4 Sebab Mendapat Warisan
Assalamualaikum. Mengapa tidak semua anggota keluarga mendapat warisan jika ada kerabatnya meninggal dunia? Mohon penjelasan faktor apa saja yang menetapkan seseorang mendapat warisan dan sebab-sebab tidak mendapat warisan. Terimakasih.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dasar Hukum Warisan dalam Islam
Pembagian warisan dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum yang jelas dan otoritatif, baik dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama.
Allah ta’ala berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 11).
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا۟ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى ٱلثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa: 12).
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 176).
Terkait kepada siapa saja warisan harta itu diberikan, juga dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أَلْحِقُوا الفَرائِضَ بأَهْلِها، فَمَا أَبْقَتِ الفَرائِضُ فَلِأَوْلى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْءٌ
“Si pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan (dari orang yang dibunuh) sedikitpun.” [HR. Abu Daud].
Dari dalil-dalil di atas ulama menyimpulkan sejumlah sebab seseorang mendapat warisan. Di antaranya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Husain Ar-Rahabi di dalam kitab Matnur Rahabiyah fil Mawarits menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) sebab seseorang bisa menerima harta warisan,
أَسْبَابُ مِيرَاثِ الْوَرَى ثَلَاثَةٌ كُلٌّ يُفِيدُ رَبَّهُ الْوِرَاثَةَ وَهِيَ نِكَاحٌ وَوَلَاءٌ وَنَسَبٌ مَا بَعْدَهُنَّ مِنْ مَوَارِثَ سَبَبٌ
“Sebab-sebab orang mendapat warisan ada tiga, masing-masing memberikan hak waris kepada pemiliknya. Yaitu: pernikahan, wala’ (hubungan perbudakan yang dibebaskan), dan nasab (keturunan), selain tiga itu tak ada lagi sebab untuk mewarisi.”
Uraian ini menyebutkan ada tiga sebab orang mendapatkan warisan harta, yaitu pernikahan yang sah, wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak), dan hubungan nasab.
Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitab al-Fiqhul Manhaji menyebutkan ada 4 (empat) hal yang menjadi sebab seseorang mendapatkan warisan, yaitu tiga hal yang disebut di atas oleh Imam Rahabi dan ditambah satu poin lagi yakni Islam. (al-Fiqh al-Manhaji, Darul Qalam, Damaskus Tahun 2013, 2/275-276).
Antara dalil yang menjadi sandaran poin keempat ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dengan demikian, secara ringkas kita bisa bisa menyebutkan bahwa ada 4 (empat) sebab seseorang mendapatkan warisan:
Pertama, Nasab atau kekerabatan. Orang yang bisa mendapatkan warisan dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah mereka yang tersambung nasabnya secara sah melalui pernikahan yang sah. Misalnya kedua orang tua kandung, anak kandung, saudara kandung, baik laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak. Termasuk juga anak keturunan serta kakek dan neneknya.
Kedua, Pernikahan yang terjadi dengan akad yang sah. Artinya pernikahan yang menjadi sebab mendapatkan warisan adalah pernikahan yang dijalankan sesuai dengan rukun, syarat dan ketentuan agama. Meski belum terjadi senggama antara pasangan suami istri namun dengan adanya ikatan pernikahan yang sah maka keduanya bisa saling mewarisi satu sama lain, tatkala pasangannya wafat.
Adapun pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid (rusak) karena tidak sesuai rukun dan syarat pernikahan, seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, maka keduanya tidak bisa saling mewarisi. Termasuk jika suami dan istri sudah bercerai dan berpisah, maka keduanya tidak saling mewarisi ketika pasangannya meninggal dunia.
Ketiga, Memerdekakan budak. Seorang majikan atau tuan yang memerdekakan budaknya, bila kelak sang budak meninggal dunia maka majikannya bisa menerima warisan dari harta yang ditinggal oleh sang budak yang telah dimerdekakan tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.
Keempat, Islam. Antara syarat mendapat warisan adalah beragama Islam. Ulama telah Ijma’ tanpa ada khilaf bahwa nonmuslim tidak mewarisi harta seorang muslim walaupun di antara mereka ada hubungan perkawinan atau kekerabatan jika sampai waktu pembagian warisan dia masih bersikeras tetap dalam agamanya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang mengharamkan itu.
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ، ولا يَرِثُ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak wewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Adapun jika yang wafat adalah nonmuslim, maka ada perbedaan di kalangan ulama perihal apakah ahli waris muslim bisa mewarisi harta nonmuslim atau tidak. Berdasarkan hadits di atas, Jumhur ulama dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan generasi setelahnya berpandangan muslim tidak bisa mewarisi harta nonmuslim sebagaimana nonmuslim tidak bisa mewarisi harta muslim. Meskipun ada sebagian ulama yang menyatakan muslim mewarisi harta nonmuslim dan tidak sebaliknya.
Hal ini sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ الْكَافِرَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمَ وَأَمَّا الْمُسْلِمُ فَلَا يَرِثُ الْكَافِرَ أَيْضًا عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ
“Para ulama telah sepakat bahwa orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim. Adapun apakah ahli waris muslim mewarisi harta kafir, mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya berpendapat bahwa orang muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 5/395).
Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa Jumhur ulama dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan generasi setelahnya berpandangan muslim tidak mewarisi harta nonmuslim. Dan beliau juga menjelaskan ada pandangan sebagian ulama yang menyatakan sebaliknya, bahwa muslim mewarisi harta nonmuslim.
وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى تَوْرِيثِ الْمُسْلِمِ مِنَ الْكَافِرِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَمُعَاوِيَةَ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَمَسْرُوقِ وَغَيْرِهِمْ وَرُوِيَ أَيْضًا عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ وَالشَّعْبِيِّ وَالزُّهْرِيِّ وَالنَّخَعِيِّ نَحْوَهُ عَلَى خِلَافٍ بَيْنَهُمْ فِي ذَلِكَ وَالصَّحِيحُ عَنْ هَؤُلَاءِ كَقَوْلِ الْجُمْهُورِ. وَاحْتَجُّوا بِحَدِيثِ اَلْاِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ وَحُجَّةُ الْجُمْهُورِ هُنَا اَلْحَدِيثُ الصَّحِيحُ الصَّرِيحُ
“Sekelompok ulama memperbolehkan orang muslim mewarisi harta orang kafir. Ini adalah pandangan Mu`adz bin Jabal, Mu’awiyah, Said bin Musayyab, Masruq, dan lainnya. Begitu juga diriwayatkan dari Abu ad-Darda`, Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, An-Nakha’i, dan selainnya yang bertentangan dengan pandangan kelompok ulama yang memperbolehkan orang muslim mewarisi harta orang kafir. Dan yang sahih adalah riwayat mereka sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Mereka (ulama yang membolehkan muslim mewarisi harta kafir) berdalil dengan hadits al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaih (Islam akan selalu unggul dan tidak akan pernah diungguli oleh agama lainnya). Sementara dalil mayoritas ulama adalah hadits sahih dan sharih (sangat jelas).” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 5/395).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dari kalangan sahabat yang berpandangan muslim bisa mewarisi harta nonmuslim di antaranya Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah, Sa’id bin Musayyab, dan Masruq. Sementara sahabat yang berpandangan bahwa muslim tidak mewarisi harta nonmuslim adalah semisal Abu ad-Darda’, Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, An-Nakha’i, dan lain-lain.
Terkait dua pandangan ini, Imam An-Nawawi rahimahullahu berpendapat bahwa hadits al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaih tidak bisa dijadikan hujjah dan landasan tentang kebolehan muslim mewarisi harta nonmuslim. Karena hadits tersebut berbicara konteks yang umum yaitu tentang keunggulan dan ketinggian Islam di atas agama lainnya, tidak secara khusus bicara tentang warisan. Pandangan yang menyatakan bahwa muslim bisa mewarisi harta nonmuslim mereka jelas mengabaikan hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim di atas bahwa muslim tidak mewarisi kafir sebagaimana kafir tidak mewarisi muslim.
وَلَا حُجَّةَ فِي حَدِيثِ الْاِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ فَضْلُ الْاِسْلَامِ عَلَى غَيْرِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ فِيهِ لِمِيرَاثٍ فَكَيْفَ يُتْرُكُ بِهِ نَصُّ حَدِيثِ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَعَلَّ هَذِهِ الطَّائِفَةَ لَمْ يَبْلُغْهَا هَذَا الْحَدِيثُ
“Hadits al-Islam ya’lu wala yu’la ‘alaih tidak bisa dijadikan hujjah perihal kebolehan muslim mewarisi harta nonmuslim. Karena yang dimaksudkan hadits tersebut adalah tentang keutamaan Islam dibanding agama lainnya dan tidak menyinggung soal harta warisan. Bagaimana bisa hadits “La yaritsul muslimul kafira” (Orang muslim tidak wewarisi orang kafir) diabaikan dalam persoalan ini? Bisa jadi hadits ini tidak sampai kepada mereka yang membolehkannya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Ad-Dar al-‘Alamiyyah, 5/395).
Demikian penjelasannya, semoga memadai dan dapat dipahami.
Wallahu a’la wa a’lam
Ust. Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A
0 Comments