5 Manfaat Traveling Menurut Imam Syafi’i

Dalam kehidupan seorang mukmin, perjalanan (safar) bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Safar adalah sekolah kehidupan, di mana seseorang diuji kesabarannya, diperluas pandangannya, dan diperbaiki hatinya.
Banyak ulama terdahulu menekankan pentingnya safar — bukan hanya untuk berdagang atau rekreasi, tetapi untuk menuntut ilmu, memperluas wawasan, memperbaiki diri, dan mengenal makhluk Allah di berbagai tempat.
Di antara ulama besar yang menulis dengan indah tentang keutamaan safar adalah Imam Asy-Syāfi‘ī رحمه الله (150–204 H), seorang mujtahid besar yang dikenal bukan hanya dengan keilmuannya yang luas, tetapi juga dengan kebijaksanaan dalam bait-bait puisinya (syi‘r al-ḥikmah).
Imam Asy-Syāfi‘ī menulis dalam Dīwān Asy-Syāfi‘ī — kumpulan syair dan nasihatnya yang luhur — tentang pentingnya meninggalkan kampung halaman demi mencari ilmu dan kemuliaan. Ia berkata,
تَغَرَّبْ عَنِ الْأَوْطَانِ فِي طَلَبِ الْعُلَى
وَسَافِرْ فَفِي الْأَسْفَارِ خَمْسُ فَوَائِدِ
تَفَرُّجُ هَمٍّ وَاكْتِسَابُ مَعِيشَةٍ
وَعِلْمٌ وَآدَابٌ وَصُحْبَةُ مَاجِدِ
“Berpergianlah dari tanah airmu dalam mencari kemuliaan, dan lakukanlah perjalanan, karena dalam safar ada lima manfaat:
- Hilangnya kesedihan,
- Mendapatkan rezeki,
- Memperoleh ilmu,
- Menambah adab,
- Bergaul dengan orang-orang mulia.
[Imam Asy-Syāfi‘ī, Dīwān al-Imām Asy-Syāfi‘ī, hlm. 47, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah].
Syair Imam Asy-Syāfi‘ī ini bukan hanya ajakan untuk bepergian, tapi juga sebuah nasihat ruhani yang dalam. Mari kita uraikan maknanya satu per satu:
- تَغَرَّبْ عَنِ الْأَوْطَانِ فِي طَلَبِ الْعُلَى
“Berpisahlah dari tanah airmu untuk mencari kemuliaan.”
Artinya Jangan takut meninggalkan tempat kelahiranmu, zona nyamanmu, dan kebiasaan lamamu demi mencari ilmu dan kemuliaan. Karena kemuliaan tidak datang kepada mereka yang diam, tetapi kepada mereka yang berani melangkah.
Imam Asy-Syāfi‘ī sendiri adalah contoh hidupnya. Ia lahir di Gaza (Palestina), tumbuh di Makkah, belajar di Madinah, menuntut ilmu di Irak, dan wafat di Mesir. Ia bukan hanya seorang faqīh, tetapi musafir ilmu sejati. Dalam Tarikh Baghdad, disebutkan bahwa beliau berkata, “Aku menimba ilmu dari setiap negeri yang kudatangi. Di setiap tempat, aku mendapat pelajaran baru, bukan hanya dari kitab, tapi dari kehidupan.”
- وَسَافِرْ فَفِي الْأَسْفَارِ خَمْسُ فَوَائِدِ
“Lakukanlah perjalanan, karena dalam safar terdapat lima manfaat.”
Imam Asy-Syāfi‘ī menegaskan bahwa safar bukan perjalanan sia-sia. Setiap langkah membawa pelajaran, setiap perjumpaan membawa makna. Perjalanan mengajarkan kita untuk bersyukur, berpikir, dan melihat tanda-tanda kebesaran Allah di bumi-Nya.
Allah ﷻ berfirman,
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ۚ
“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 20)
- تَفَرُّجُ هَمٍّ
“Menghilangkan kesedihan.”
Safar sering menjadi obat hati. Saat seseorang merasa jenuh, terluka, atau tertimpa ujian, berpindah tempat dapat memberi ruang baru bagi jiwa untuk bernafas. Perjalanan membuat seseorang melihat bahwa dunia ini luas — dan kesedihannya hanyalah bagian kecil dari kehidupan.
Seperti kata pepatah Arab,
رُبَّ سَفَرٍ قَصِيرٍ يُحْدِثُ فِيهِ الْمَرْءُ تَغْيِيرًا كَبِيرًا
“Boleh jadi sebuah perjalanan singkat membawa perubahan besar bagi seseorang.”
- وَاكْتِسَابُ مَعِيشَةٍ
“Mendapatkan rezeki.”
Banyak orang berpikir rezeki hanya datang di kampung halaman. Namun Imam Asy-Syāfi‘ī mengingatkan bahwa rezeki Allah luas. Bergerak dan berusaha di tempat baru bisa membuka pintu-pintu rezeki yang tak disangka.
Rasulullah ﷺ bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki seperti burung; ia berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzī).
Perhatikan, burung mendapat rezeki karena ia berangkat (safar), bukan karena diam.
- وَعِلْمٌ وَآدَابٌ وَصُحْبَةُ مَاجِدِ
“Ilmu, adab, dan persahabatan dengan orang-orang mulia.”
Inilah puncak keutamaan safar. Ilmu sering tidak bisa didapat di tempat yang sama. Adab dipelajari dari banyak guru dan pergaulan. Dan sahabat-sahabat sejati ditemukan di jalan kehidupan.
Safar menajamkan pandangan, mengasah akhlak, dan memperluas pemahaman tentang manusia. Perjalanan adalah cermin jiwa. Dalam kesulitan safar, seseorang belajar siapa dirinya yang sebenarnya — apakah ia sabar, sombong, dermawan, atau mudah marah.
Diriwayatkan bahwa Imam Asy-Syāfi‘ī tidak pernah menetap terlalu lama di satu tempat. Beliau berkata,
مَا أَقَامَ الْعِلْمُ فِي مَكَانٍ إِلَّا أَقَامَنِي مَعَهُ، وَمَا ارْتَحَلَ إِلَّا ارْتَحَلْتُ
“Tidaklah ilmu menetap di suatu tempat kecuali aku menetap bersamanya, dan tidaklah ia berpindah kecuali aku ikut berpindah.”
Inilah semangat safar seorang penuntut ilmu sejati — tidak mengenal batas negeri, waktu, atau kenyamanan. Safar dalam pandangan para ulama bukan sekadar jasmani, tetapi juga safar hati menuju Allah.
Dari nasihat Imam Asy-Syāfi‘ī, kita belajar bahwa safar adalah bagian dari ibadah dan pendidikan jiwa. Ia melatih sabar, menumbuhkan tawakal, memperluas pandangan, dan mempertemukan kita dengan hikmah kehidupan. Perjalanan yang diberkahi bukan yang sekadar memindahkan tubuh, tapi yang menggerakkan hati menuju kebenaran dan ilmu.
Untuk itu, jangan takut melangkah keluar dari zona nyamanmu. Kadang, Allah menulis takdirmu bukan di kampung halamanmu, tetapi di jalan yang jauh — dalam safar ilmu, safar perjuangan, atau safar hati menuju Allah.
Wallahu a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A



0 Comments