Halal-Haram Nyanyian dan Musik (Bagian 3)

  • Dalil Pendapat Ulama yang memperbolehkan Nyanyian dan Musik, baik dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’, adalah sebagai berikut:

 

  1. 1. Dalil-Dalil Dari Al-Quran

 

Pertama, Surat Al-Baqarah ayat 29:

 

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Allah, yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 29)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh yang ada di bumi ini Allah ta’ala ciptakan untuk manusia, adalah hal yang tidak relevan dan kontradiksi, jika Allah Ta’ala menciptakan seluruh yang di muka bumi ini untuk manusia di satu sisi, tapi di sisi lain Dia haramkan kebanyakannya bagi manusia pula. Maha Suci Allah dari hal yang seperti itu. Sehingga ayat ini menegaskan bahwa antara halal dan haram lebih banyak yang halal, antara suci dan najis lebih banyak yang suci. Bagi mereka, keindahan yang bisa dirasakan, dilihat, dan dinikmati, termasuk nyanyian dan musik adalah hal-hal yang mubah yang mencakup kalimat, “…. Dialah Allah, yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu..”

 

Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menjelaskan,

 

قال ابن كيسان: خلق لكم أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر.

 

Berkata Ibnu Kaisan: menciptakan untuk kalian yaitu (Allah menciptakan) karena kalian, dalam ayat ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang berupa makhluk ciptaan adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada bedanya antara hewan dan selainnya, yang termasuk apa-apa yang bermanfaat dan tidak membawa kerusakan. (Fathul Qadir, 1/71-72).

 

Kelompok kedua menyatakan tidak ada dalil yang secara tegas dan jelas mengharamkan musik, khususnya Al-Quran. Adapun dalam As-Sunnah ada beberapa hadits yang shahih tapi tidak sharih (jelas), ada yang sharih tapi tidak shahih. Sehingga Imam Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullahu mengatakan tak ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang pengharaman lagu dan musik. (Ahkamul Quran, 3/1053).

 

Tidak ada yang diharamkan kecuali oleh nash yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) dalam kitab Allah ta’ala dan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika tidak ada dalam keduanya, tidak ada dalam ijma’, atau yang ada hanya nash yang shahih tapi tidak sharih, atau sharih tapi tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan Allah Ta’ala yang luas dan lapang. Jika memang musik haram, tidak mungkin Allah Ta’ala tidak menjelaskannya secara terang dalam kitabNya, dan mustahil pula Allah Ta’ala lupa menerangkannya. Sebab Allah Ta’ala sudah berfirman,

 

 ….وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ….

 

…. Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu …. (QS. Al-An’am: 119).

 

Dan, kenyataannya menurut kelompok ini, kita tidak temukan satu pun ayat yang lugas tentang pengharamannya, maka tetaplah musik termasuk dalam kategori yang didiamkanNya dan dimaafkanNya. Jika begini keadaannya maka berlaku hukum asal bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah. Para ulama menegaskan bahwa menetapkan keharaman membutuhkan kelugasan dan keshahihan dari nash tanpa keraguan dan syubhat. Ada pun dalam menetapkan kebolehan, sudah cukup dengan ketiadaan dalil pengharaman, dan bebas dari dharar (kerusakan), tanpa harus adanya kata-kata ‘halal’ dan ‘mubah’. Ketiadaan dalil larangan atas sesuatu, sudah cukup kebolehan sesuatu itu.

 

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

 

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ath-Thabarani].

 

Oleh karena itu, Imam Al-Fakihani rahimahullahu mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syaukani,

 

لَمْ أَعْلَمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي السُّنَّةِ حَدِيثًا صَحِيحًا صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْمَلَاهِي

 

“Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan As-Sunnah hadits yang shahih dan lugas tentang pengharaman musik.” (Nailul Authar, 8/117)

 

Kedua, Surat Al-A’raf ayat 147:

 

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ.

 

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-A’raf: 157)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath-Thayyibat (segala yang baik) adalah meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath-Thayyibat menurut mayoritas ulama biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir (suci) dan halal.

 

Imam Asy-Syaukani mengatakan, makna Ath-Thayyibat adalah المستلذات – Al-Mustalladzdzaat (hal-hal yang bisa dinikmati). (Fathul Qadir, 2/287). Al-Qadhi Abu Muhammad rahimahullahu juga mengatakan Ath-Thayyibat adalah hal-hal yang bisa dinikmati. (Tafsir Ibnu ‘Athiyah, 2/228). Imam Abul Qasim Al-Kalbi mengatakan bahwa dalam madzhab Imam Syafi’i, Ath-Thayyibat adalah Al-Mustalladzdzaat. (At-Tas-hil Li ‘Ulumit Tanzil, 1/309).

 

Imam Ar-Radzi rahimahullahu menjelaskan tentang ayat-ayat semisal ini,

 

ونص في هذه الآيات الكثيرة على إباحة المستلذات والطيبات فصار هذا أصلا كبيرا

 

Nash pada ayat-ayat yang banyak ini menunjukkan kebolehan hal-hal yang bisa dinikmati dan baik-baik, dan ini menjadi hal pokok yang besar. (Mafatih Al-Ghaib, 11/290).

 

Menurut kelompok kedua ini musik termasuk hal-hal yang bisa dinikmati, sehingga dia termasuk keumuman makna Ath-Thayyibat yang Allah Ta’ala halalkan. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

 

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

 

“Mereka bertanya kepadamu: “Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik (Ath-Thayyibat).” [QS. Al-Maidah: 4].

 

Justru Allah Ta’ala mengecam sikap melampaui batas, yaitu mengharamkan Ath-Thayyibat, sebagaimana firmanNya,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al-Maidah: 87].

 

Ketiga, Surat Al-Jumu’ah ayat 11.

 

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

 

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik pemberi rezeki.” [QS. Al-Jumu’ah: 11].

 

Sebab turunnya ayat ini, adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Ahmad dan lainnya dengan riwayat yang saling melengkapi bahwa ketika datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang Islam (saat itu sedang mendengarkan Nabi khutbah), mereka tiba dengan membawa barang-barang dagangan, maka serta merta kaum muslimin menyambutnya dengan nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan kafilah tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar barang dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak.

 

Karena itu, mereka berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan sampai-sampai yang tersisa dari jam’ah Shalat Jum’at hanya dua belas orang saja.

 

Lihatlah ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebut permainan dan perniagaan dalam satu susunan kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan tidak? Padahal keduanya saat itu telah memalingkan mereka dari Shalat Jum’at. Jadi, sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya secara zat atau perbuatan, melainkan jika sudah membawa efek ‘melalaikannya’ itu, dan tentunya tidak semua orang seperti itu, dengan kata lain tergantung orangnya masing-masing. Dalam kisah di atas pun tidak semua sahabat Nabi berpaling, masih ada dua belas orang yang mendengarkan khutbah Nabi. Maka, kenyataan ini jelas bahwa masing-masing orang berbeda keadaannya; ada yang bisa melalaikan ada pula yang tidak.

 

Kemudian, bagian ayat pada Surat Jumu’ah di atas, yang berbunyi: Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan” merupakan kalimat yang berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya dengan pengharaman atas permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu menegaskan bahwa pada sisi Allah Ta’ala yakni menunaikan Shalat Jum’at adalah lebih baik dari pada permainan dan perdagangan.

 

Keempat, Surat Muhammad ayat 36,

 

إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ

 

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” [QS. Muhammad: 36].

 

Juga ayat lainnya,

 

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ….

 

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, ….” [QS. Al-Hadid: 20].

 

Bagi pihak yang membolehkan, ayat ini merupakan dalil kebolehan musik. Pihak yang mengharamkan menganggap musik adalah sesuatu yang melalaikan, sebagaimana permainan lainnya. Namun ayat ini menyanggah pemahaman tersebut, sesungguhnya tidaklah suatu permainan dan senda gurau itu lantas secara otomatis menjadi sesuatu yang haram. Sebab, jika memang musik haram karena dia permainan yang melalaikan, maka bukan hanya musik, melainkan dunia seluruh dan isinya juga haram, sebab dunia adalah permainan dan senda gurau yang melalaikan. Oleh karena itu, bagi kelompok yang membolehkan, musik tidak bisa dipukul rata haram atau mubah, dia bisa haram atau mubah tergantung keadaannya.

 

Kelima, Surat Luqman ayat 6,

 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

 

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [QS. Luqman: 6].

 

Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, ayat ini — khususnya kalimat lahwul hadits (perkataan tak berguna) — ditafsirkan oleh para sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, ‘Ikrimah, dan sebagainya adalah nyanyian. Sementara dalam Tafsir As-Sam’ani –mengutip dari kitab Al-Akhbar Al-Musnadah — disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang menjelaskan bahwa itu adalah alat musik dan wanita penyanyi (Lihat Tafsir As-Sam’ani, 4/226), tetapi riwayat ini tidak memiliki sanad sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan keautentikannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak bisa dijadikan hujjah.

 

Perlu diketahui, tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, musik, bukanlah satu-satunya tafsiran yang bersifat final. Imam Asy-Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya mengatakan bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan Al-Bashri menafsiri makna lahwul hadits adalah ma’azif (alat-alat musik) dan ghina’ (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya, bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr (kekafiran) dan syirk (kesyirikan).

 

Kalimat, “Li yudhilla (untuk menyesatkan (manusia) ….” menunjukkan bahwa huruf lam pada kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang menunjukkan sebab – ‘illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.

 

Jadi, sebenarnya, perilaku apa saja — bukan hanya nyanyian dan musik — jika bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, jelas perbuatan tersebut adalah haram. Mafhum mukhalafah (pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia, maka tidak mengapa.

 

Imam Ibnu Jarir At-Thabari menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna ….” maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan bunyi ayat selanjutnya:

 

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

 

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” [QS. Luqman: 7].

 

Manusia yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim dan bukan seorang muslim. Memang, sebagian ada yang membantah itu, menurut mereka ini juga berlaku untuk orang Islam. Dan lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk kelalaian. (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, 1/41, tafsir Surat Luqman).

 

Imam Ibnul ‘Athiyah rahimahullahu menyebutkan,

 

والذي يترجح أن الآية نزلت في لهو حديث منضاف إلى كفر فلذلك اشتدت ألفاظ الآية بقوله: لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً، والتوعد بالعذاب المهين

 

“Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” dan disertai ancaman siksaan yang amat hina.” (Imam Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar Al-Wajiz, 4/346).

 

Pemahaman ini juga dikuatkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi rahimahullahu dalam Mafatihul Ghaib,

 

بَيَّنَ مِنْ حَالِ الْكُفَّارِ أَنَّهُمْ يَتْرُكُونَ ذَلِكَ وَيَشْتَغِلُونَ بِغَيْرِه

 

“Bahwa Allah Ta’ala sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al-Quran dan sibuk dengan selainnya.” (Mafatihul Ghaib, 25/115).

 

Imam Ibnu Hazm telah menyanggah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, dan sanggahan ini sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok yang membolehkan lagu dan musik. Bantahan ini sebenarnya telah diketahui dan sudah dikoreksi pula oleh para ulama yang mengharamkannya, tetapi nampaknya pandangan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Rahimahullah sangat kokoh sehingga bantahan-bantahan untuknya masih bisa didiskusikan lagi.

 

Imam Ibnu Hazm rahimahullahu menolak tafsiran lahwul hadits adalah nyanyian dan musik, dengan perkataannya dan ini merupakan sanggahan yang sangat bagus darinya,

لَا حُجَّةَ فِي هَذَا كُلِّهِ لِوُجُوهٍ

أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ دُونَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ خَالَفَ غَيْرَهُمْ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

وَالثَّالِثُ: أَنَّ نَصَّ الْآيَةِ يُبْطِلُ احْتِجَاجَهُمْ بِهَا؛ لِأَنَّ فِيهَا {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان: 6] وَهَذِهِ صِفَةٌ مَنْ فَعَلَهَا كَانَ كَافِرًا، بِلَا خِلَافٍ، إذَا اتَّخَذَ سَبِيلَ اللَّهِ تَعَالَى هُزُوًا.

وَلَوْ أَنَّ امْرَأً اشْتَرَى مُصْحَفًا لِيُضِلَّ بِهِ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَتَّخِذُهَا هُزُوًا لَكَانَ كَافِرًا، فَهَذَا هُوَ الَّذِي ذَمَّ اللَّهُ تَعَالَى، وَمَا ذَمَّ قَطُّ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ اشْتَرَى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيَلْتَهِيَ بِهِ وَيُرَوِّحَ نَفْسَهُ، لَا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَبَطَلَ تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِ كُلِّ مَنْ ذَكَرْنَا

وَكَذَلِكَ مَنْ اشْتَغَلَ عَامِدًا عَنْ الصَّلَاةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِقِرَاءَةِ السُّنَنِ، أَوْ بِحَدِيثٍ يَتَحَدَّثُ بِهِ، أَوْ يَنْظُرُ فِي مَالِهِ، أَوْ بِغِنَاءٍ، أَوْ بِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ فَاسِقٌ، عَاصٍ لِلَّهِ تَعَالَى، وَمَنْ لَمْ يُضَيِّعْ شَيْئًا مِنْ الْفَرَائِضِ اشْتِغَالًا بِمَا ذَكَرْنَا فَهُوَ مُحْسِنٌ

Semua perkataan mereka tidak bisa dijadikan hujjah, karena beberapa alasan:

 

Pertama, perkataan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Kedua, para sahabat dan tabi’in sendiri berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.

 

Ketiga, nash ayat tersebut (QS. Luqman: 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut berbunyi, “Dan diantara manusia ada orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” ini menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah kafir, jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi adalah kekafiran.

 

Seandainya ada seseorang membeli mushaf Al-Quran dengan tujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah dan mengolok-oloknya, maka orang tersebut kafir. Inilah yang dicela Allah. Allah Ta’ala tidak pernah mencela sedikitpun terhadap orang yang menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan sekedar hiburan atau menenangkan diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maka terbantahlah argumen mereka dengan ucapan mereka sendiri seperti yang telah kami sampaikan.

 

Demikian pula jika seseorang yang sengaja membaca Al-Quran atau hadits, atau obrolan, atau lagu, atau lainnya, sehingga melalaikan shalat, itu termasuk kefasikan dan durhaka kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban sebagaimana yang kami katakan, maka itu tetap kebaikan. (Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 7/567)

 

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali rahimahullahu juga ikut memberikan sanggahan, beliau berkata,

وأما شراء لهو الحديث بالدين استبدالاً به ليضل به عن سبيل الله فهو حرام مذموم وليس النزاع فيه وليس كل غناء بدلاً عن الدين مشترى به ومضلاً عن سبيل الله تعالى وهو المراد في الآية ولو قرأ القرآن ليضل به عن سبيل الله لكان حراماً.

حكى عن بعض المنافقين أنه كان يؤم الناس ولا يقرأ إلا سورة عبس لما فيها من العتاب مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فهم عمر بقتله ورأى فعله حراما لما فيه من الإضلال فالإضلال بالشعر والغناء أولى بالتحريم.

 

“Adapun makna ‘menggunakan perkataan tak berguna’ untuk agama, artinya merubah hukum agama dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan tercela, tak ada perselisihan tentang itu. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan menyesatkan dari jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya membaca Al-Quran untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.

 

Hal ini diperkuat tentang perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi imam shalat secara sengaja selalu membaca Surat ‘Abasa karena didalamnya terdapat celaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu ‘Anhu hendak membunuhnya (si munafik itu), karena menilai perbuatan mereka itu haram dan menyesatkan. Apalagi jika menyesatkannya dengan menggunakan syair dan lagu, itu lebih utama diharamkan.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2/284-285)

 

Kesimpulannya, menurut para ulama ini, ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman musik dan lagu yang baik-baik, dan sekedar untuk mengistirahatkan jiwa, sebab ayat ini menunjukkan tujuan yang tercela yaitu menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, yang biasanya dilakukan oleh orang kafir, fasiq, dan musuh-musuh agama. Sedangkan orang yang mendengarkan hiburan sekedarnya saja, tidaklah seperti itu tujuannya. Sebagaimana dikatakan Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, bahwa halal dan haramnya musik tergantung maksud dan tujuan orangnya.

 

Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullahu menjelaskan,

 

آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها.

 

“Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Sesungguhnya menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/169).

 

Keenam, Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum menceritakan tentang keindahan, keserasian, dan keteraturan penciptaan-Nya.

 

Kelompok ini juga berhujjah dengan ayat-ayat Al-Quran yang menceritakan ciptaan Allah Ta’ala yang rapi, seimbang, dan penuh keindahan serta sedap dipandang mata. Serasi bentuk, ukuran, dan warna. Semua ini menunjukkan bahwa keindahan, baik itu alamiah atau buatan (seperti musik), adalah termasuk koridor ini, sebagai sesuatu yang memang bisa dinikmati sebagai objek tafakur dan menghibur diri semata.

 

Di antaranya adalah ayat-ayat berikut,

 

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

 

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Lihatlah sekali lagi, apakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” [QS. Al-Mulk: 3].

 

Ayat lain:

 

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

 

“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqan: 2].

 

Ayat lain:

 

ولَقَدْ جَعَلْنا فِي السَّماءِ بُرُوجاً وَ زَيَّنَّاها لِلنَّاظِرينَ

 

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya).” [QS. Al-Hijr: 16].

 

Ayat lain:

 

وَ الْأَرْضَ مَدَدْناها وَ أَلْقَيْنا فيها رَواسِيَ وَ أَنْبَتْنا فيها مِنْ كُلِّ شَيْ‏ءٍ مَوْزُونٍ

 

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, serta Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Hijr: 19].

 

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang sejenis.

 

Bagi kelompok yang membolehkan, sesungguhnya keserasian, keseimbangan, dan keindahan yang Allah Ta’ala ciptakan pada alam ini, baik pada bentuk, ukuran, warna, suara, yang Allah Ta’ala ciptakan pada gunung, bukit, sawah, gurun, kebun, sungai, lautan, hewan, gemericikan air, kicauan burung di pagi hari, adalah hal yang diberikanNya untuk manusia. Tak beda antara yang alami atau buatan, sebab prinsipnya sama, sama-sama keindahan. Ada pun jika sudah sampai melalaikan dari mengingatNya, maka masing-masing pribadi berbeda keadaannya. Pada kenyataannya, justru ada yang setelah tafakur semakin shalih dan bertobat dari kesalahan setelah merenungi kebesaranNya melalui keindahan ciptaanNya.

 

Oleh karena itu Imam Ibnu Hazm rahimahullahu mengatakan,

 

وَمَنْ نَوَى بِهِ تَرْوِيحَ نَفْسِهِ لِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنَشِّطَ نَفْسَهُ بِذَلِكَ عَلَى الْبِرِّ فَهُوَ مُطِيعٌ مُحْسِنٌ، وَفِعْلُهُ هَذَا مِنْ الْحَقِّ، وَمَنْ لَمْ يَنْوِ طَاعَةً وَلَا مَعْصِيَةً، فَهُوَ لَغْوٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ كَخُرُوجِ الْإِنْسَانِ إلَى بُسْتَانِهِ مُتَنَزِّهًا، وَقُعُودِهِ عَلَى بَابِ دَارِهِ مُتَفَرِّجًا وَصِبَاغِهِ ثَوْبَهُ لَازَوَرْدِيًّا أَوْ أَخْضَرَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ.

 

“Dan, barang siapa dengan hiburan bertujuan untuk mengistirahatkan jiwa dalam rangka melahirkan kekuatan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yang dengan itu dirinya bisa giat dalam kebaikan, maka dia termasuk orang taat dan baik. Perbuatan ini termasuk kebenaran. Jika dia tidak memaksudkannya sebagai ketaatan, tidak pula untuk maksiat, maka itu adalah kelalaian yang dimaafkan seperti seseorang yang keluar rumahnya menuju kebunnya sekedar untuk piknik, duduknya seseorang di depan pintu rumahnya untuk santai-santai, seseorang yang mencelup pakaiannya bukan dengan lapisan besi atau dengan hijau atau selain itu.” (Al-Muhalla, 7/567).

 

Demikianlah dalil-dalil global dari Al-Quran tentang kebolehan musik. Bagi mereka dalil-dalil keharaman musik dari Al-Quran tidak satu pun yang jelas dan tegas, hanya berdasarkan tafsir semata, itu pun masih dilemahkan lagi oleh fakta bahwa masing-masing ahli tafsir juga berbeda pendapat yang cukup banyak. Sedangkan dalam masalah ‘pengharaman’ tidak boleh berdasarkan pijakan yang abu-abu dan tidak konsisten, melainkan harus tegas dan jelas.

 

  1. 2. Dalil-Dalil Dari As-Sunnah

 

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi hujjah bolehnya musik.

 

Hadits Pertama:

وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ.

Berkata Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)

 

Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya musik di tiga sisi.

 

Pertama, pada keshahihannya. Mereka mengira hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya, sehingga dia dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm, dan orang-orang yang sepakat dengannya seperti Syaikh Al-Qaradhawi.

 

Imam Ibnu Hazm rahimahullahu mengatakan:

وَهَذَا مُنْقَطِعٌ لَمْ يَتَّصِلْ مَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَصَدَقَةَ بْنِ خَالِدٍ وَلَا يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ أَبَدًا، وَكُلُّ مَا فِيهِ فَمَوْضُوعٌ، وَوَاللَّهِ لَوْ أُسْنِدَ جَمِيعُهُ أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُ فَأَكْثَرَ مِنْ طَرِيقِ الثِّقَاتِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا تَرَدَّدْنَا فِي الْأَخْذِ بِهِ

Hadits ini munqathi’, tidak bersambung antara Al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid, dalam masalah ini selamanya tidak ada satu pun yang shahih. Semua riwayat tentang ini palsu. Demi Allah, seandainya semuanya atau satu saja riwayat ini disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari jalan orang-orang terpercaya maka kami tidak akan menolaknya untuk mengambilnya sebagai dalil. (Al-Muhalla, 7/565).

 

Ditambah lagi, bagi mereka, Hisyam bin ‘Ammar adalah perawi yang kontroversi. Imam Abu Daud menyatakan bahwa Beliau meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada dasarnya. Imam Abu Hatim mengatakan: jujur tapi dia mengalami perubahan hapalan. Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyatakan tsiqah (terpercaya) dan cerdas. Imam An Nasa’i mengatakan: ‘tidak apa-apa’. Imam Adz-Dzahabi mengatakan: jujur dan memiliki riwayat yang diingkari. Ad-Daruquthni mengatakan: jujur dan besar kedudukannya. (Mizanul I’tidal, 4/302)

 

Dan, pendhaifan Imam Ibnu Hazm terhadap hadits ini telah dikritik oleh ulama lainnya seperti Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan sebagainya, yang telah menguatkan kepastian hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berbagai hujjah, sebagaimana sudah kami sampaikan dalam pembahasan terdahulu. Silahkan kembali merujuk.

 

Kedua, kalau pun hadits ini shahih, hadits ini tidak sharih (lugas) mengharamkan. Hadits ini menyebut “Segolongan kaum umatku akan menghalalkan Al-Hirru” yaitu kemaluan. Padahal kemaluan ada yang dihalalkan yaitu pada jalur pernikahan, baik zaman dulu dan sekarang. Tidak semua kemaluan diharamkan.

 

Hadits ini juga menyebut Al-Hariiru yaitu sutera. Padahal sutera bagi kaum wanita boleh, dan bagi orang yang sedang dalam penyakit kulit juga diberikan keringanan, baik zaman dulu dan sekarang. Tidak semua sutera terlarang.

 

Oleh karena itu, penyebutan pengharaman Al-Ma’azif (alat-alat musik), mesti dimaknai seperti itu yaitu alat-alat musik dalam konteks maksiat, seperti yang terjadi pada tempat hiburan seperti diskotik, kelab malam, atau yang dilakukan oleh para pemabuk secara berbarengan. Tidak bermaksud semua alat-alat musik.

 

Ketiga, pihak yang mengharamkan memaknai bahwa keharaman Al-Ma’azif begitu berat, sebab digandengkan dengan huruf wau athaf dengan perkara lain yang pasti haramnya. Sehingga keharamannya setara dengan khamr, zina, dan sutera.

 

Hal ini dikritik oleh pihak yang membolehkan bahwa digandengnya Al-Ma’azif dengan zina, khamr, dan sutera, itu menunjukkan keharamannya jika dimainkan bersamaan atau berbarengan dengan perkara-perkara haram. Tetapi jika bersih dari itu semua tidak apa-apa. Sebab, jika memang Al-Ma’azif itu haram, kenapa menjadi halal ketika pernikahan dan hari raya? Apakah haram bisa menjadi halal dengan mudahnya hanya karena beda waktu dan momen tertentu? Lalu, mengapa cuma Al-Ma’azif saja yang menjadi halal ketika pernikahan dan hari raya, sedangkan zina, khamr, tetap haram walau di hari raya? Kalau memang hal-hal itu setara, seharusnya bukan cuma Al-Ma’azif tapi yang lain juga berubah menjadi boleh saat pernikahan dan hari raya karena kesetaraannya dalam penyebutan di haditsnya.

 

Hadits kedua:

 عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة ….

Dari Abu Umamah, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib dan perkara jahiliyah …. (HR. Ahmad No. 22307, Ath-Thayalisi No. 1230, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 7803, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6108)

 

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum atasnya.

 

Namun, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah – invalid text), sebagaimana dikatakan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan ‘Ali bin Yazid. (Ta’liq Musnad Ahmad, 36/646). Didhaifkan pula oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim. (‘Aunul Ma’bud, 13/185). Didhaifkan pula oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Misykah Al-Mashabih, No. 3654).

 

Hadits ketiga:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخُمُورُ

Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Akan datang pada umat mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?” Beliau bersabda, “Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At-Tirmidzi No. 2212, katanya: hadits ini gharib, Ar-Ruyani dalam Musnadnya No. 132, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 5810. Lafaz ini milik At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5467. Dihasankan oleh Imam Al-Munawi dalam At-Taisir, 2/179)

 

Bagi pihak yang membolehkan, kalaupun hadits ini shahih, hadits ini tidak sharih (tegas) dalam mengharamkan musik. Hadits ini hanyalah menceritakan fase buruk umat Islam di akhir zaman, ketika mereka sudah tenggelam dalam dunia, yaitu hiburan, musik, dan minuman keras. Tak berarti musik itu sendiri adalah haram. Ini menunjukkan sikap melampaui batas umat Islam pada saat itu, mereka sibuk dengan perkara-perkara ini, dan berpaling dari ajaran Rasulullah sehingga Allah Ta’ala membuat mereka terbenam, berubah, dan dilemparkan batu, sebagaimana kaum Tsamud dahulu yang terekam dalam ayat: (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. (Asy Syams: 11)

 

Hadits keempat:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ، لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

Dari Abi Malik Al-Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi. (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath-Thabarani, Al-Kabir No. 3419. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)

 

Hadits ini jika shahih, juga bukan hujjah untuk mengharamkan musik sekedar menghibur diri saja, dan redaksi hadits ini menunjukkan hal itu. Musik yang tercela adalah jika dibarengi dengan perkara yang diharamkan yaitu khamr (minuman keras). Ini jelas disebutkan dalam hadits ini masa di mana umat ini akan mabuk-mabukan sambil memainkan musik. Jelas sekali berbeda dengan musik-musik, atau tetabuhan, yang dipakai oleh para prajurit, pekerja, musafir, dalam menyemangati aktifitas mereka, sama sekali tidak ada unsur maksiat di dalamnya.

 

Hadits kelima:

 

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ

Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696, Abu Ya’la No. 2729, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 20991. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj No. 1792, Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 2425, dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad, 4/280. Syaikh Husein Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la mengatakan: para perawinya terpercaya)

 

Imam Abu Daud berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al-Kubah, dia menjawab: Ath-Thabl – drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639) Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al-Kubah adalah Al-‘Uud – kecapi. (Al-Mushannaf No. 24080) Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al-Kubah adalah Ath-Thablush Shaghir – gendang kecil. (Jami’ul Ushul, 5/97) Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al-Kubah? Beliau menjawab: Thabl – drum. (Al-Badrul Munir, 9/649) Imam Muhammad bin Katsir mengatakan, Al-Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk Yaman. (Imam Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)

 

Hadits keenam:

 

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Ahmad No. 2625. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 4/381, dan Al-Baihaqi dalam Al-Adab No. 628)

 

Hadits ketujuh:

 

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al-Kubah, dan Al-Ghubaira. (HR. Abu Daud No. 3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu ‘Ubaid, Al-Ghubaira adalah minuman keras yang terbuat dari perasan jagung. Di dalam sanadnya terdapat Al-Walid bin ‘Abdah. Imam Al-Mundziri mengatakan: Walid bin ‘Abdah menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus mengatakan dalam Tarikh Al-Mishriyin bahwa Walid bin ‘Abdah adalah pelayannya Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash. Yazid bin Habib meriwayatkan hadits darinya, dan hadits ini ma’lul – memiliki cacat. Lihat Mukhtashar, 5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 1708)

 

Hadits kelima, keenam, dan ketujuh semuanya sama, bahwa Allah Ta’ala mengharamkan minuman keras, judi, air perasan jagung yang memabukkan (Al-Ghubaira), dan gendang (Al-Kubah).

 

Bagi pihak yang membolehkan, keharaman yang disebutkan dalam hadits ini jika musik dimainkan bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, seperti di tempat-tempat berkumpulnya ahli maksiat; bar dan diskotik. Sebab, jika alat musik pukul seperti gendang (Ath-Thabl) diharamkan secara sendiri, maka kita akan bertemu fakta lain pada hadits lainnya kebolehan memukul alat musik pukul lainnya seperti Ad-Duf (rebana) diwaktu pernikahan, hari raya, dan hari bahagia. Sedangkan khamr dan judi haram dalam keadaan apa pun, berbeda dengan alat musik pukul. Maka, kita mesti memahaminya bahwa itu diharamkan jika dimainkan bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan, bukan musik itu sendiri.

 

Hadits kedelapan:

 

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar No. 7513, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40661 dan 40673. Syaikh Al-Albani menghasankan. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al-Haitsami mengatakan: para perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syaikh Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah-nya Imam Dhiya’uddin Al-Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al-Munawi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At-Taisir bi Syarhil Jami’ Ash Shaghir, 2/95)

 

Pihak yang membolehkan mengatakan, bahwa mafhum mukhalafah (makna implisit) pada hadits ini adalah jika seruling itu terlaknat ketika dalam keadaan nikmat, maka seruling boleh dimainkan diluar keadaan memperoleh nikmat. Jika meraung dilarang dalam keadaan musibah, maka meraung (berteriak) dibolehkan selain dalam keadaan musibah. Imam Al-Munawi mengatakan:

قَالَ القشيرى مَفْهُومه الْحل فِي غير هَاتين الْحَالَتَيْنِ

Berkata Al-Qusyairi: makna implisitnya adalah bahwa hal ini halal diluar dua keadaan ini. (At-Taisir bi Syarhil Jami’ Ash Shaghir, 2/95)

 

Pemahaman Al-Qusyairi ini sudah dikoreksi oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Qurthubi sebagaimana penjelasan terdahulu. (Lihat keterangan hadits kedelapan pada pembahasan dalil As-Sunnah pihak yang mengharamkan)

 

Lalu, pihak yang membolehkan juga mengatakan bahwa hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. Berikut ini keterangannya:

وَقَدْ أَجَابَ الْمُجَوِّزُونَ عَنْهَا بِأَنَّهُ قَدْ ضَعَّفَهَا جَمَاعَةٌ مِنْ الظَّاهِرِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا قَالَهُ ابْنُ حَزْمٍ وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامُ وَقَالَ: لَمْ يَصِحَّ فِي التَّحْرِيمِ شَيْءٌ، وَكَذَلِكَ قَالَ الْغَزَالِيُّ وَابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ، وَهَكَذَا قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: إنَّهُ لَمْ يَصِحَّ مِنْهَا حَرْفٌ وَاحِد.

Pihak yang membolehkan telah memberikan jawaban terhadap berbagai riwayat ini, bahwasanya itu telah didhaifkan oleh segolongan ulama dari kalangan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah, telah disampaikan sebelumnya komentar Imam Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya seperti Imam Abu Bakar bin Al-‘Arabi, di dalam kitabnya Al-Ahkam, katanya, “Tidak ada yang shahih sedikitpun dalam pengharamannya.” Demikian juga perkataan Al-Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al-‘Umdah. Demikian juga yang dikatakan Ibnu Thahir, “Tidak ada yang shahih satu huruf pun tentang pengharaman (nyanyian dan musik).” (Nailul Authar, 8/117)

 

Hadits kesembilan:

 

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ

Lonceng adalah seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, dan An Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra No. 8761)

 

Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan hujjah karena beberapa hal:

 

Pertama, lonceng bukanlah alat hiburan dan bukan alat musik, lebih tepat dia adalah alat komunikasi yang biasa dipakai oleh kaum Nasrani pada gereja-gereja mereka. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menggunakan lonceng untuk memanggil orang shalat berjama’ah, sebab itu menyerupai orang Nasrani. Dilarang pula menggantungkan lonceng dalam perjalanan.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعِيرَ الَّتِي فِيهَا الْجَرَسُ لَا تَصْحَبُهَا الْمَلَائِكَةُ

“Malaikat tidaklah menyertai qafilah yang di dalamnya terdapat lonceng.” (HR. Ahmad No. 26770, Ad-Darimi No. 2717, An Nasa’i, As-Sunan Al-Kubra No. 8760, dll. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 44/355).

 

Maka, kenyataan bahwa lonceng bukan alat musik, tidak pas menjadikan hadits ini sebagai larangan musik.

 

Kedua, sebutan bahwa itu adalah seruling syetan tidak selalu membawa konsekuensi haram, sebab Ad-Duf (rebana) yang dimainkan oleh dua gadis di rumah Nabi pada saat hari raya, oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu juga disebut seruling syetan, tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya saat itu.

 

Sedangkan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, memakruhkan suara lonceng. (Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, No. 32594)

 

Ketiga, kalaulah lonceng ini haram, maka itu terbatas pada lonceng saja, sebab hadits-haditsnya khusus dan terbatas. Para ulama pun tidak memasukkan bel sekolah, alarm jam, dering telepon termasuk di dalam makna ‘lonceng’.

 

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu mengatakan,

وقد أحدثت في هذا العصر أجراس متنوعة لأغراض مختلفة نافعة، كجرس ساعة المنبه الذي يوقظ من النوم، وجرس الهاتف “التليفون”، وجرس دوائر الحكومة، والدور، ونحو ذلك، فهل يدخل هذا في الأحاديث المذكورة وما في معناها؟ وجوابي: لا، وذلك لأنه لا يشبه الناقوس لا في صوته ولا في صورته. والله أعلم.

Pada zaman ini telah ada berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di kantor-kantor pemerintah, asrama, atau lainnya. Apakah suara-suara buatan tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk. Wallahu A’lam. (Jilbab Mar’ah Muslimah, Hal. 169)

 

Hadits kesepuluh:

 

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى تُدَفِّفَانِ، وَتَضْرِبَانِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ، وَتِلْكَ

Bahwasanya Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, masuk ke kamarnya dan saat itu ada dua jariyah (anak gadis) yang sedang memainkan rebana di hari Mina. Saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang menyelimuti dirinya dengan pakaiannya, lalu Abu Bakar mencelanya, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka wajahnya dan bersabda, “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya.” (HR. Bukhari No. 987, Muslim No. 892, lafaz ini milik Al-Bukhari)

 

Hadits ini shahih, muttafaq ‘alaih, dan sharih (jelas) bahwa rebana itu boleh atas rekomendasi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari raya, bahkan hari lainnya.

 

Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan,

أن ضرب دف العرب مباح في يوم السرور الظاهر وهو العيد والعرس والختان قوله في أيام منى يعني الثلاثة بعد يوم النحر وهي أيام التشريق ففيه أن هذه الأيام داخلة في أيام العيد

Bahwa memainkan rebana Arab adalah dibolehkan pada hari yang menyenangkan, zahirnya adalah pada hari raya, nikah, dan khitan. Ucapannya “di hari-hari Mina” maksudnya di tiga hari setelah hari penyembelihan, yaitu hari-hari tasyriq. Maka, hari-hari ini termasuk hari raya. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/184)

 

Hadits kesebelas:

 

Dari Buraidah katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” (HR. At-Tirmidzi No. 3690, katanya: hasan shahih)

 

Bahkan dalam kisah hadits ini, gadis ini tetap memainkan rebananya ketika Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum datang. Namun ketika Umar Radhiallahu ‘Anhu datang, maka gadis ini melempar rebananya karena ketakutan.

 

Jadi, dalam hadits ini banyak sekali pelajaran berharga. Di antaranya:

 

Pertama, menjadi dalil yang kuat kebolehan Al-Ma’azif, yakni Ad-Duf (rebana). Sebab, jika seandainya itu perbuatan terlarang dan maksiat tentu Nabi akan melarang gadis itu bernadzar dengan sesuatu yang terlarang dan maksiat. Justru Nabi memerintahkannya untuk memukul rebana itu. Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَّا الْمُجَوِّزُونَ فَيَسْتَدِلُّونَ بِهِ عَلَى مُطْلَقِ الْجَوَازِ لِمَا سَلَفَ. وَقَدْ دَلَّتْ الْأَدِلَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَالْإِذْنُ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَذِهِ الْمَرْأَةِ بِالضَّرْبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا فَعَلَتْهُ لَيْسَ بِمَعْصِيَة

Adapun pihak yang membolehkan berdalil dengan hadits ini, bahwa musik dibolehkan secara mutlak sebagaimana pembahasan lalu. Bahwasanya berbagai dalil menyatakan tidak boleh bernadzar dalam hal maksiat kepada Allah, maka izin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada wanita ini untuk memukul rebana menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah maksiat. (Nailul Authar, 8/199)

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اَللَّهِ

“Sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam hal maksiat kepada Allah.” (HR. Abu Daud No. 3313. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hajar, Imam Ibnu Abdil Hadi, Imam Ibnul Mulaqqin, dan lainnya).

 

Ada pun ucapan Nabi, “Jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya”, karena memang tidak ada tuntutan untuk memukulnya jika tidak bernadzar, ucapan ini bukan berarti rebana adalah haram.

 

Kedua, bahkan rebana itu pun didengarkan pula oleh Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum.

 

Ketiga, peristiwa ini pun bukan terjadi pada saat hari raya, bukan pernikahan, bukan pula khitanan. Oleh karenanya, golongan ini menjadikannya sebagai dalil bolehnya musik pada waktu kapan pun secara mutlak sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani.

 

Keempat, hadits ini menjadi dalil bolehnya laki-laki mendengarkan wanita bernyanyi jika aman dari fitnah. Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengatakan:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)

 

Hadits kesepuluh dan kesebelas ini, dijadikan dalil oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah kebolehan musik dan nyanyian yang baik-baik, hanya saja Beliau menegaskan kehalalan musik bisa berubah jika diarahkan pada perkara-perkara yang tidak halal pula. Beliau berkata:

 فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال. فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما يخرجه عن دائرة الحلال وعلى هذا تحمل أحاديث النهي عنه

Jika dia diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan kepada kefasikan, atau menumbuhkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal. Maka, musik halal secara dzatnya, dia hanyalah telarang jika diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Untuk ini, banyak hadits-hadits bermakna demikian yang melarangnya. (Fiqhus Sunnah, 3/57)

 

Hadits kedua belas:

 

Ar-Rubayyi binti Mu’awidz radhiyallahu ‘anha bercerita,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ.

 

Pada hari pernikahanku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang, dia duduk di permadaniku ini. Aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)

 

Kisah dalam hadits ini menjadi salah satu dalil kebolehan rebana di saat pernikahan. Bahkan hadits kesebelas dan kedua belas menjadi dasar sebagian mereka kebolehan mendengarkan wanita bernyanyi jika tidak mengandung fitnah.

 

Hadits ketiga belas:

 

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. (HR. At-Tirmidzi No. 1089, katanya: hasan gharib, Ad-Dailami No. 335).

 

Hadits ini menjadi salah satu dalil juga kebolehan rebana di pernikahan. Tapi telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang status hadits ini. Sebagian ulama mendhaifkannya, sebagian lain menshahihkannya.

 

Hadits keempat belas:

 

Dari Nafi’, katanya:

 سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ، مِزْمَارًا قَالَ: فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْتُ: لَا، قَالَ: فَرَفَعَ إِصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا»

Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suaranya?” Aku menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga).” (HR. Abu Daud No. 4924).

 

Hadits ini, dijadikan alasan oleh pihak yang mengharamkan, namun disanggah oleh pihak yang membolehkan pada dua sisi:

 

Pertama, hadits ini dhaif, sebagaimana kata Imam Abu Daud sendiri bahwa hadits ini munkar.

 

Kedua, justru hadits ini — jikalau shahih — menjadi dalil bagi pihak yang membolehkan. Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وَقَدْ احْتَجَّ قَوْمٌ بِهَذَا الْخَبَرِ عَلَى إبَاحَةِ الْمِزْمَارِ، وَقَالُوا: لَوْ كَانَ حَرَامًا لَمَنَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَ عُمَرَ مِنْ سَمَاعِهِ، وَمَنَعَ ابْنُ عُمَرَ نَافِعًا مِنْ اسْتِمَاعِهِ

Segolongan kaum berdalil dengan kisah ini tentang kebolehan seruling. Menurut mereka, seandainya haram niscaya Nabi juga akan melarang Ibnu Umar mendengarkannya, dan Ibnu Umar juga akan melarang Nafi’ mendengarkannya. (Al-Mughni, 10/154)

 

Sedangkan Imam Ibnu Qudamah sendiri mengoreksi alasan pihak yang membolehkan. Menurutnya yang dilakukan oleh Nafi’ saat itu adalah mendengar tidak sengaja (As-Samaa’), sebagaimana bunyi teksnya, bukan sengaja mendengarkan (Al-Istimaa’), dan kedua hukum ini berbeda, As-Samaa’ (mendengar tidak sengaja) dimaafkan dan yang Al-istimaa’ (sengaja mendengar) tidak boleh. (Ibid)

 

  1. Keterangan Para Ulama Yang Membolehkan

 

Berikut ini beragam keterangan tentang para ulama, sejak masa sahabat dan tabi’in yang membolehkan musik. Dikutip dari berbagai rujukan, yang saling melengkapi satu sama lain.

 

  1. 1. Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali rahimahullahu

 

Beliau menceritakan:

ونقل أبو طالب المكي إباحة السماع من جماعة فقال سمع من الصحابة عبد الله بن جعفر وعبد الله بن الزبير والمغيرة بن شعبة ومعاوية وغيرهم وقال قد فعل ذلك كثير من السلف الصالح صحابي وتابعي بإحسان وقال لم يزل الحجازيون عندنا بمكة يسمعون السماع في أفضل أيام السنة وهى الايام المعدودات التي أمر الله عباده فيها بذكره كأيام التشريق ولم يزل أهل المدينة مواظبين كأهل مكة على السماع إلى زماننا هذا فأدركنا أبا مروان القاضي وله جوار يسمعن الناس التلحين قد أعدهن للصوفية قال وكان لعطاء جاريتان يلحنان فكان إخوانه يستمعون إليهما قال وقيل لأبي الحسن بن سالم كيف تنكر السماع وقد كان الجنيد وسرى السقطى وذو النون يستمعون فقال وكيف أنكر السماع وقد أجازه وسمعه من هو خير مني فقد كان عبد الله بن جعفر الطيار يسمع وإنما أنكر اللهو واللعب في السماع.

Abu Thalib Al-Makki menukil tentang kebolehan mendengarkan (nyanyian dan musik) dari segolongan manusia. Dia mengatakan, dari golongan sahabat adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Az-Zubeir, Al-Mughirah bin Syu’bah, Mu’awiyah, dan lainnya. Dia juga mengatakan bahwa hal ini juga dilakukan oleh banyak salafush shalih, baik sahabat, dan yang mengikuti mereka dengan baik. Katanya: Orang-orang Hijaz — menurut kami Mekkah — senantiasa mendengarkannya di hari-hari yang memiliki keutamaan, yaitu hari-hari tertentu yang Allah Ta’ala perintahkan untuk ibadah dan berdzikir kepada-Nya, seperti hari-hari tasyriq. Penduduk Madinah — sebagaimana penduduk Mekkah — juga begitu semangat melakukannya hingga zaman kita sekarang. Saya jumpai Abu Marwan Al-Qadhi memiliki tetangga yang suka mendengarkan manusia yang menggubah nyanyian dan menyiapkannya untuk para sufi. Dia juga berkata, dahulu ‘Atha memiliki dua jariyah yang suka menggubah nyanyian dan saudara-saudaranya mendengarkan mereka berdua. Dia juga berkata, bahwa ditanyakan kepada Abul Hasan bin Salim, bagaimana engkau mengingkari As-Samaa’ padahal dulu Al-Junaid, As-Sari As-Suqthi, dan Dzun Nuun juga mendengarkannya? Maka dia berkata, “Bagaimana aku mengingkarinya padahal orang yang lebih baik dariku telah membolehkan dan mendengarkannya? Sesungguhnya Abdullah bin Ja’far Ath-Thayyar Radhiallahu ‘Anhuma telah mendengarkannya, yang aku ingkari adalah jika mendengarkannya untuk tujuan melalaikan dan permainan saja.” (Ihya ‘Ulumddin, 2/269)

 

  1. 2. Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu

 

Beliau menceritakan bahwa banyak para sahabat Nabi dan tabi’in pernah mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Berikut ini keterangannya:

ما صح عن جماعة كثيرين من الصحابة والتابعين أنهم كانوا يسمعون الغناء والضرب على المعازف. فمن الصحابة عبد الله بن الزبير، وعبد الله بن جعفر وغيرهما. ومن التابعين: عمر بن عبد العزيز، وشريح القاضي، وعبد العزيز بن مسلمة، مفتي المدينة وغيرهم.

Telah shahih dari segolongan banyak dari sahabat Nabi dan tabi’in, bahwa mereka mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Di antara sahabat contohnya Abdulah bin Az-Zubeir, Abdullah bin Ja’far, dan selain mereka berdua. Dari generasi tabi’in contohnya: Umar bin Abdul ‘Aziz, Syuraih Al-Qadhi, Abdul ‘Aziz bin Maslamah Mufti Madinah, dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 3/57-58)

 

  1. 3. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullahu

 

Mirip dengan yang disampaikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, berikut ini penjelasan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili Hafizhahullah:

وأباح مالك والظاهرية وجماعة من الصوفية السماع ولو مع العود واليراع. وهو رأي جماعة من الصحابة (ابن عمر، وعبد الله بن جعفر، وعبد الله بن الزبير، ومعاوية، وعمرو بن العاص وغيرهم) وجماعة من التابعين كسعيد بن المسيب

Imam Malik, golongan Zhahiriyah, dan segolongan sufi, membolehkan mendengarkan nyanyian walau pun dengan kecapi dan klarinet. Itu adalah pendapat segolongan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Az-Zubeir, Mu’awiyah, Amr bin Al-‘Ash, dan selain mereka, dan segolongan tabi’in seperti Sa’id bin Al-Musayyib. (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/2665)

 

Pada pembahasan terdahulu kita mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menutup kedua telinganya ketika terdengar suara seruling, yang kemudian itu dianggap sebagai dalil bahwa Beliau mengharamkan. Tetapi dalam kisah yang lain bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu justru membolehkan kecapi. Berikut ini kisahnya:

وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا.

Pengarang kitab Al-‘Iqdu, Al-‘Allamah Abu Umar Al-Andalusi, meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa.” (Nailul Authar, 8/113)

 

Sementara Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, dari pendapatnya mengisyaratkan bahwa Beliau tidak menganggap alat-alat musik adalah haram, hal itu bisa terlihat keterangan Imam Al-Kisani berikut ini:

وَيَجُوزُ بَيْعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي مِنْ الْبَرْبَطِ، وَالطَّبْلِ، وَالْمِزْمَارِ، وَالدُّفِّ، وَنَحْوِ ذَلِكَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ

Dibolehkan menjual alat-alat musik seperti Al-Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya, menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)

 

Para ahli bahasa menjelaskan Al-Barbath adalah alat musik orang ‘ajam (non Arab), yang ter-Arabkan. (Abu Manshur Al-Harawi Al-Azhari, Tahdzibul Lughah, 14/42) Ada juga yang menyebut ‘Uud (kecapi), dan itu adalah bahasa Persia. (Abu Abdillah Al-Balkhi Al-Khawarizmi, Mafatih Al-‘Ulum, 1/260) Ada juga yang menyebut alat musik menyerupai kecapi, berasal dari Persia yang ter-Arabkan. (Ibnul Atsir, Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/112)

 

Tentunya hanya benda-benda halal yang boleh diperjualbelikan. Maka ketika alat-alat musik dibolehkan diperjualbelikan oleh Imam Abu Hanifah, itu mengisyaratkan begitulah pendapat Imam Abu Hanifah. Wallahu A’lam.

 

Hal ini dipertegas lagi dalam keterangan dalam Al-Mausu’ah berikut ini:

وذهب بعض الفقهاء إلى إباحتها إذا لم يلابسها محرم، فيكون بيعها عند هؤلاء مباحا. والتفصيل في مصطلح (معازف). ومذهب أبي حنيفة خلافا لصاحبيه أنه يصح بيع آلات اللهو كله

Sebagian ahli fiqih berpendapat, bolehnya menjual alat-alat musik bila tidak dicampuri dengan hal-hal yang haram, maka menjual hal tersebut bagi mereka mubah. Rinciannya terdapat dalam pembahasan Al-Ma’azif. Imam Abu Hanifah berpendapat — berbeda dengan dua sahabatnya — bahwa sah memperjualbelikan alat-alat musik seluruhnya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 9/157)

 

Imam Abu Muhammad bin Hazm rahimahullahu juga menegaskan kebolehan jual beli alat-alat musik, katanya:

وبيع الشطرنج، والمزامير، والعيدان، والمعازف، والطنابير: حلال كله، ومن كسر شيئا من ذلك ضمنه

Menjual catur, seruling, alat pesta, alat musik, tamburin, semuanya halal, dan barang siapa yang menghancurkannya maka dia wajib mengganti rugi. (Al-Muhalla, 7/599)

 

Lalu Imam Ibnu Hazm menjelaskan alasannya:

قال تعالى: {خلق لكم ما في الأرض جميعا} [البقرة: 29] ، وقال تعالى: {وأحل الله البيع} [البقرة: 275] ، وقال تعالى: {وقد فصل لكم ما حرم عليكم} [الأنعام: 119] ، ولم يأت نص بتحريم بيع شيء من ذلك، ورأى أبو حنيفة الضمان على من كسر شيئا من ذلك. واحتج المانعون بآثار لا تصح، أو يصح بعضها، ولا حجة لهم فيها.

Allah Ta’ala berfirman, “Dia telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi semuanya untuk kalian.” (Al-Baqarah: 29), dan firman-Nya, “Allah telah halalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275), dan firman-Nya, “Dia telah menjelaskan untuk kalian apa-apa yang diharamkan atas kalian.” (Al-An’am: 119), dan tidak ada satu pun nash yang mengharamkannya. Pendapat Abu Hanifah adalah wajib ganti rugi bagi yang menghancurkan alat-alat itu. Orang-orang yang melarang alat musik telah berhujjah dengan berbagai atsar yang tidak shahih, atau sebagiannya shahih, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah (alasan). (Ibid)

 

  1. 4. Imam Asy-Syaukani rahimahullahu

 

Imam Asy-Syaukani rahimahullahu juga menceritakan dengan panjang lebar tentang siapa-siapa saja para imam kaum muslimin yang pernah mendengarkan dan membolehkannya, berikut penjelasannya:

وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي الْغِنَاءِ مَعَ آلَةٍ مِنْ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَبِدُونِهَا. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى التَّحْرِيمِ مُسْتَدِلِّينَ بِمَا سَلَفَ. وَذَهَبَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الظَّاهِرِ وَجَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ إلَى التَّرْخِيصِ فِي السَّمَاعِ وَلَوْ مَعَ الْعُودِ وَالْيَرَاعِ. وَقَدْ حَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ الْبَغْدَادِيُّ الشَّافِعِيُّ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي السَّمَاعِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ كَانَ لَا يَرَى بِالْغِنَاءِ بَأْسًا وَيَصُوغُ الْأَلْحَانَ لِجَوَارِيهِ وَيَسْمَعُهَا مِنْهُنَّ عَلَى أَوْتَارِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي زَمَنِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيٍّ وَحَكَى الْأُسْتَاذُ الْمَذْكُورُ مِثْلَ ذَلِكَ أَيْضًا عَنْ الْقَاضِي شُرَيْحٍ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالزُّهْرِيِّ وَالشَّعْبِيِّ وَقَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ: نَقَلَ الْإِثْبَاتَ مِنْ الْمُؤَرِّخِينَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ لَهُ جِوَارٍ عَوَّادَاتٍ، وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَيْهِ وَإِلَى جَنْبِهِ عُودٌ فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَاوَلَهُ إيَّاهُ، فَتَأَمَّلَهُ ابْنُ عُمَرَ فَقَالَ: هَذَا مِيزَانٌ شَامِيٌّ، قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: يُوزَنُ بِهِ الْعُقُولُ.

وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَزْمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي السَّمَاعِ بِسَنَدِهِ إلَى ابْنِ سِيرِينَ قَالَ: إنَّ رَجُلًا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِجَوَارٍ فَنَزَلَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَفِيهِنَّ جَارِيَةٌ تَضْرِبُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَسَاوَمَهُ فَلَمْ يَهْوَ مِنْهُنَّ شَيْئًا، قَالَ: انْطَلِقْ إلَى رَجُلٍ هُوَ أَمْثَلُ لَكَ بَيْعًا مِنْ هَذَا؟ قَالَ مَنْ هُوَ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، فَعَرَضَهُنَّ عَلَيْهِ،فَأَمَرَ جَارِيَةً مِنْهُنَّ فَقَالَ لَهَا: خُذِي الْعُودَ، فَأَخَذَتْهُ فَغَنَّتْ فَبَايَعَهُ، ثُمَّ جَاءَ إلَى ابْنِ عُمَرَ إلَى آخِرِ الْقِصَّةِ وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ مُعَاوِيَةَ وَعَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُمْ سَمِعَا الْعُودَ عِنْدَ ابْنِ جَعْفَرٍ وَرَوَى أَبُو الْفَرَجِ الْأَصْبَهَانِيُّ أَنَّ حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ سَمِعَ مِنْ عَزَّةَ الْمَيْلَاءِ الْغِنَاءَ بِالْمِزْهَرِ بِشِعْرٍ مِنْ شِعْرِهِ. وَذَكَرَ أَبُو الْعَبَّاسِ الْمُبَرِّدُ نَحْوَ ذَلِكَ، وَالْمِزْهَرُ عِنْدَ أَهْلِ اللُّغَةِ: الْعُودُ وَذَكَرَ الْإِدْفَوِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدَ الْعَزِيزِ كَانَ يَسْمَعُ مِنْ جَوَارِيهِ قَبْلَ الْخِلَافَةِ.

وَنَقَلَ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ التَّرْخِيصَ عَنْ طَاوُسٍ وَنَقَلَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَصَاحِبُ الْإِمْتَاعِ عَنْ قَاضِي الْمَدِينَةِ سَعْدِ بْنِ إبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الزُّهْرِيِّ مِنْ التَّابِعِينَ. وَنَقَلَهُ أَبُو يَعْلَى الْخَلِيلِيُّ فِي الْإِرْشَادِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونِ مُفْتِي الْمَدِينَةِ وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ. وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ وَالْفُورَانِيُّ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ الْعُودِ. وَذَكَرَ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ فِي قُوتِ الْقُلُوبِ عَنْ شُعْبَةَ أَنَّهُ سَمِعَ طُنْبُورًا فِي بَيْتِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو الْمُحَدِّثِ الْمَشْهُورِ. وَحَكَى أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي السَّمَاعِ أَنَّهُ لَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي إبَاحَةِ الْعُودِ.

قَالَ ابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ: قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: هُوَ إجْمَاعُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: وَإِلَيْهِ ذَهَبَتْ الظَّاهِرِيَّةُ قَاطِبَةً. قَالَ الْأُدْفُوِيُّ: لَمْ يَخْتَلِفْ النَّقَلَةُ فِي نِسْبَةِ الضَّرْبِ إلَى إبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الْمُتَقَدِّمِ الذِّكْرِ، وَهُوَ مِمَّنْ أَخْرَجَ لَهُ الْجَمَاعَةُ كُلُّهُمْ. وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ إبَاحَةَ الْعُودِ عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ. وَحَكَاهُ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ وَحَكَاهُ الْإِسْنَوِيُّ فِي الْمُهِمَّاتِ عَنْ الرُّويَانِيِّ وَالْمَاوَرْدِيِّ وَرَوَاهُ ابْنُ النَّحْوِيِّ عَنْ الْأُسْتَاذِ أَبِي مَنْصُورٍ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُلَقِّنِ فِي الْعُمْدَةِ عَنْ ابْنِ طَاهِرٍ وَحَكَاهُ الْأُدْفُوِيُّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَحَكَاهُ صَاحِبُ الْإِمْتَاعِ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيِّ، وَجَزَمَ بِالْإِبَاحَةِ الْأُدْفُوِيُّ هَؤُلَاءِ جَمِيعًا قَالُوا بِتَحْلِيلِ السَّمَاعِ مَعَ آلَةٍ مِنْ الْآلَاتِ الْمَعْرُوفَةِ.

Telah diperselisihkan tentang nyanyian dengan alat musik dan tanpa alat musik. Mayoritas ulama mengharamkannya berdasarkan dalil yang telah lalu. Sedangkan penduduk Madinah, dan golongan yang sepakat dengan mereka dari kalangan ulama Zhahiriyah, dan segolongan sufi, memberikan keringanan mendengarkannya walau memakai kecapi dan klarinet. Al-Ustadz Abu Manshur Al-Baghdadi Asy-Syafi’i menceritakan dalam karyanya, As-Samaa’, bahwasanya Abdullah bin Ja’far memandang nyanyian tidak apa-apa. Beliau pernah menciptakan bait nyanyian untuk para tetangganya lalu diperdengarkan dari mereka dengan diiringi dawainya (semacam gitar). Hal itu terjadi pada masa Amirul Mu’minin Ali Radhiallahu ‘Anhu. Al-Ustadz (Abu Manshur) juga menceritakan yang seperti ini juga berasal dari Al-Qadhi Syuraih, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Atha bin Abi Rabah, Az-Zuhri, Asy-Sya’bi. Imam Al-Haramain berkata dalam An-Nihayah, juga Ibnu Abi Ad-Dam: bahwa telah dinukil kepastian dari para sejarawan, bahwa Abdullah bin Az-Zubeir Radhiallahu ‘Anhu dahulu memiliki tetangga para pemain kecapi. Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah masuk ke rumahnya dan di sisi Abdullah bin Az-Zubeir terdapat ‘Uud (kecapi), lalu Ibnu Umar bertanya, “Apa ini wahai sahabat Nabi?” Ibnu Umar menghampirinya dan terus memperhatikan benda itu, dan bertanya, “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Ibnu Az-Zubeir menjawab, “Ini untuk menimbang akal.”

 

Al-Hafizh Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan dalam risalahnya tentang As-Samaa’ dengan sanadnya, dari Ibnu Sirin, katanya: Ada seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya, mereka berhenti di tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah yang sedang main rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia sedikitpun tidak tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata, “Pergilah ke laki-laki yang bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu dan juallah.” Laki-laki itu bertanya, “Siapa dia?” Beliau menjawab, “Abdullah bin Ja’far.” Lalu mereka membawanya kepadanya (Abdullah bin Ja’far), lalu salah satu jariyah itu diperintahkan, “Ambil-lah ‘Uud (kecapi).” Lalu dia mengambilnya lalu bernyanyi. Maka laki-laki itu menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar sampai akhir kisah ini. Pengarang kitab Al-‘Iqdu, Al-‘Allamah Abu Umar Al-Andalusi, meriwayatkan, “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhuma. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab, “Tidak apa-apa.” Imam Al-Mawardi menceritakan bahwa dahulu Mu’awiyah dan Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma mendengarkan kecapi dari Ibnu Ja’far. Abul Faraj Al-Ashbahani meriwayatkan bahwa dahulu Hassan bin Tsabit Rahiallahu ‘Anhu mendengarkan dari ‘Azzah Al-Maila nyanyian dengan menggunakan Al-Mizhar (kecapi), dengan menggunakan syair yang dibuatnya. Abul ‘Abbas Al-Mubarrad juga meriwayatkan yang seperti itu. Al-Mizhar menurut ahli bahasa adalah Al-‘Uud (kecapi). Al-Udfuwi meriwayatkan bahwa dahulu Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu ‘Anhu mendengarkan jariyahnya bermain kecapi, sebelum beliau menjadi khalifah.

 

Ibnu As-Sam’ani menukil dari Thawus tentang adanya rukhshah (keringanan) mendengarkan musik (kecapi). Ibnu Qutaibah dan pengarang kitab Al-Imta’ menukil hal itu juga dari seorang Qadhi kota Madinah, Sa’d bin Ibrahim bin Abdurrahman, seorang generasi dari tabi’in. Abu Ya’la Al-Khalili dalam Al-Irsyad juga menukil hal itu dari Abdul Aziz bin Abu Salamah Al-Majisyun, Mufti kota Madinah. Ar-Ruyani meriwayatkan dari Al-Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al-Ma’azif). Al-Ustadz Abu Manshur Al-Furani menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al-‘Uud). Abu Thalib Al-Makki menceritakan dalam Qutul Qulub dari Syu’bah, bahwa dia (Syu’bah) mendengarkan tamburin di rumah Al-Minhal bin Al-Amr seorang ahli hadits terkenal. Abu Al-Fadhl Ibnu Thahir menceritakan dalam karyanya, As-Samaa’, bahwa tidak ada perbedaan pendapat bagi penduduk kota Madinah tentang kebolehan alat musik kecapi.

 

Ibnu An-Nahwi mengatakan dalam Al-‘Umdah: berkata Ibnu Thahir: itu adalah ijma’ penduduk kota Madinah (kebolehan alat musik kecapi). Ibnu Thahir berkata: ini adalah madzhab golongan Zhahiriyah seluruhnya. Al-Udfuwi meriwayatkan: bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang nukilan penisbatan kepada Ibrahim bin Sa’ad bahwa Beliau memukul rebana sebelum berdzikir. Imam Al-Mawardi menceritakan tentang kebolehan kecapi menurut sebagian Syafi’iyah. Abul Fadhl bin Thahir menceritakan dari Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan Al-Isnawi menceritakan dalam Al-Muhimmat dari Ar-Ruyani dan Al-Mawardi, dan Ibnu An-Nahwi meriwayatkan dari Al-Ustadz Abu Manshur, dan Ibnul Mulaqqin menceritakan dalam Al-‘Umdah dari Ibnu Thahir, dan Al-Udfuwi menceritakan dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, dan pengarang kitab Al-Imta’ meriwayatkan dari Abu Bakar bin Al-‘Arabi, dan Al-Udfuwi memastikan kebolehan (Al-‘Uud) dari mereka semua. Mereka mengatakan, “Halalnya mendengarkan permainan musik dengan alat-alat musik yang telah dikenal.” (Nailul Authar, 8/113-114).

 

Wallahu a’lam

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password