Akhlak Para Ulama
Ulama adalah pewaris nabi yang melanjutkan tugas dakwah dan pembinaan umat. Oleh karena itu Allah ta’ala mengangkat derajat mereka. Sebagaimana firmanNya,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” [QS. Al-Mujadilah: 11].
Derajat para ulama tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, Allah berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?” [QS. Az-Zumar: 9].
Orang alim adalah orang beriman yang bermanfaat melalui ilmunya baik untuk orang lain maupun untuk dirinya sendiri.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang alim sebagai manusia terbaik yang memberi manfaat dengan ilmunya,
أَفْضَلُ النَّاسِ المُؤْمِنُ العَالِمُ الذِي إِذَا احْتِيْجَ إليه نَفَعَ، وإن اسْتُغْنِيَ عنه أغْنَى نَفْسَه
“Orang paling utama adalah seorang mukmin alim yang bermanfaat bila dibutuhkan dan mencukupi dirinya bila ‘tidak diperlukan.” [HR. Ibnu Asakir].
Karena luhur dan mulianya tugas para ulama, oleh sebab itu orang yang alim harus menghiasi dirinya dengan adab dan budi, tak semata ilmu dan pengetahuan. Tak jarang kita temui orang yang memiliki segudang ilmu namun tidak memiliki akhlak yang baik sehingga membuat manusia lari darinya dan dari Islam.
Imam al-Nawawi rahimahullahu mengatakan ada empat kriteria orang yang layak diambil ilmunya,
قالوا ولا يأخذ العلم إلا ممن كملت أهليته وظهرت ديانته وتحققت معرفته واشتهرت صيانته وسيادته
“Ulama mengatakan, tidak boleh mengambil ilmu kecuali dari dari mereka yang telah memiliki 4 kriteria ini:
1️⃣ Sosok yang sempurna keahliannya (kafasitas keilmuannya),
2️⃣ Jelas agamanya (komitmennya pada agama),
3️⃣ Valid pengetahuannya (jelas sanad ilmunya),
4️⃣ Masyhur keterjagaan dan kemuliannya (Wara’ prilakunya).
Syarat-syarat di atas jelas menunjukkan bahwa yang layak diambil ilmunya bukan saja mereka yang berilmu namun yang berakhlak. Imam An-Nawawi juga mengutip dari Ibnu Sirin, Imam Malik dan para ulama salaf rahimahumullahu jami’an,
فقد قال ابن سيرين ومالك وخلائق من السلف: هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Berkata Ibnu Sirin, Malik dan banyak ulama salaf; ilmu ini agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, DKI, 1/460).
Syaikh Muhammad bin Al-Husein bin Abdillah Al-Baghdadi Al-Ajurri (877-970 M) rahimahullahu dalam kitabnya, Akhlaqul Ulama, menguraikan antara perkara yang wajib dilakukan dan wajib dihindari oleh para ulama,
ذليل للحق عزيز عن الباطل كاظم للغيظ عمن آذاه شديد البغض لمن عصى مولاه يجيب السفيه بالصمت عنه والعالم بالقبول منه
“Orang berilmu itu tunduk kepada kebenaran, namun tegas menghadapi kebatilan. Mampu menahan amarah dari orang yang menyakitinya, namun murka kepada yang membangkang perintah Rabbnya. Menjawab celaan orang bodoh dengan diam, menerima nasehat dan ilmu ulama dengan penuh Takzim.”
لا مداهن ، ولا مشاحن ولا مختال ، ولا حسود ، ولا حقود ، ولا سفيه ، ولا جاف ، ولا فظ ، ولا غليظ ، ولا طعان ، ولا لعان ، ولا مغتاب ، ولا سباب . يخالط من الإخوان من عاونه على طاعة ربه ، ونهاه عما يكره مولاه
“Orang berilmu itu bukan penjilat, bukan pembenci, bukan orang yang congkak, bukan penghasud, bukan pendendam, bukan orang yang bodoh, bukan orang yang buruk akhlaknya, bukan orang yang kaku, bukan berperangai kasar, bukan orang yang kejam, bukan pelaknat, bukan pengumpat, bukan tukang ghibah, dan bukan pula pencela.”
يخالط من اللإخوان من عاونه على طاعة ربه ونهاه عما يكره مولاه ويخالق بالجميل من لا يأمن شره إبقاء على دينه
“Orang berilmu itu bergaul dengan orang yang membantunya dalam ketaatan kepada Rabbnya dan yang mencegahnya dari apa yang dibenci oleh Maula-nya. Dia juga memperlakukan dengan baik orang yang buruk perangainya demi menyelamatkan agamanya.”
سليم القلب للعباد من الغل والحسد. يغلب على قلبه حسن الظن بالمؤمنين في كل ما أمكن فيه العذر. لايحب زوال النعم عن أحد من العباد
“Orang berilmu itu terbebas hatinya dari penyakit Ghill (tidak suka) dan hasad terhadap sesama hamba. Hatinya selalu berprasangka baik kepada orang-orang mukmin dalam segala hal yang ada udzurnya. Dia tidak senang atas hilangnya nikmat dari seseorang di antara para hamba.”
يداري جهل عامله برفقه. إذا تعجب من جهل غيره ذكر أن جهله أكثر فيما بينه وبين ربه عز وجل. لا يتوقع له بائقة ولا يخاف منه غائلة. الناس منه في راحة ونفسه منه في جهد
“Orang berilmu itu bersikap lembut atas kebodohan orang yang bergaul dengannya. Jika ia merasa heran dengan kebodohan orang lain, maka hendaklah dia ingat bahwa kebodohannya bisa jadi lebih banyak di sisi Allah azza wa jalla. Dia tidak mengharapkan datangnya bencana namun juga tidak terlalu khawatir atas malapetaka. Manusia selamat dari kejahatannya dan dia sendiri bersungguh-sungguh untuk tidak berbuat jahat kepada mereka.”
Demikian penjelasan seputar akhlak para ulama, semoga menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua. Amin.
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments