Bagi Warisan Sama Rata, Apakah Boleh?

Assalamualaikum. Ustadz, saya pernah mendengar penjelasan bahwa pembagian warisan harus dilakukan sesuai ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi ada pula yang pernah memberitahu kepada saya bahwa warisan boleh dibagi sama rata. Mohon penjelasan. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Pertanyaan ini akan dijawab dalam beberapa poin berikut:
Pertama, Pembagian warisan dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum yang jelas dan otoritatif, baik dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama. Pembagian tersebut adalah pembagian yang bersumber dari Allah ta’ala — pembagian Ilahi yang adil dan sempurna.
Kedua, Hukum pokok waris dalam Islam adalah pembagian berdasarkan bagian-bagian yang ditetapkan (dzawūl furūḍ dan asḥāb al-asabah) — yaitu ketentuan kuantitatif yang ditetapkan oleh Al-Qur’ān dan pengembangan fikih klasik. Para ulama telah sepakat bahwa kepemilikan harta warisan berpindah kepada para ahli waris segera setelah pewaris meninggal dunia, karena kematian itu sendiri membatalkan kepemilikan seseorang terhadap hartanya, selama tidak ada utang yang menjadi tanggungan si mayit.
Dalam al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan,
اِتَّفَقُوا – الفُقَهَاءُ – عَلَى أَنَّ التَّرِكَةَ تَنْتَقِلُ إِلَى الوَارِثِ إِذَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا دُيُونٌ مِنْ حِينِ وَفَاةِ المَيِّتِ].الموسوعة الفقهية الكويتية (٢٤/٧٦)
“Para fuqaha sepakat bahwa harta warisan berpindah kepada ahli waris sejak saat kematian mayit, apabila tidak terkait dengan utang.” [al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 24, hlm. 76].
Ketiga, prinsip umum dalam Fikih Warisan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Namun Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia memberi ruang hukum positif untuk penyelesaian waris secara perdamaian/musyawarah (ṣulḥ/takhāruj): Pasal 183 KHI menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta waris, setelah masing-masing menyadari bagiannya — sehingga pembagian di luar proporsi syar‘i dapat menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan (misalnya sadar akan hak masing-masing, tidak ada paksaan). Ini menjadi dasar hukumnya praktik pembagian sama rata di Indonesia jika terpenuhi syarat.
Mausuʻah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait) juga membahas pembagian dengan persetujuan (takhāruj/ṣulḥ) dan menegaskan bahwa Qisma bi-Tarāḍī (pembagian dengan kerelaan bersama) boleh dengan syarat: kerelaan itu nyata, bebas dari paksaan, tahu bagian-bagian syar‘i yang menjadi hak masing-masing, tidak ada penipuan/gharar, utang dan wasiat diselesaikan lebih dahulu bila menimbulkan pengaruh pada pembagian. Dengan kata lain, ensiklopedia fiqh Kuwait menegaskan kebolehan ṣulḥ/takhāruj selama tidak merugikan hak yang tetap tanpa persetujuan.
Keempat, dasar hukum kebolehannya di antaranya adalah Surat An-Nisa ayat 114, di mana Allah ta’ala berfirman,
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Ishlah atau Sulh maknanya dalam konteks pembagian warisan diantaranya adalah melakukan kesepakatan pembagian warisan sama rata antara ahli waris.
Juga firman Allah ta’ala,
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
Dan firman Allah ta’ala,
وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 128).
Hal ini juga diperkuat dengan hadist Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
“Perdamaian (kompromi) itu hukumnya boleh antara sesama muslim kecuali kompromi yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” [HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban].
Dalam hadits shahih lainnya, juga diriwayatkan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لَهُ عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي حَدْرَدٍ الأَسْلَمِيِّ مَالٌ، فَلَقِيَهُ فَلَزِمَهُ حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا، فَمَرَّ بِهِمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا كَعْبُ، فَأَشَارَ بِيَدِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ: النِّصْفُ، فَأَخَذَ نِصْفَ مَا لَهُ عَلَيْهِ وَتَرَكَ نِصْفًا.
Dan dalam hadits sahih disebutkan kisah Ka‘ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ia memiliki piutang kepada Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami. Keduanya berselisih hingga suaranya terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: Wahai Ka‘ab seraya memberi isyarat dengan tangan, seolah berkata: “Ambillah setengahnya.” Maka Ka‘ab pun menerima dan mengikhlaskan separuh piutangnya. [HR. al-Bukhari].
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
Bersambung ke bagian 2


0 Comments