Belajar Dari Lebah, Makan yang Baik Menghasilkan yang Baik
Jadilah Seperti Lebah. Makan yang Baik – Mengeluarkan yang Baik – Hinggap di manapun tidak merusak. Ini salah satu wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para guru dan pendakwah adalah menjadi pribadi yang memberi warna kebaikan, dimanapun dia berada. Lisan dan perutnya terjaga, prilakunya mulia.
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِرْ وَلَمْ تُفْسِدْ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, perumpamaan orang beriman seperti perumpamaan lebah, yang makan sesuatu yang baik, menghasilkan sesuatu yang baik, dan ketika hinggap di suatu dahan, ia tidak mematahkan dan tidak pula merusak.” [HR. Ahmad].
Apa pelajaran yang bisa diambil dari lebah?
- Lebah hanya makan kembang terbaik.
Sebagaimana lebah yang tidak mengkonsumsi kembang yang layu dan buruk, maka seorang dai, guru dan pendakwah harus menjaga perutnya dari segala sesuatu yang haram, baik dzat maupun cara mendapatkannya. Mukmin menjaga sumber rezekinya hanya dari yang halal dan thayyib. Ia tidak menyentuh harta yang haram dan yang syubhat. Selain makanan fisik, seorang dai dan guru perlu juga menjaga asupan untuk rohani, ia harus mengkonsumsi gizi terbaik untuk jiwanya; yaitu ilmu.
Jika kita harus selektif memilih makanan untuk fisik, maka kita harus lebih cerewet memilih nutrisi terbaik untuk rohani. Ilmu itu gizi untuk rohani. Untuk itu, pilih dan seleksilah kepada siapa kita belajar agar kita tidak tersasar. Utamakan belajar adab dan akhlak agar kita tak sesumbar.
Muhammad bin Sirin rahimahullah, ulama tabi’in muridnya Anas bin Malik mengingatkan kita bahwa ilmu adalah bagian dari agama. Maka tak boleh sembarangan belajar agama,
إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu perhatikan dari mana kalian mengambil agama kalian.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 4/606; Muqaddimah Shahih Muslim).
Imam Malik rahimahullah berpesan ada empat orang yang tidak boleh (tidak layak) diambil ilmunya,
لا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
“Ilmu tidak boleh diambil dari 4 orang:
(1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya,
(2) Shohibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
(3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui dan memahami perkara yang dia sampaikan.
(Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, al-Imam al-Hafizh Abi Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar al-Qurthubi al-Maliki, DKI, 308-309).
- Lebah menghasilkan sari yang sangat baik berupa madu
Lebah menghasilkan madu dari nektar bunga yang mereka hisap menggunakan probosis, seperti lidah panjang seperti sedotan. Setelah makan nektar, ia disimpan dalam kantung madu yang disebut “honey stomach” (kantung madu yang terpisah dari perut pencernaan). Melalui proses yang tidak sederhana akhirnya nektar itu “disulap” menjadi madu yang kita konsumsi, menjadi energi, imunitas. vitalitas, bahkan kosmetika dan kesehatan secara umum.
Allah ta’ala mengabadikan salah satu keindahan ciptaanNya ini dalam Al-Quran melalui surah yang diberi nama An-Nahl (Lebah). Allah berfirman,
وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَۙ
ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” [QS. An-Nahl: 68-69]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id Ibnu Jubair, dari Abdullah bin Abbas,
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ أَوْ كَيَّةٍ بِنَارٍ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ
“Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal: dalam sayatan alat bekam, atau dengan meminum madu, atau dengan Kay (terapi dengan besi panas; kauterisasi). Namun aku melarang umatku dari kay.” [HR. Al-Bukhari].
Untuk itu teladani kehidupan lebah. Makanlah dan bacalah semua yang baik dan berkualitas, agar yang kita hasilkan juga baik dan bermanfaat.
You are What You Eat and You Are What You Read. Apa yang kita makan hari ini dan yang kita baca hari ini, adalah kita nanti di masa depan.
- Lebah tidak mematahkan dan merusak dahan atau tempat dia hinggap
Mukmin selalu menebar kebaikan, baik lisan dan perbuatan. Di manapun berada, ia tidak menyakiti dan melukai, keberadaannya rahmah bukan sumber masalah. Dalam ungkapan sederhana, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan karakter mukmin sejati melalui sabdanya,
المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ
“Muslim sejati itu adalah orang muslim lainnya selamat dari kejahatan lisan dan tangannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Bahkan tatkala ia ingin menasehati, mengingatkan, dan meluruskan, caranya tetap santun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memuji mereka yang tetap bersabar berada di tengah masyarakat yang buruk,
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” [HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ahmad].
Sebagaimana juga populer dalam wejangan orang tua, babasan, dan paribasa Sunda di tanah Pasundan, “Laukna beunang, caina herang”.
Makna secara harfiah:
“Laukna beunang” = ikannya tertangkap.
“Caina herang” = airnya tetap jernih.
Makna Filosofis peribahasa ini menggambarkan kebijaksanaan dalam bertindak, memperoleh hasil/keuntungan tanpa merusak atau menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ada keselarasan hidup antara tujuan yang ingin dicapai dengan tetap menjaga keharmonisan lingkungan, menjaga Hablum minaLlah dan Hablum minannas.
Wallahu a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments