Bolehkah Pengelola Mendapatkan Bagi Hasil sekaligus Gaji?

Assalamualaikum. Ustadz, sedang ramai dibicarakan di sosial media. Apakah boleh pengelola sebuah perusahaan mendapatkan bagi hasil sekaligus mendapatkan gaji atau upah. Mohon penjelasannya. Terimakasih.

 

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

 

Jawaban atas pertanyaan di atas bisa diuraikan dalam poin-poin berikut;

 

Pertama, dalam aspek muamalah dan transaksi keseharian prinsip dasarnya adalah al-Ibaahah (boleh). Prinsip kebolehan ini sebagaimana dipahami dari kaidah-kaidah berikut;

 

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu (yang bermanfaat) adalah boleh.”

 

Dari kaidah ini lalu dikeluarkan beberapa kaidah yang lebih terperinci yang disepakati ulama,

 

أن الأصل في التصرفات الإباحة إلَّا ما دل الدليل على تحريمه

“Hukum asal dalam transaksi dan perbuatan manusia adalah al-Ibahah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

 

Imam Asy-Syaukani rahimahullahu juga menguraikan hal serupa, beliau mengatakan,

 

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

“Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.” (Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 1/64).

 

والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم

“Hukum asal dalam berbagai akad perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.” (Ibnu Qayyim, I’lamul Muwaqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, 1/344).

 

Kaidah-kaidah ini merupakan hasil istinbath (kesimpulan) yang disandarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah.

 

Sandaran dalil dari Al-Quran,

 

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29).

 

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13).

 

أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20).

 

Sandaran dalil dari As-Sunnah, di antaranya:

 

ﻋَﻦْ ﺍَﺑِﻰ ﺍﻟﺪَّﺭْﺩَﺍﺀِ ﺭضى الله عنه ﺭَﻓَﻊَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚَ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺍَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻰ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﻼَﻝٌ، ﻭَ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌ، ﻭَ ﻣَﺎ ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﺎﻓِﻴَﺔٌ ﻓَﺎﻗْﺒَﻠُﻮْﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍْﻟﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ ﻓَﺎِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻧَﺴِﻴًّﺎ، ﺛُﻢَّ ﺗَﻼَ ﻫﺬِﻩِ ﺍْﻻﻳَﺔَ : ﻭَ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻧَﺴِﻴًّﺎ .رواه ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ : ٢/٤٠٦ ، ﺭﻗﻢ : ٣٤١٩، رواه البزار والطبراني في الكبير وإسناده حسن ورجاله موثقون. مجمع الزوائد ٤١٦/١.

“Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka hal itu adalah halal. Dan apa saja yang Ia haramkan, maka hal itu adalah haram. Adapun yang Ia diamkan, maka hal itu dibolehkan sebagai rukhshah (keringanan atau dispensansi), oleh karena itu terimalah rukhshah dari Allah itu. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah lupa sedikitpun. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, Wa maa kaana rabbuka nasiyyaa (Dan Tuhan mu tidak lupa) – QS. Maryam : 64 . [HR. Al-Hakim, Ath-Thabrani dan Al-Bazzaar. Imam Al-Haitsami berkata, sanadnya hasan, para perawinya terpercaya.” (Majma’ az-Zawaaid, Imam Al-Haitsami, 1/416).

 

Hadits lain,

 

ﻋَﻦْ ﺳَﻠْﻤَﺎﻥَ ﺍْﻟﻔَﺎﺭِﺳِﻲّ ﻗَﺎﻝَ : ﺳُﺌِﻞَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺹ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﻤْﻦِ ﻭَ ﺍْﻟﺠُﺒْﻦِ ﻭَ ﺍْﻟﻔِﺮَﺍﺀِ، ﻗَﺎﻝَ : ﺍَﻟْﺤَﻼَﻝُ ﻣَﺎ ﺍَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻰ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ ﻭَ ﺍْﻟﺤَﺮَﺍﻡُ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻰ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ، ﻭَ ﻣَﺎ ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻔَﺎ ﻋَﻨْﻪُ . رواه ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ، الترمذي ، البيهقي ، والحكيم

Diriwayatkan dari Salman Al-Farisi, ia barkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika ditanya tentang hukum minyak samin, keju dan keledai liar, maka beliau bersabda, “Yang halal adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedang apa yang Ia diamkan, maka hal itu adalah sesuatu yang Allah maafkan (diperbolehkan).” [HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, al-Baihaqi dan al-Hakim].

 

Hadits lain,

 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” [HR. At-Tirmidzi dll].

 

Hadits lain,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” [HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Al-Hakim].

 

Jadi pada dasarnya pola dan skema apapun dalam jual beli barang dan jasa selama tidak mengandung unsur haram hukumnya adalah mubah (boleh) karena termasuk muamalah dan aktivitas keseharian manusia.

 

Kedua, meskipun hukum asal transaksi jual beli adalah mubah namun syariat menetapkan sejumlah ketentuan dan batasan agar terhindari dari aspek-aspek yang diharamkan, seperti Gharar (ketidakjelasan), Maysir (judi), RibaDharar (kemudaratan), Zhulm (kezaliman), dan maksiat.

 

Ketiga, antara bentuk akad bagi hasil yang disepakati oleh para ulama adalah akad dengan pola dan prinsip Musyarakah dan Mudharabah. Berdasarkan Fatwa DSN MUI, No.08/DSN-MUI/IV/2000 bahwa Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

 

Adapun Mudharabah akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

 

Keempat, Secara umum prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau al-kharaj bi’l-daman, artinya tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian dalam risiko, atau untuk setiap keuntungan ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil.

 

Kelima, ciri utama pola bagi hasil musyarakah adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Adapun Mudharabah, penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

 

Keenam, dalam konteks perusahaan atau PT, akad yang digunakan adalah Akad Syirkah atau Musyarakah atau Mudharabah Musytarakah. Yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah. Sebagai salah satu bentuk akad Mudharabah, pengelola (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi, diperlukan karena mengandung unsur kemudahan dalam pengelolaannya serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak.

 

Ketujuh, pengelola sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik) juga memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal yang disertakan. Bagian keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati. Apabila terjadi kerugian maka pengelola sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal yang disertakan.

 

Kedelapan, pemilik modal dalam akad Musyarakah berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan di luar tugas pengelola pada umumnya dengan akad yang terpisah.

 

Namun Jika aktivitas yang dilakukan hanya aktivitas usaha yang seharusnya dilakukan oleh pengelola pada umumnya, maka haknya adalah bagi hasil saja dan tidak boleh mendapatkan upah atas aktivitas tersebut karena itu adalah kewajibannya sebagai pengelola. Idealnya tidak ada al-Jam’u baina ar-Ribh (bagi hasil) wa al-Ujrah (gaji/upah).

 

Kesembilan, adapun jika aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas di luar kewajiban utama sebagai mudharib (pengelola), maka ia berhak mendapatkan bayaran selain hak bagi hasil dengan syarat disepakati dengan pemilik modal dalam akad atau perjanjian yang terpisah agar sama-sama diketahui dan tidak ada yang dirugikan.

 

Dalam akad ijarah, haram hukumnya menggunakan jasa seseorang tanpa memberi gaji atau upah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

 

أعطوا الاجير أجره، قبل أن يجف عرقه   

“Berikanlah upah kepada pekerja, sebelum keringatnya mengering.” [HR Ibnu Majah].

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

 

إِذَا اسْتَأْجَرْتَ أَجِيرًا فَأَعْلِمْهُ أَجْرَهُ

 

“Jika kamu memperkerjakan orang, maka beritahukanlah upahnya.” [HR An-Nasa’i].

 

Bahkan ada hadits qudsi yang secara tegas mengancam mereka yang menggunakan jasa seseorang namun tidak membayarnya. Hadits Qudsi ini diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

 

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman, ‘Ada tiga jenis orang yang aku musuhi (tuntut) mereka kelak pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang menjual manusia merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang menyewa jasa pekerja kemudian pekerja tersebut menyelesaikan pekerjaannya namun upahnya tidak dibayarkan.” [HR Al-Bukhari].

 

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menjelaskan bahwa alasan adanya peringatan bagi mereka yang tidak memenuhi hak-hak pekerjanya, “Sebab mereka memperoleh manfaat tanpa imbalan, dan mempekerjakan pekerja tanpa memberi upah.” (Fathul Bari, Darul Ma’rifah, t.t.], 16/191).

 

Hal ini juga merujuk pada Standar Syariah Internasional AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) No. 13 tentang Mudharabah;

 

الأصل عدم جواز الجمع بين الربح في المضاربة والأجرة، على أنه إذا اتفق الطرفان على قيام أحدهما بعمل ليس من أعمال المضاربة بأجر محدد وكان الاتفاق بعقد منفصل عن عقد المضاربة بحيث تبقى إذا تم عزله عن ذلك العمل فلا مانع من ذلك شرعا.

 

“Pada dasarnya, keuntungan dalam mudharabah dan gaji (upah) tidak boleh digabung. Tetapi, jika pemilik modal dan pengelola telah sama-sama sepakat bahwa pengelola itu melakukan aktivitas usaha di luar aktivitas usaha mudharabah dengan kompensasi bayaran tertentu, dan kesepakatan dituangkan dalam perjanjian terpisah dari akad mudharabah, di mana akad mudharabah tetap ada saat ia diberhentikan dari akad lainnya, maka itu dibolehkan menurut syariah.”

 

يتولى المضارب بنفسه كل الأعمال التي يتولاها المستثمرون مثله بحسب العرف. ولا يستحق أجرا على ذلك؛ لأنها من واجباته. فإذا استأجر من يقوم له بذلك فأجرته من ماله الخاص وليس من مال المضاربة، ويجوز له أن يستأجر لأداء ما لم يجب عليه من الأعمال بحسب العرف على حساب المضاربة.

 

“Pihak pengelola dalam akad mudharabah melakukan seluruh aktivitas usaha secara langsung dengan merujuk pada kebiasaan para pelaku usaha sejenisnya atau sesuai dengan tradisi dan ia tidak boleh mendapatkan bayaran atas aktivitas tersebut karena itu bagian dari kewajibannya. Berbeda halnya jika ia kemudian menyewa beberapa orang SDM untuk melakukan aktivitas tersebut, maka hak atau upah mereka itu diambil dari kantongnya sendiri dan tidak boleh diambil dari dana usaha bersama. Ia juga boleh untuk mempekerjakan atau menyewa jasa SDM tertentu untuk melakukan aktivitas yang di luar kewajibannya sesuai dengan tradisi dan diambil upahnya dari mudharabah.”

 

Kesepuluh, kesimpulannya selain bagi hasil, pengelola boleh mendapatkan gaji/upah selama ada muqabil (kontribusi) yang diberikan. Pemodal mendapat bagi hasil karena ada ada modal dan keringat, mendapat bayaran atau upah karena ada jasa.

 

Wallahu a’lam

 

Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A

0 Comments

Leave a Comment

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password