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ (فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ) يَقُوْلُ: فَإِنَّمَا يُصِيْبُكُمْ ذلِكّ عُقُوْبَةً مِنَ اللهِ لَكُمْ بِمَا اجْتَرَمْتُمْ مِنَ الْآثَامِ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ وَيَعْفُوْ لَكُمْ رَبُّكُمْ عَنْ كَثِيْرٍ مِنْ إِجْرَامِكُمْ، فَلَا يُعَاقِبُكُمْ بِهَا
“Bencana dan musibah yang menimpa kalian di dunia wahai manusia, pada diri, keluarga dan harta kalian tiada lain adalah azab dari Allah kepada kalian yang disebabkan dosa-dosa yang kalian lakukan kepada sesama kalian dan dosa yang kalian perbuat kepada Allah. Dan Allah mengampuni banyak dosa kalian yang lain sehingga tidak menurunkan azab (yang lain) kepada kalian.”
Meski begitu ayat ini tidak menafikan bahwa musibah juga bisa menjadi kenaikan derajat bagi orang saleh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” [HR. al-Bukhari].
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan dan kedudukan yang tinggi bagi seorang hamba, maka Allah akan menjaganya dari musibah dalam urusan agama, namun menimpakan kepadanya berbagai musibah dunia. Musibah agama adalah musibah yang merusak iman dan ketaatan, seperti meninggalkan shalat lima waktu, terjerumus dalam perjudian, perzinaan, pencurian, serta berbagai bentuk maksiat lainnya. Inilah jenis musibah yang paling berbahaya, karena dampaknya tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Adapun musibah dunia memiliki banyak bentuk dan ragam. Di antaranya adalah kemiskinan, sakit, kehilangan orang yang dicintai, diuji dengan perlakuan buruk dari manusia, kesempitan hidup, dan berbagai cobaan lainnya. Meski terasa berat, musibah dunia tidak merusak agama seseorang, bahkan sering kali justru menjadi sebab bertambahnya keimanan, kesabaran, dan kedekatan seorang hamba kepada Allah.
Semakin tinggi tingkat ketaatan seseorang dan semakin banyak kebaikan yang ia lakukan, maka semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Hal ini bukan tanda kebencian, melainkan bukti perhatian dan pemuliaan dari Allah Ta‘ala. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, manusia yang paling taat kepada Allah adalah para nabi. Karena itu, ujian dan musibah yang menimpa mereka pun jauh lebih berat dan lebih banyak dibandingkan manusia pada umumnya, sesuai dengan kedudukan dan kemuliaan mereka di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui musibah yang besar pula. Apabila Allah ta’ala mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah meridhainya. Dan barangsiapa yang tidak ridha maka Allah murka kepadanya”. [HR. at-Tirmidzi].
Dengan demikian, musibah dunia sejatinya adalah sarana penyucian, penguat iman, serta jalan menuju derajat yang lebih tinggi di akhirat, selama seorang hamba mampu menjalaninya dengan sabar dan ridha.
Sikap Dasar Seorang Muslim Saat Musibah
Allah ta’ala berfirman dalam Al-Quran,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) mereka yang apabila ditimpa musibah berkata: Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” [QS. Al-Baqarah: 155–156].
Juga firmanNya,
أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. Al-Baqarah: 157].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.” [HR. Muslim, Ahmad, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban].
Bahkan besarnya pahala orang mukmin yang bersabar terhadap musibah yang menimpanya di dunia kelak akan dicemburui oleh orang-orang yang tidak pernah tertimpa musibah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ الْبَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالْمَقَارِيضِ
“Pada hari kiamat, orang-orang yang hidup dalam afiat (tanpa ujian) akan berharap, ketika melihat pahala ahli musibah, seandainya kulit mereka digunting dengan gunting di dunia.” [HR. At-Tirmidzi].
Hadits ini menggambarkan betapa luar biasanya ganjaran ahli musibah di akhirat, sampai-sampai orang lain menyesal tidak mengalaminya.
Untuk itu agar musibah benar-benar berbuah pahala besar di akhirat, Islam menekankan beberapa sikap utama yaitu:
- Sabar (menahan diri dari keluh kesah yang tercela).
- Ridha (menerima ketetapan Allah dengan lapang dada).
- Husnuzan (berbaik sangka kepada Allah).
- Kembali kepada Allah dengan doa dan taubat.
Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A



0 Comments