Mengenal kitab Ihya’ ‘Ulumiddin

Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin merupakan karya terbesar dan paling monumental dalam khazanah keilmuan Islam yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Karya ini tidak hanya menjadi rujukan bagi para ulama, cendekiawan, dan pengkaji tasawuf, tetapi juga menjadi inspirasi lintas generasi—dipuji oleh para pendukungnya, bahkan dihormati oleh mereka yang berbeda pendapat dengannya.
Latar Belakang Penulisan Ihya’
Pada bagian pendahuluan kitab tersebut, Imam al-Ghazali mengungkapkan keresahan intelektual yang mendorongnya menulis Ihya’. Ia melihat bahwa kondisi keilmuan agama di masyarakat saat itu berada dalam fase keterpurukan. Banyak ulama yang hanya menjaga simbol-simbol keagamaan tanpa menghidupkan substansi dan ruhnya. Agama dipahami sebatas teks, bukan sebagai energi hidup yang membimbing manusia menuju Allah.
Dari judulnya saja, Ihya’ ‘Ulumiddin—“menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”—kita dapat menangkap pesan bahwa al-Ghazali hendak membangkitkan kembali vitalitas kehidupan beragama yang lesu dan tereduksi oleh formalitas semata.
Ia bahkan menyebut sebagian ulama pada masanya dengan istilah al-mutarassimūn, yaitu mereka yang hanya berhenti pada tulisan (rasm): mengajar, berceramah, dan memamerkan keilmuan, tetapi tanpa menghadirkan api spiritualitas yang mampu menggerakkan hati.
Proses Penulisan dan Pengembaraan Spiritual
Catatan sejarah menyebutkan bahwa al-Ghazali mulai menulis Ihya’ pada tahun 489 H di kota suci Baitul Maqdis, Palestina. Tempat penulisan itu berada di sebuah ruangan kecil di sisi barat daya, dekat batu besar yang kini menjadi bagian penting dari kawasan bersejarah Al-Quds.
Ihya’, karya ini tidak lahir secara instan. Al-Ghazali menghabiskan waktu yang sangat panjang, disertai perjalanan batin yang mendalam. Setelah menulis bagian awal di kota Al-Quds, ia melanjutkan pengembaraannya ke Baghdad, kemudian ke Syam (Suriah), dan akhirnya menyelesaikan seluruh karyanya di kota kelahirannya, Thus, Iran.
Perjalanan panjang ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi juga transformasi spiritual yang memperkaya setiap halaman Ihya’, sehingga tidak hanya sarat ilmu, tetapi juga penuh pengalaman ruhani.
Pokok Isi dan Tujuan Penulisan Ihya’
Dalam mukadimah Ihya’, al-Ghazali menegaskan bahwa fokus pembahasan kitab ini adalah ilmu yang mampu menghubungkan kehidupan dunia dengan akhirat. Menurut beliau, dunia adalah “ladang akhirat”, sehingga setiap amal harus dikuatkan oleh ilmu yang benar dan pemahaman yang jernih.
Ia membagi ilmu yang dimaksud menjadi dua:
- Ilmu Mu‘āmalah – ilmu yang dipahami melalui praktik; mengamalkan ajaran agama hingga seseorang mampu menangkap makna-makna batinnya.
- Ilmu Mukāsyafah – ilmu yang diperoleh melalui tersingkapnya hakikat-hakikat spiritual tanpa perantaraan praktik fisik; sebuah pengetahuan esensial yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-Nya yang tulus dan bersih batinnya.
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, ilmu mu‘āmalah adalah jalan menuju ilmu mukāsyafah. Maka, seorang penuntut ilmu idealnya memulai perjalanan dari pengamalan syariat menuju penyaksian hakikat—sebuah kesempurnaan pengetahuan yang menjadi tujuan para salik dan pencari kebenaran.
Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu mu’amalah ke dalam dua ranah besar: ilmu lahir (dzāhir) dan ilmu batin (bāthin). Ilmu dzahir berkaitan dengan tindakan fisik dan ibadah lahiriah, sementara ilmu batin mencakup kondisi hati, akhlak, dan sikap spiritual seseorang. Kedua ranah ilmu ini memiliki konsekuensi moral yang jelas—baik yang mengantarkan kepada sifat-sifat terpuji (maḥmūdah) maupun sifat tercela (madhmūmah).
Meski demikian, ilmu dzahir secara khusus lebih terkait dengan ritual ibadah serta kebiasaan-kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari (‘ādāt). Dari konstruksi pemikiran mendalam inilah Imam al-Ghazali membangun sistematika magnum opus-nya, Ihya’ ‘Ulumiddin, yang ia susun dalam empat juz besar, masing-masing mencerminkan perjalanan manusia dari praktik lahiriah menuju pembersihan batin.
Struktur Empat Juz Ihya’ ‘Ulumiddin
1. Juz Pertama: al-‘Ibādah
Juz ini membahas praktik-praktik ibadah sebagai bagian dari ilmu dzahir. Al-Ghazali tidak hanya menyajikan aspek fikihnya, tetapi juga rahasia, hikmah, dan dimensi ruhaniah dari ibadah tersebut. Pembahasannya meliputi:
- rahasia bersuci
- shalat
- puasa
- zakat
- haji
- dzikir dan ibadah-ibadah lain yang merupakan fondasi hubungan hamba dengan Tuhan.
2. Juz Kedua: al-‘Ādāt
Masih pada ranah ilmu dzahir, bagian ini mengulas perilaku keseharian manusia. Ibadah tidak hanya dimaknai di masjid atau sajadah, tetapi juga dalam aktivitas sosial. Bahasannya mencakup:
- pernikahan
- pekerjaan dan mencari nafkah
- pergaulan
- etika sosial
- etika makan, tidur, dan interaksi harian
Bagian ini memperlihatkan bagaimana syariat meresap ke seluruh aspek hidup, sehingga rutinitas pun bisa bernilai ibadah.
3. Juz Ketiga: al-Muhlikāt
Memasuki wilayah ilmu batin, bagian ini membahas sifat-sifat hati yang dapat merusak manusia jika tidak dikendalikan. Termasuk dalam kategori sifat tercela (madhmūmah):
- dominasi hawa nafsu
- amarah berlebihan
- kesombongan
- iri dengki
- dendam
- cinta dunia
- ambisi pangkat dan popularitas
Juz ini mengajarkan proses tazkiyatun nafs, yakni membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit batin.
4. Juz Keempat: al-Munjiyyāt
Bagian terakhir menguraikan sifat-sifat hati yang menyelamatkan dan mengangkat derajat seorang hamba. Termasuk dalam sifat-sifat terpuji (maḥmūdah):
- taubat
- syukur
- sabar
- dermawan
- ikhlas
- tawakal dan menerima ketentuan Allah
- kejujuran
- muhasabah atau introspeksi diri
Inilah puncak perjalanan batin menurut al-Ghazali: dari pembersihan diri menuju pengokohan akhlak spiritual.
Dari keseluruhan bangun pemikiran ini, terlihat bahwa inti ajaran Imam al-Ghazali dalam Ihya’ adalah mencapai pengetahuan hakiki yang lahir sebagai buah pengamalan ilmu, bukan sekadar akumulasi informasi.
Keistimewaan dan Keutamaan Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin
Syekh Abdul Qadir bin al-Idrus dalam Ta‘rīful Aḥyā’ bi Faḍā’ilil Ihyā’ menyebutkan bahwa keistimewaan Ihya’ tidak terhitung banyaknya. Para ulama memuji kedalamannya, dan masyarakat awam pun merasakan manfaatnya. (Al-Haramain, jilid I, hlm. 8)
Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf pernah menegaskan bahwa siapa pun yang menghadiri majelis Ihya’, pasti merasakan perubahan: hatinya menjadi lebih lapang, penyakit batinnya berkurang, atau Allah membukakan makrifat baru baginya. Jika seseorang keluar dari majelis Ihya’ tanpa merasakan perubahan sama sekali, menurut beliau, itu pertanda ia harus segera bertaubat, karena bisa jadi ada dosa besar yang menghalangi cahaya ilmu.
Ulama lainnya, Sayyid Abu Bakar Syatha’, dalam Kifayatul Atqiya’, mencantumkan banyak testimoni para arifin mengenai keagungan kitab ini. Di antaranya:
1. Wasiat Para Arifin tentang Ihya’
قال بعض العارفين: والله لو بعث الله الأموات لما أوصوا الأحياء إلا بما فى الإحياء وفيه إنتفاع لأهل الإبتداء والإنتهاء والتوسط لأنه مذكور فيه ما يصلح للفرق الثلاث
“Sebagian ulama arif mengatakan: Demi Allah, andaikan Allah menghidupkan kembali orang-orang mati, niscaya mereka tidak akan memberi wasiat kepada orang hidup kecuali agar mereka mempelajari Ihya’ ‘Ulumiddin. Di dalamnya terdapat manfaat bagi pemula, orang yang sudah mapan, maupun mereka yang berada di pertengahan, karena ia memuat hal-hal yang bermanfaat bagi tiga golongan tersebut.”
2. Nasihat Sayyid al-Idrus
قال سيدى العيدروس رضى الله عنه: عليكم بملازمة إحياء علوم الدين فهو موضع نظر الله تعالى وموضع رضا الله فمن أحبه وطالعه وعمل بما فيه فقد استوجب محبة الله ومحبة رسوله وملائكته وأنبيائه وأوليائه
“Sayyid al-Idrus berkata: Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Ihya’ ‘Ulumiddin, karena ia adalah tempat pandangan dan keridhaan Allah. Siapa yang mencintainya, mempelajarinya, dan mengamalkan isinya, ia berhak mendapat cinta Allah, cinta Rasulullah, para malaikat, para nabi dan para wali. Ia telah memadukan syariat, tarekat, dan hakikat, di dunia maupun di akhirat, dan menjadi alim di alam mulk dan malakut.” (Darul ‘Ilmi, hlm. 91)
Penutup
Ulasan ini hanyalah secuil dari keluasan lautan ilmu Ihya’ ‘Ulumiddin. Dengan mempelajarinya, kita tidak hanya mendapatkan wawasan intelektual, tetapi juga panduan untuk menyucikan diri dan memperbaiki hubungan dengan Allah serta sesama manusia. Harapannya, pembaca menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama dalam memahami ilmu yang menyatukan dunia dan akhirat—sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali.
Wallāhu a‘lam.
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A



0 Comments